AL-QIYAS (ANALOGI) SEBAGAI DALIL METODE HUKUM
ISLAM
![]() |
Makalah Di
ajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Ushul
Fiqih
Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri
(STAIN) Watampone
Disusun
Oleh:
Kelompok
7 (Perbankan Syariah 2)
1.
Yuni
Oktaviana
2.
Ristia
Ningsih
3.
Resky Amelia
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
W A T A M P O N E
2016
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr. Wb.,
Puji
Syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan Rahmat serta Hidayah-Nya
sehingga Penyusun dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Kedudukan Al-Qiyas
Sebagai Dalil Metode Hukum Islam” yang mana pembahasannya meliputi : Pengertian
Qiyas, Pembagian Qiyas, Rukun-rukun Qiyas, Syarat-syarat Qiyas dan Kedudukan
Qiyas Sebagai Dalil (Metode Hukum Islam).
Makalah
ini dapat kami susun sebagai salah satu syarat untuk memenuhi nilai Mata Kuliah
Ushul Fiqh pada Program Studi Perbankan Syariah 2 di STAIN Watampone. Tak Luput
makalah ini dapat terselesaikan berkat bantuan serta dorongan dari Dosen
Pengampu dan Teman-teman seperjuangan,
Penyusun
menyadari sepenuhnya bahwa dalam penyusunan makalah ini masih jauh dari
kesempurnaan serta masih terdapat kekurangan, Oleh karena itu semua kritik dan
saran yang bersifat membangun sangat Kami harapkan guna perbaikan selanjutnya.
Akhirnya Penyusun berharap kiranya makalah ini dapat bermanfaat bagi kita
semua, Amin Ya Rabbal ‘Alamin.
Watampone,
24 November 2016
Penyusun
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR ............................................................................. i
DAFTAR ISI ............................................................................................. ii
BAB I..... PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang..................................................................... 1
B.
Rumusan Masalah................................................................. 2
C.
Tujuan Penulisan................................................................... 2
BAB II... PEMBAHASAN
B. Pembagian Qiyas.................................................................. 5
D. Syarat Qiyas........................................................................ 10
BAB III.. PENUTUP
A.
Kesimpulan........................................................................... 19
B.
Saran..................................................................................... 20
DAFTAR PUSTAKA
Sebagai
Umat Islam dalam kehidupan sehari-hari ada aturan yang mengatur segala
aktivitas kita. Semua ada batasan-batasan tertentu serta aturan aturan dalam
menjalankannya. Dan semua aturan serta batasan hukum yang mengatur Umat Islam
didasarkan pada Alqur’an dan Sunnah.
Banyak
peristiwa atau kejadian yang belum jelas hukumnya, Karena di dalam Alqur’an dan
Sunnah tidak dijumpai atau ditetapkan secara jelas hukumnya. Oleh sebab itu
diperlukanlah sebuah cara atau metode yang dapat menyingkap dan memperjelas
bahkan menentukan suatu Hukum.
Dulu
ketika masa Rasulullah semua permasalahan yang timbul mudah diatasi karena
dapat langsung ditanyakan kepada Rasulullah, tetapi dimasa sekarang jikalau ada
permasalahan yang timbul bahkan banyak sekali permasalahan yang timbul yang
tidak kita temukan dalam Alqur’an maupun Sunnah. Di sini para Ulama’ melakukan
pendekatan yang sah yaitu dengan Ijtihad dan salah satu ijtihad itu adalah
dengan Qiyas.
Qiyas
merupakan suatu cara penggunaan pendapat untuk menetapkan suatu hukum terhadap
suatu peristiwa atau kejadian yang belum jelas atau yang tidak dijelaskan
secara jelas dalam Alqur’an dan Sunnah.
Dasar
pemikiran Qiyas itu adalah adanya kaitan yang erat antara hukum dengan sebab.
