Thursday, 25 May 2017

MAKALAH AL-QIYAS (ANALOGI) SEBAGAI DALIL METODE HUKUM ISLAM


AL-QIYAS (ANALOGI) SEBAGAI DALIL METODE HUKUM ISLAM

 








Makalah   Di ajukan  Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Ushul Fiqih
Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri
(STAIN) Watampone


Disusun Oleh:
Kelompok 7 (Perbankan Syariah 2)

1.        Yuni Oktaviana
2.        Ristia Ningsih
3.        Resky Amelia





SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
W A T A M P O N E

2016


KATA PENGANTAR


Assalamu’alaikum Wr. Wb.,
Puji Syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan Rahmat serta Hidayah-Nya sehingga Penyusun dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Kedudukan Al-Qiyas Sebagai Dalil Metode Hukum Islam” yang mana pembahasannya meliputi : Pengertian Qiyas, Pembagian Qiyas, Rukun-rukun Qiyas, Syarat-syarat Qiyas dan Kedudukan Qiyas Sebagai Dalil (Metode Hukum Islam).
Makalah ini dapat kami susun sebagai salah satu syarat untuk memenuhi nilai Mata Kuliah Ushul Fiqh pada Program Studi Perbankan Syariah 2 di STAIN Watampone. Tak Luput makalah ini dapat terselesaikan berkat bantuan serta dorongan dari Dosen Pengampu dan Teman-teman seperjuangan,
Penyusun menyadari sepenuhnya bahwa dalam penyusunan makalah ini masih jauh dari kesempurnaan serta masih terdapat kekurangan, Oleh karena itu semua kritik dan saran yang bersifat membangun sangat Kami harapkan guna perbaikan selanjutnya. Akhirnya Penyusun berharap kiranya makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua, Amin Ya Rabbal ‘Alamin.
             
Watampone, 24  November 2016

          Penyusun

DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR .............................................................................               i
DAFTAR ISI .............................................................................................               ii
BAB I..... PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang.....................................................................               1
B.       Rumusan Masalah.................................................................               2
C.       Tujuan Penulisan...................................................................               2
BAB II... PEMBAHASAN
A.       Pengertian Qiyas..................................................................               3
B.       Pembagian Qiyas..................................................................               5
C.       Rukun Qiyas.........................................................................               9
D.       Syarat  Qiyas........................................................................               10
E.        Kedudukan Qiyas sebagai Dalil (Metode Hukum Islam)....               12
BAB III.. PENUTUP
A.       Kesimpulan...........................................................................               19
B.       Saran.....................................................................................               20
DAFTAR PUSTAKA








Sebagai Umat Islam dalam kehidupan sehari-hari ada aturan yang mengatur segala aktivitas kita. Semua ada batasan-batasan tertentu serta aturan aturan dalam menjalankannya. Dan semua aturan serta batasan hukum yang mengatur Umat Islam didasarkan pada Alqur’an dan Sunnah.
Banyak peristiwa atau kejadian yang belum jelas hukumnya, Karena di dalam Alqur’an dan Sunnah tidak dijumpai atau ditetapkan secara jelas hukumnya. Oleh sebab itu diperlukanlah sebuah cara atau metode yang dapat menyingkap dan memperjelas bahkan menentukan suatu Hukum.
Dulu ketika masa Rasulullah semua permasalahan yang timbul mudah diatasi karena dapat langsung ditanyakan kepada Rasulullah, tetapi dimasa sekarang jikalau ada permasalahan yang timbul bahkan banyak sekali permasalahan yang timbul yang tidak kita temukan dalam Alqur’an maupun Sunnah. Di sini para Ulama’ melakukan pendekatan yang sah yaitu dengan Ijtihad dan salah satu ijtihad itu adalah dengan Qiyas.
Qiyas merupakan suatu cara penggunaan pendapat untuk menetapkan suatu hukum terhadap suatu peristiwa atau kejadian yang belum jelas atau yang tidak dijelaskan secara jelas dalam Alqur’an dan Sunnah.
Dasar pemikiran Qiyas itu adalah adanya kaitan yang erat antara hukum dengan sebab. Hampir setiap Hukum di luar bidang ibadah dapat diketahui alasan rasional ditetapkannya hukum itu oleh Allah. Illat adalah patokan utama dalam menetapkan hukum atau permasalahan, Objek masalah adalah sesuatu yang tidak memiliki Nash. Atas dasar Keyakinan tersebut bahwa tidak ada yang luput dari Hukum Allah, Maka setiap Muslim meyakini setiap peristiwa atau kasus yang terjadi pasti ada hukumnya.
Dari paparan latar belakang di atas, Serta mengingat banyak mahasiswa yang masih belum memahami sepenuhnya mengenai Sumber Hukum Qiyas, Maka dari itu kami akan membahas tentang Qiyas sekaligus memenuhi tugas mata kuliah Ushul Fiqh.

1.        Apa yang dimaksud dengan Qiyas ?
2.        Apa saja macam-macam Qiyas?
3.        Apa saja rukun-rukun Qiyas?
4.        Apa saja syarat-syarat Qiyas?
5.        Bagaimana kedudukan dan kehujjahan Qiyas ?

1.        Untuk mengetahui secara detail mengenai Qiyas.
2.        Untuk Mengetahui Macam-macam Qiyas.
3.        Untuk mengetahui Rukun-rukun Qiyas.
4.        Untuk mengetahui syarat-syarat Qiyas.
5.        Untuk mengetahui Kedudukan dan Kehujjahan Qiyas?

Qiyas menurut Ulama’ Ushul fiqh ialah menerangkan hukum sesuatu yang tidak ada nashnya dalam Alqur’an dan Hadits dengan cara membandingkan dengan sesuatu yang ditetapkan hukumnya berdasarkan nash. Mereka juga membuat definisi lain : Qiyas ialah menyamakan sesuatu yang tidak ada nash hukumnya dengan sesuatu yang ada nash hukumnya karena adanya persamaan ‘illat hukum.[1]
Qiyas berasal dari kata “qasa, yaqisu, qaisan,” artinya mengukur dan ukuran. Kata qiyas diartikan ukuran sukatan, timbagan dan lain-lain yang searti dengan itu, atau pengukuran sesuatu dengan yang lainnya atau penyamanaan sesuatu dengan yang sejenisnya. Qiyas di artikam pua dengan at-taqdir wa at-taswiyah, artinya menduga dan mempersamakan.[2] 
Ada beberapa definisi menurut para ulama tentang pengertian qiyas diantaranya yaitu: [3]
1.    Al-Ghazali dalam Al-MustashfaMenanggungkan sesuatu yang diketahui kepada sesuatu yang diketahui dalam hal menetapkan hukum pada keduanya, dalam penetapan hukum atau peniadaan hukum.