Hampir setiap Hukum di luar bidang ibadah dapat diketahui alasan rasional ditetapkannya
hukum itu oleh Allah. Illat adalah
patokan utama dalam menetapkan hukum atau permasalahan, Objek masalah adalah
sesuatu yang tidak memiliki Nash. Atas dasar Keyakinan tersebut bahwa tidak ada
yang luput dari Hukum Allah, Maka setiap Muslim meyakini setiap peristiwa atau
kasus yang terjadi pasti ada hukumnya.
Dari
paparan latar belakang di atas, Serta mengingat banyak mahasiswa yang masih
belum memahami sepenuhnya mengenai Sumber Hukum Qiyas, Maka dari itu kami akan
membahas tentang Qiyas sekaligus memenuhi tugas mata kuliah Ushul Fiqh.
1.
Apa yang dimaksud dengan Qiyas ?
2.
Apa saja macam-macam Qiyas?
3.
Apa saja rukun-rukun Qiyas?
4.
Apa saja syarat-syarat Qiyas?
5.
Bagaimana kedudukan dan kehujjahan Qiyas ?
1.
Untuk mengetahui secara detail mengenai
Qiyas.
2.
Untuk Mengetahui Macam-macam Qiyas.
3.
Untuk mengetahui Rukun-rukun Qiyas.
4.
Untuk mengetahui syarat-syarat Qiyas.
5.
Untuk mengetahui Kedudukan dan Kehujjahan
Qiyas?
Qiyas menurut Ulama’ Ushul fiqh ialah menerangkan hukum
sesuatu yang tidak ada nashnya dalam Alqur’an dan Hadits dengan cara
membandingkan dengan sesuatu yang ditetapkan hukumnya berdasarkan nash. Mereka
juga membuat definisi lain : Qiyas ialah menyamakan sesuatu yang tidak ada nash
hukumnya dengan sesuatu yang ada nash hukumnya karena adanya persamaan ‘illat hukum.[1]
Qiyas berasal dari
kata “qasa, yaqisu, qaisan,” artinya mengukur dan ukuran. Kata qiyas diartikan
ukuran sukatan, timbagan dan lain-lain yang searti dengan itu, atau pengukuran
sesuatu dengan yang lainnya atau penyamanaan sesuatu dengan yang sejenisnya. Qiyas
di artikam pua dengan at-taqdir wa at-taswiyah, artinya menduga dan
mempersamakan.[2]
1.
Al-Ghazali dalam Al-MustashfaMenanggungkan sesuatu yang diketahui kepada sesuatu yang
diketahui dalam hal menetapkan hukum pada keduanya, dalam penetapan hukum atau
peniadaan hukum.
2.
Qadhi Abu Bakar
Menanggungkan
sesuatu yang diketahui kepada sesuatu yang diketahui dalam hal menetapkan hukum
pada keduanya atau meniadakan hukum dari keduanya disebabkan ada hal yang sama
antara keduanya.
3.
Ibnu Subkhi dalam Jam’u al-Jawami’
Menghubungkan
sesuatu yang diketahui kepada sesuatu yang diketahui karena kesamaannya dalam
‘illat hukumnya menurut pihak yang menghubungkan (mujtahid).
4.
Abu
Hasan al-Bashri
Menghasilkan
(menetapkan) hukum ashal pada “furu’” karena keduanya sama dalam ‘illat hukum
menurut mujtahid.
5.
Al-Baidhawi
Menetapkan semisal hukum yang diketahui pada
sesuatu lain yang diketahui karena keduanya berserikat dalam ‘illat hukum menurut
pandangan ulama yang menetapkan.
Dengan demikian qiyas itu
hal yang fitri dan ditetapkan berdasarkan penalaran yang jernih, sebab asas
qiyas adalah menghubungkan dua masalah secara analogis berdasarkan persamaan
sebab dan sifat yang membentuknya. Apabila pendekatan analogis itu menemukan
titik persamaan antara sebab-sebab dan sifat-sifat antara dua masalah tersebut,
maka konsekuensinya harus sama pula hukum yang ditetapkan.[4]
B. Pembagian
Qiyas
1.