2.    Qadhi Abu Bakar
Menanggungkan sesuatu yang diketahui kepada sesuatu yang diketahui dalam hal menetapkan hukum pada keduanya atau meniadakan hukum dari keduanya disebabkan ada hal yang sama antara keduanya.
3.    Ibnu Subkhi dalam Jam’u al-Jawami’
Menghubungkan sesuatu yang diketahui kepada sesuatu yang diketahui karena kesamaannya dalam ‘illat hukumnya menurut pihak yang menghubungkan (mujtahid).
4.    Abu Hasan al-Bashri
Menghasilkan (menetapkan) hukum ashal pada “furu’” karena keduanya sama dalam ‘illat hukum menurut mujtahid.
5.    Al-Baidhawi
Menetapkan semisal hukum yang diketahui pada sesuatu lain yang diketahui karena keduanya berserikat dalam ‘illat hukum menurut pandangan ulama yang menetapkan.
Dengan demikian qiyas itu hal yang fitri dan ditetapkan berdasarkan penalaran yang jernih, sebab asas qiyas adalah menghubungkan dua masalah secara analogis berdasarkan persamaan sebab dan sifat yang membentuknya. Apabila pendekatan analogis itu menemukan titik persamaan antara sebab-sebab dan sifat-sifat antara dua masalah tersebut, maka konsekuensinya harus sama pula hukum yang ditetapkan.[4]
B.  Pembagian Qiyas
1.    Pembagian qiyas dari segi kekuatan illat yang terdapat pada furu’ dibandingkan pada illat yang terdapat pada ashl. Dalam hal ini qiyas terbagi 3 yaitu :
a.         Qiyas Awlawi yaitu qiyas yang berlakunya hukum pada furu’ lebih kuat dari pemberlakuan hukum pada ashl karena kekuatan illat pada furu’. Contoh mengqiyaskan keharaman memukul orangtua kepada ucapan “up” (berkata kasar terhadap orng tua) dengan illat “menyakiti”. Hal itu ditegaskan Allah dalam surat Al-Isra ayat 23 :
* 4Ó|Ós%ur y7/u žwr& (#ÿrßç7÷ès? HwÎ) çn$­ƒÎ) Èûøït$Î!ºuqø9$$Î/ur $·Z»|¡ômÎ) 4 $¨BÎ) £`tóè=ö7tƒ x8yYÏã uŽy9Å6ø9$# !$yJèdßtnr& ÷rr& $yJèdŸxÏ. Ÿxsù @à)s? !$yJçl°; 7e$é& Ÿwur $yJèdöpk÷]s? @è%ur $yJßg©9 Zwöqs% $VJƒÌŸ2 ÇËÌÈ  
Artinya : Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. jika salah seorang di antara keduanya atau Kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya Perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka Perkataan yang mulia. (Q.S. Al-Isra : 23)
b.        Qiyas Musawi yaitu qiyas yang berlakunya hukum pada furu’ sama keadaannya dengan berlakunya hukum pada ashl karena kekuatan illatnya sama. Umpamanya mengqiyaskan membakar harta anak yatim kepada memakannya secara tidak patut dalam menetapkan hukum haramnya. Hal
ini ditegaskan Allah dalam surat An-Nisa ayat 2 :
(#qè?#uäur #yJ»tFuø9$# öNæhs9ºuqøBr& ( Ÿwur (#qä9£t7oKs? y]ŠÎ7sƒø:$# É=Íh©Ü9$$Î/ ( Ÿwur (#þqè=ä.ù's? öNçlm;ºuqøBr& #n<Î) öNä3Ï9ºuqøBr& 4 ¼çm¯RÎ) tb%x. $\/qãm #ZŽÎ6x. ÇËÈ  
Artinya : Dan berikanlah kepada anak-anak yatim (yang sudah balig) harta mereka, jangan kamu menukar yang baik dengan yang buruk dan jangan kamu Makan harta mereka bersama hartamu. Sesungguhnya tindakan-tindakan (menukar dan memakan) itu, adalah dosa yang besar.(Q.S. An-Nisa : 2)
Baik membakar harta anak yatim atau memakannya secara tidak patut adalah sama-sama merusak harta anak yatim. Oleh karena itu, hukum yang berlaku pada membakar harta anak yatim persis sama dengan hukum haram pada memakannya secara tidak patut.
c.         Qiyas Adwan yaitu qiyas yang berlakunya hukum pada furu’ itu lebih lemah dibandingkan dengan berlakunya hukum pada ashl meskipun qiyas tersebut memenuhi persyaratan. Contoh mengqiyaskan apael kepada gandum dalam menetapkan berlakunya riba’ fadhol bila dipertukarkan dengan barang yang sejenis. Illatnnya bahwa ia adalah makanan. Memberlakukan hukum riba pada apel lebih rendah daripada berlakunya hukum riba pada gandum karena illatnya lebih kuat.
2.    Pembagian qiyas dari segi kejelasan illatnya
a.         Qiyas jalli yaittu qiyas yang illatnya ditetapkan dalam nash bersamaan dengan penetapan hukum ashl atau tidak ditetapkan illat itu dalam nash, namun titik perbedaan antara ashl dengan furu’ dapat dipastikan tidak ada pengaruhnya. Contoh: qiyas memukul orangtua kepada ucapan “up” dengan illat menahan menyakiti orangtua yang dalam Al-Quran disuruh berbuat baik kepada orangtua.
b.        Qiyas khafi yaitu qiyas yang illatnya tidak disebutkan dalam nash. Maksudnya, diistinbatkan dari hukum ashl yang memungkinkan kedudukan illatnya bersifat dzanni. Umpamanya mengqiyaskan pembunuhan dengan benda berat kepada pembunuhan denagn benda tajam dalam penetapan hukum qishas dengan illat pembunuhan yang disengaja dalam bentuk permusuhan. Illat ini kedudukannya dalam ashl lebih jelas dibandingkan dengan kedudukannya dalam furu’.
3.    Pembagian qiyas dari segi keserasian illat dengan hukum
a.         Qiyas muatssir yaitu qiyas ‘ain sifat (sifat itu sendiri) yang menghubungkan ashl dan furu’ itu berpengaruh terhadap ‘ain hukum. Contoh mengqiyaskan minuman keras selain yang dibuat dari anggur kepada khamr dengan illat “memabukkan“. Illat memabukkan itu termasuk pada illat yang hubungannya dengan hukum haram.
b.        Qiyas mulaim yaitu qiyas yang illat hukum ashlnya mempunyai hubungan yang serasi. Contoh : Mengqiyaskan pembunuhan dengan benda berat kepada pembunuhan dengan benda tajam. Illat pada hukum ashlnya mempunyai hubungan yang serasi.
4.    Pembagian qiyas dari segi dijelaskan atau tidaknya illat pada qiyas itu
a.         Qiyas ma’na yaitu qiyas yang meskipun illatnya tidak dijelaskan dalam qiyas namun antara ashl dengan furu’ tidak terdapat dibedakan sehingga furu’ itu seolah-olah ashl itu sendiri. Contoh : Baik membakar harta anak yatim atau memakannya secara tidak patut dengan illat merusak harta anak yatim itu. Oleh karena adanya kesamaan itu, maka furu’ tersebut seolah ashl itu sendiri.
b.        Qiyas illat yaitu qiyas yang mempersamakan ashl dengan furu’ karena keduanya mempunyai persamaan illat. Contoh qiyas yang illatnya sama, baik pada ashl maupun furu’, seperti qiyas minuman keras yang terbuat dari kurma (khamr) dengan minuman keras yang dibuat dari air anggur (nabiz). Illat hukumnya sama memabukkan.
c.         Qiyas dilallah yaitu qiyas yang illatnya bukan pendorong bagi penetapan hukum itu sendiri namun ia merupakan keharusan (kelaziman) bagi illat yang memberi petunjuk akan adanya illat. Contoh: Mengqiyaskan nabiz kepada khamr dengan menggunakan alasan bau yang menyengat. Bau itu merupakan akibat yang lazim dari rangsangan kuat dalam sifat memabukkan.
5.    Pembagian qiyas dari segi metode (masalik) yang digunakan dalam ashl dan dalam furu’
a.         Qiyas ikhalah yaitu qiyas yang illat hukumnya ditetapkan melalui metode munasabbah dan ikhalah.
b.        Qiyas syabah yaitu qiyas yang illat hukum ashlnya ditetapkan melali metode syabah.
c.         Qiyas sabru yaitu qiyas yang illat hukum ashlnya ditetapkan melalui metode sabru wa taqsim.
d.        Qiyas thard yaitu qiyas yang illat hukum ashlnya ditetapkan melalui metode thard.[5]

Berdasarkan definisi bahwa qiyas ialah mempersamakan hukum suatu peristiwa yang tidak ada nashnya dengan hukum suatu peristiwa yang ada nashnya karena ‘illat serupa. Maka rukun qiyas ada empat macam, yaitu :
1.    Ashl (Pokok), yaitu suatu peristiwa yang sudah ada Nashnya yang dijadikan tempat mengqiyaskan, sedangkan menurut hukum teolog adalah suatu Nash syara’ yang menunjukkan ketentuan hukum, dengan kata lain suatu Nash yang menjadi Dasar Hukum. Ashl disebut Maqis ‘Alaih (yang dijadika tempat mengqiyaskan), Mahmul ‘Alaih (tempat membandingkan) atau Musyabbah bih (tempat menyerupakan).
2.    Far’u (Cabang), yaitu peristiwa yang tidak ada nashnya. Far’u itulah yang dikehendaki untuk disamakan hukumnya dengan ashl. Ia disebut juga maqis (yang dianalogikan) dan musyabbah (yang diserupakan).
3.    Hukum Ashl, yaitu hukum syara’ yang ditetapkan oleh suatu Nash.
4.    ‘Illat, yaitu suatu sifat yang terdapat pada ashl. Dengan adanya sifat itulah ashl mempuyai suatu hukum. Dan dengan sifat itu pula terdapat cabang sehingga hukum cabang itu disamakanlah dengan hukum ashl.[6]

D.  Syarat  Qiyas
1.    Maqis alaihi (tempat menqiyaskan sesuatu kepadanya). Syarat-syaratnya
a.         Harus ada dalil atau petunjuk yang membolehkan mengqiyaskan sesuatu kepadanya, baik secara nau’i atau syakhsi (lingkungan yang sempit atau terbatas).
b.        Harus ada kesepakatn ulama tentang adanya illat pada ashal maqis alaih itu.
2.    Maqis (sesuatu yang akan dipersamakan hukumnya dengan ashal)
a.         Illat yang terdapat pada furu memiliki kesamaan dengan illat yang terdapat pada ashal.
b.        Harus ada kesamaan antara furu itu dengan ashal dalam hal ilat maupun hukuum baik yang menyangkut ain atau jenis dalam arti sama dalam ain illat atau sejenis illat dan sama dalam ain hokum atau jenis hukum.
c.         Ketetapan pada hukum tidak menyalahi dalil qat’i.
d.        Tidak terdapat penentang hukum lain yang lebih kuat terhadap hukum pada furu dan hukum dalam penentang itu berlawan dengan illat qiyas itu.
e.         Furu itu tidak pernah diatur hukumnya dalam nash tertentu.
f.         Furu itu tidak mendahului ashal dalam keberadaannya.
3.    Hukum Ashal adalah hukum yang terdapat pada suatu wadah maqis alaihi yang ditetapkan hukumnya berdasarkan nash dan hukum itu pula yang akan diberlakukan pada furu. Adapu yang menjadi syarat-syaratnya
a.         Hukum ashal itu adalah hukum syara, karena tujuan qias syari adalah untuk mengetahui hukum syara pada furu.
b.        Hukum ashal itu ditetapkan dengan nash bukan dengan qiyas.
c.         Hukum ashal itu adalah hukum yang tetap berlaku, bukan hukum yang telah di nasakh.
d.        Hukum ashal itu tidak menyimpang dari ketentuan qiyas.
e.         Hukumashal itu harus disepakati oleh ulama.
f.         Dalil yang menetapkan hukum ashal secara langsung tidak menjangkau kepada furu.
4.    Illat adalah sifat yang menjadi kaitan bagi adanya suatu hukum.
a.         Illat itu harus mengandung hikmah yang mendorong pelaksanaan suatu hukum dan dapat dijadikan sebagai kaitan hukum.
b.        Illat itu adalah suatu sifat yang jelas dan dapat disaksikan.
c.         Illat itu harus dalam bentuk sifat yang terukur, keadaannya jelas dan terbatas, sehingga tidak tercampur dengan yang lainnya.
d.        Harus ada hubungan kesesuaian dan kelayakan antara hukum dengan sifat yang akan menjadi illat.
e.         Illat itu harus mempunyai daya rentang.
f.         Tidak ada dalil yang menyatakan bahwa sifat itu tidak dipandang untuk menjadi illat.[7]

E.  Kedudukan Qiyas sebagai Dalil (Metode Hukum Islam)
Mengenai kedudukan qiyas sebagai dalil hukum, terjadi perbedaan pandangan diantara ulama ushul fiqih. Sebagian mengatakan bahwa qiyas termasuk sumber bahkan dalil hukum, sementara yang lain tidak demikian. Dari sejumlah literature, ditemukan bahwa paling tidak terdapat tiga kelompok ulama’ yang berbeda pendapat tentang keberadaan qiyas dan kehujjahannya sebagai hukum Islam.
Kelompok pertama, mengatakan bahwa qiyas adalah dalil dan sumber hukum. Dalam catatan Zaky al-Din Sya’ban.[8] Kelompok pertama ini menyatakan bahwa para Fuqaha’ (ulama) telah sepakat – dimana qiyas merupakan salah satu pokok atau dasar Tasyri’ dan dalil hukum Syariah. Kelompok ini disebut dengan kelompok pendukung qiyas (مثبت القياس) .
Dan dari sunnah, mereka mendasarkan pada peristiwa Muadz bin jabal. Dan mereka juga melandaskan pada perbuatan dan ucapan-ucapan sahabat yang membuktikan bahwa qiyas adalah hujjah Syara’, mereka meng-qiyaskan masalah-masalah yang tidak memiliki nash dengan hukum yang ada nashnya dengan cara membandingkan antara yang satu dengan yang lain.[9]
Kelompok kedua, ialah kelompok yang menolak keberadaan qiyas sebagai dalil dan sumber hukum Islam. Kelompok ini dikenal dengan sebutan (نفاة القياس). Mereka terdiri dari kelompok al-Nizamiyah, Mu’tazilah, Daud al-Dhahiri, Ibnu Hazm dan sebagian kaum Syi’ah.[10]
Ibnu Hazm menyatakan dengan tegas penolakannya berhujjah dengan ra’yu dan hanya berhujjah pada nash Al-Qur’an dan sunnah dengan memperhatikan makna lahirnya (zahirnya saja). Menurutnya, karena qiyas berpijak pada dugaan ra’yu tentang suatu ‘illat, dan apa yang dihasilkan oleh dugaan itu maka hasilnya pun bersifat dzan dan yang demikian tidak dapat diterima sebagai dalil dan hujjah.
Kelompok keiga, adalah kelompok yang berlawanan dengan dua kelompok yang telah disebutkan di atas. Kelompok ketiga ini, yang kelihatannya ingin menduduki keberadaan qiyas pada posisinya dalam hukum Islam. Al-Ghazali, Abu Zahrah dan Ahmad Hasan misalnya, mereka berpendapat bahwa qiyas bukanlah dalil hukum, melainkan cara, metode atau manhaj dalam menggali han menghasilkan hukum dari dalil nash.[11]
Mengenai dasar hukum qiyas bagi yang membolehkannya sebagai dasar hujjah, ialah al-Qur’an dan Al-Hadits serta perbuatan sahabat yaitu:
1.    Dalil Alqur’an
Allah SWT memberi petunjuk bagi penggunaan qiyas dengan cara menyamakan dua hal sebagaimana dalam surat Yasin (36), ayat 78-79:
z>uŽŸÑur $oYs9 WxsWtB zÓŤtRur ¼çms)ù=yz ( tA$s% `tB ÄÓ÷ÕムzN»sàÏèø9$# }Édur ÒOŠÏBu ÇÐÑÈ
 ö@è% $pkŽÍósムüÏ%©!$# !$ydr't±Sr& tA¨rr& ;o§tB ( uqèdur Èe@ä3Î @,ù=yz íOŠÎ=tæ ÇÐÒÈ  
78. Dan ia membuat perumpamaan bagi kami dan dia lupa kepada kejadiannya, ia berkata : “siapakah yang dapat menghidupkan Tulang belulang yang telah hancur luluh?”
79. Katakanlah : “Ia akan dihidupkan oleh Tuhan yang menciptakannya kali yang pertama dan Dia maha mengetahui tentang segala makhluk.
Ayat ini  menjelaskan bahwa Allah menyamakan kemampuan-Nya menghidupkan tulang belulang yang telah berserakan dikemudian hari dengan kemampuan-Nya dalam menciptakan tulang belulang pertama kali. Hal ini berarti bahwa Allah menyamakan menghidupkan tulang tersebut kepada penciptaan pertama kali.
Allah menyuruh menggunakan qiyas sebagaimana dipahami dari beberapa ayat Alqur’an, seperti dalam surat Al-Hasyr (59), ayat 2 :
uqèd üÏ%©!$# ylt÷zr& tûïÏ%©!$# (#rãxÿx. ô`ÏB È@÷dr& É=»tGÅ3ø9$# `ÏB öNÏd̍»tƒÏŠ ÉA¨rL{ ÎŽô³ptø:$# 4 $tB óOçF^oYsß br& (#qã_ãøƒs ( (#þqZsßur Oßg¯Rr& óOßgçGyèÏR$¨B NåkçXqÝÁãm z`ÏiB «!$# ãNßg9s?r'sù ª!$# ô`ÏB ß]øym óOs9 (#qç7Å¡tGøts ( t$xs%ur Îû ãNÍkÍ5qè=è% |=ôã9$# 4 tbqç̍øƒä NåksEqãç öNÍkÏ÷ƒr'Î Ï÷ƒr&ur tûüÏZÏB÷sßJø9$# (#rçŽÉ9tFôã$$sù Í<'ré'¯»tƒ ̍»|ÁöF{$# ÇËÈ  
“Dia-lah yang mengeluarkan orang-orang kafir di antara ahli kitab dari kampung-kampung mereka pada saat pengusiran yang pertama. kamu tidak menyangka, bahwa mereka akan keluar dan merekapun yakin, bahwa benteng-benteng mereka dapat mempertahankan mereka dari (siksa) Allah; Maka Allah mendatangkan kepada mereka (hukuman) dari arah yang tidak mereka sangka-sangka. dan Allah melemparkan ketakutan dalam hati mereka; mereka memusnahkan rumah-rumah mereka dengan tangan mereka sendiri dan tangan orang-orang mukmin. Maka ambillah (Kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, Hai orang-orang yang mempunyai wawasan.”
Pada ayat di atas terdapat perkataan fa’ tabiru ya ulil abshar (maka ambillah tamsil dan ibarat dari kejadian itu hai orang-orang yang mempunyai pandangan tajam). Maksudnya ialah: Allah SWT memerintahkan kepada manusia agar membandingkan kejadian yang terjadi pada diri sendiri kepada kejadian yang terjadi pada orang-orang kafir itu. Jika orang-orang beriman melakukan perbuatan seperti perbuatan orang-orang kafir itu, niscaya mereka akan memperoleh azab yang serupa. Dari penjelmaan ayat di atas dapat dipahamkan bahwa orang boleh menetapkan suatu hukum syara’ dengan cara melakukan perbandingan, persamaan atau qiyas.
Firman Allah dalam surat An-Nisa’ (4) ayat 59:
$pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä (#qãèÏÛr& ©!$# (#qãèÏÛr&ur tAqß§9$# Í<'ré&ur ͐öDF{$# óOä3ZÏB ( bÎ*sù ÷Läêôãt»uZs? Îû &äóÓx« çnrŠãsù n<Î) «!$# ÉAqß§9$#ur.
“Hai orang-orang yang beriman, taatlah kamu kepada Allah dan taatlah kamu kepada Rasul dan ulil amri (orang-orang yang mengurus urusan) di antaramu. Jika kamu berselisih paham tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah dan Rasul.”
Perintah menaati Allah berarti perintah mengikuti hukum Alqu’an, perintah menaati Rasul berarti perintah untuk melaksanakan hukum yang terdapat dalam Sunnah dan perintah menaati ulil amri berarti perintah mengikuti hukum hasil ijma’ ulama. Sedangkan kata-kata akhir  (Jika kamu berselisih paham tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah dan Rasul), berarti perintah untuk mengikuti qiyas dalam hal-hal terdapat perbedaan.
2.    Dalil Sunnah
Di antara dalil sunnah yang dikemukakan Jumhur Ulama’ sebagai argumentasi bagi penggunaan qiyas adalah:
a.         Hadits mengenai percakapan Nabi dengan Muaz ibn Jabal, saat ia diutus ke Yaman untuk menjadi penguasa di sana. Nabi bertanya, “Dengan cara apa engkau menetapkan hukum seandainya kepadamu diajukan sebuah perkara? “Muaz menjawab, “Saya menetapkan hukum berdasarkan kitab Allah”. Nabi bertanya lagi, “Bila engkau tidak menemukan hukumnya dalam kitab Allah?” Jawab Muaz, “Dengan sunnah Rasul.” Nabi bertanya lagi, “ kalau dalm Sunah juga engkau tidak menemukannya?” Muaz menjawab, “Saya akan menggunakan ijtihad denga nalar (ra’yu) saya.” Nabi bersabda, “segala puji bagi Allah yang telah memberi Taufiq kepada utusan Rasul Allah dengan apa yang diridhoi Rasul Allah.”Hadits tersebut merupakan dalil sunnah yang kuat, menurut jumhur Ulama’, tentang kekuatan qiyas sebagai dalil Syara’
b.        Nabi memberi petunjuk kepada sahabatnya tentang penggunaan qiyas dengan membandingkan antara dua hal, kemudian mengambil keputusan atas perbandingan tersebut. Dalam Hadits dari Ibnu ‘Abbas menurut riwayat An-Nasa’i Nabi bersabda: “Bagaimana pendapatmu bila bapakmu berutang, apakah engkau akan membayarnya?” Dijawab oleh si penanya (al-Khatasamiyah), “ya, memang.” Nabi Berkata, “Utang terhadap Allah lebih patut untuk dibayar.”
Hadits di atas adalah tanggapan atas persoalan si penanya yang bapaknya bernazar untuk haji tetapi meninggal dunia sebelum sempat mengerjakan haji. Ditanyakannya kepada Nabi dengan ucapannya, “Bagaimana kalau saya yang menghajikan bapak saya itu?” Keluarlah jawaban Nabi seperti tersebut di atas. Dalam hadits itu, Nabi memberikan taqrir (pengakuan) kepada sahabatnya yang menyamakan utang kepada Allah, yaitu haji lebih patut untuk dibayar. Dalil ini menurut jumhur ulama’ cukup kuat sebagai alasan penggunaan qiyas.
3.    Atsar Shahabi
Adapun argumentasi jumhur ulama’ berdasarkan atsar sahabat dalam penggunaan qiyas, adalah :
a.         Surat Umar Ibn Khattab kepada Abu Musa Al-Asy’ari sewaktu diutus menjadi qodhi di Yaman. Umar berkata :
Putuskanlah Hukum berdasarkan kitab Allah. Bila kamu tidak menemukannya, maka putuskan berdasarkan sunnah Rasul. Jika juga kamu peroleh di dalam sunnah, berijtihadlah dengan menggunakan ra’yu.
Pesan Umar dilanjutkan dengan : Ketahuilah kesamaan dan keserupaan: Qiyas-kanlah segala urusan waktu itu.
Bagian pertama atsar ini menjelaskan suruhan menggunakan ra’yu pada waktu tidak menemukan jawaban dalam Alqur’am maupun Sunnah, sedangkan bagian akhir atsar shahabi itu secara jelas menyuruh titik perbandingan dan kesamaan di antara dua hal dan menggunakan qiyas bila menemukan kesamaan.
b.        Para Sahabat Nabi banyak menetapkan pendapatnya berdasarkan qiyas. Contoh yang popular adalah kesepakatan sahabat mengangkat Abu bakar menjadi khalifah pengganti Nabi. Mereka menetapkannya dengan dasar qiyas, yaitu karena Abu bakar pernah ditunjuk Nabi menggantikan beliau nmenjadi imam shalat jamaah sewaktu beliau sakit. Hal ini dijadikan alasan untuk mengangkat abu bakar menjadi khalifah. Para sahabat berkata: “Nabi telah menunjukkannya menjadi pemimpin urusan agama kita, kenapa kita tidak memilihnya untuk memimpin urusan dunia kita.”
c.         Kedudukan abu bakar sebagai khalifah diqiyas-kan kepada kedudukannya sebagai imam shalat jamaah. Ternyata argumen ini dipahami semua sahabat (yang hadir dalam pertemuan itu), sehingga mereka sepakat untuk mengangkat abu bakar dengan cara tersebut.[12]


BAB III

1.    Qiyas menurut Ulama’ Ushul fiqh ialah menerangkan hukum sesuatu yang tidak ada nashnya dalam Alqur’an dan Hadits dengan cara membandingkan dengan sesuatu yang ditetapkan hukumnya berdasarkan nash.
2.    Untuk pembagian dari qiyas itu sendiri penulis telah menjelaskan secara dzohir, yang dimana dapat ditarik kesimpulan bahwa macam- macam qiyas itu sendiri yaitu:
a.         Dilihat dari segi kekuatan Illat yang terdapat Furu’: Qiyas Aulawi, Musawi dan Adna.
b.        Dilihat dari segi kejelasan Illat hukum: Qiyas Jaly dan Qiyas Khafi.
c.         Dilihat dari segi persamaan cabang kepada pokok: Qiyas ma’na dan Qiyas Sibhi.
3.    Qiyas itu bisa dikatakan benar bila memenuhi empat rukun, yaitu:
a.         Ashal, yakni suatu kejadian yang telah dinyatakan ketentuan hukumnya oleh nash.
b.        Furu’, yakni suatu kejadian baru yang belum diketahui ketentuan hukumnya dan belum terangkat dalam nash.
c.         ‘Illat, yakini sifat-sifat yang menjadi dasar dari ketentuan hukum ashal.
d.        Hukum Ashal, yakni ketentuan hukum syara’ yang telah diletakkan pula pada furu’.
4.    Sedangkan mengenai kedudukan qiyas sebagai dalil hukum, terjadi perbedaan pandangan diantara ulama ushul fiqih. Dari sejumlah literature, ditemukan bahwa paling tidak terdapat tiga kelompok ulama’ yang berbeda pendapat tentang keberadaan qiyas dan kehujjahannya sebagai hukum Islam.  Namun jumhur ulama ushul telah sepakat bahwa qiyas termasuk salah satu sumber penetapan hukum dalam Islam setelah al-Qur’an, sunnah dan ijma’. Qiyas harus memenuhi ketentuan syarat-syarat dan rukun yang berlaku untuk bisa dijadikan hujjah. Apabila tidak maka hukumnya tidak sah dan dianggap sebagai qiyas yang  fasid atau menyalahi aturan.

B.  Saran
Semoga dengan adanya pembahasan makalah kami dapat menjadi masukan dan sumberpengetahuan bagi semua orang dan semoga bermanfaat. Kami menyadari sepenuhnya bahwa kami hanyalah manusia biasa yang tak luput dari salah dan lupa, oleh sebab itu kami sadar bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Untuk itu kami sangat harapkan kritik dan saran yang membangun dari semua pihak terutama dari dosen yang bersangkutan, agar kedepannya dapat membuat yang lebih baik.

Abu Zahrah, Muhammad. 2012. Ushul Fiqh. Jakarta: Pustaka Firdaus.

Ahmad Saebani, Beni. 2009.  Fiqih Ushul Fiqh. Pustaka Setia. Bandung.

Haroen Nasrun, 1997. Ushul Fiqih 1”, Ciputat: Logos Wacana Ilmu.

Khallaf, Abdul Wahhab. 1994. Ilmu Ushul Fiqh. Semarang: Dina Utama Semarang.

Rifa’i, Moh. 1978.  Ilmu Fiqih Islam Lengkap, Semarang: PT Karya Toha Putra Semarang.

Romli SA,  1999. Muqaranah Mazahib fil Ushul. Jakarta: Gaya Media Pratama.

Syafe’i, Rachmat. 2010. Ilmu Ushul Fiqih. Bandung: Pustaka Setia.

Syarifuddin, Amir. 2008. Ushul Fiqh Jilid 1. Jakarta : Kencana Prenada Media Group.

Syarifuddin, Amir. 2011. Ushul Fiqh. Jakarta: Kencana.


 
 



[1]   Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, (Jakarta : Pustaka Firdaus, 2012), hlm 336.
[2]   Beni Ahmad saebani, Fiqih Ushul Fiqh, (Pustaka Setia. Bandung.2009), hal 174
[3]   Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 1, (Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 2008), hlm 144-147
[4]   Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, (Jakarta : Pustaka Firdaus, 2012), hlm 336-337.
[5]   Amir Syarifuddin, Ushul Fiqih 1, ( Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2008 ), hal. 389-393
[6]    Prof. Rachmat Syafe’i, MA., Ilmu Ushul Fiqh, (Bandung : Pustaka Setia, 2010), hlm 87-88.
[7]   Amir Syarifuddin,Ushul Fiqh, (Jakarta:Kencana, 2008), hlm. 180-193
[8]    Nasrun Haroen, “Ushul Fiqih 1”, (Ciputat: Logos Wacana Ilmu 1997), hal 133.
[9]   Abdul Wahhab Khallaf. Ilmu Ushul Fiqh. (Semarang: Dina Utama Semarang, 1994). Hal. 58
[10]   Abdul Wahab Khalaf. Op.Cit Hal 54
[11]   Romli SA, Muqaranah Mazahib fil Ushul, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999), Hal:134-136
[12]   Prof. H. Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, (Jakarta : Kencana, 2011), hlm 177-187.

No comments:

Post a Comment

MAKALAHKU

MAKALAH TATANIAGA HASIL PERIKANAN

Tugas Individu MAKALAH TATANIAGA HASIL PERIKANAN Oleh ASRIANI 213095 2006 SEKOLAH TINGGI ILMU P...