Pembagian qiyas dari segi kekuatan illat yang
terdapat pada furu’ dibandingkan pada illat yang terdapat pada ashl. Dalam hal
ini qiyas terbagi 3 yaitu :
a.
Qiyas Awlawi yaitu qiyas yang berlakunya
hukum pada furu’ lebih kuat dari pemberlakuan hukum pada ashl karena kekuatan
illat pada furu’. Contoh mengqiyaskan keharaman memukul orangtua kepada ucapan
“up” (berkata kasar terhadap orng tua) dengan illat “menyakiti”. Hal itu
ditegaskan Allah dalam surat Al-Isra ayat 23 :
* 4Ó|Ós%ur y7/u wr& (#ÿrßç7÷ès? HwÎ) çn$Î) Èûøït$Î!ºuqø9$$Î/ur $·Z»|¡ômÎ) 4 $¨BÎ) £`tóè=ö7t x8yYÏã uy9Å6ø9$# !$yJèdßtnr& ÷rr& $yJèdxÏ. xsù @à)s? !$yJçl°; 7e$é& wur $yJèdöpk÷]s? @è%ur $yJßg©9 Zwöqs% $VJÌ2 ÇËÌÈ
Artinya : Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu
jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu
dengan sebaik-baiknya. jika salah seorang di antara keduanya atau Kedua-duanya
sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, Maka sekali-kali janganlah kamu
mengatakan kepada keduanya Perkataan "ah" dan janganlah kamu
membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka Perkataan yang mulia.
(Q.S. Al-Isra : 23)
b.
Qiyas Musawi yaitu qiyas yang berlakunya
hukum pada furu’ sama keadaannya dengan berlakunya hukum pada ashl karena
kekuatan illatnya sama. Umpamanya mengqiyaskan membakar harta anak yatim kepada
memakannya secara tidak patut dalam menetapkan hukum haramnya. Hal
ini ditegaskan Allah dalam surat An-Nisa ayat
2 :
(#qè?#uäur #yJ»tFuø9$# öNæhs9ºuqøBr& ( wur (#qä9£t7oKs? y]Î7sø:$# É=Íh©Ü9$$Î/ ( wur (#þqè=ä.ù's? öNçlm;ºuqøBr& #n<Î) öNä3Ï9ºuqøBr& 4 ¼çm¯RÎ) tb%x. $\/qãm #ZÎ6x. ÇËÈ
Artinya
: Dan berikanlah kepada anak-anak yatim (yang sudah balig) harta mereka,
jangan kamu menukar yang baik dengan yang buruk dan jangan kamu Makan harta
mereka bersama hartamu. Sesungguhnya tindakan-tindakan (menukar dan memakan)
itu, adalah dosa yang besar.(Q.S. An-Nisa : 2)
Baik membakar harta anak yatim atau
memakannya secara tidak patut adalah sama-sama merusak harta anak yatim. Oleh
karena itu, hukum yang berlaku pada membakar harta anak yatim persis sama
dengan hukum haram pada memakannya secara tidak patut.
c.
Qiyas Adwan yaitu qiyas yang berlakunya hukum
pada furu’ itu lebih lemah dibandingkan dengan berlakunya hukum pada ashl
meskipun qiyas tersebut memenuhi persyaratan. Contoh mengqiyaskan apael kepada
gandum dalam menetapkan berlakunya riba’ fadhol bila dipertukarkan
dengan barang yang sejenis. Illatnnya bahwa ia adalah makanan. Memberlakukan
hukum riba pada apel lebih rendah daripada berlakunya hukum riba pada gandum
karena illatnya lebih kuat.
2.
Pembagian qiyas dari segi kejelasan illatnya
a.
Qiyas jalli yaittu qiyas yang illatnya
ditetapkan dalam nash bersamaan dengan penetapan hukum ashl atau tidak
ditetapkan illat itu dalam nash, namun titik perbedaan antara ashl dengan furu’
dapat dipastikan tidak ada pengaruhnya. Contoh: qiyas memukul orangtua kepada
ucapan “up” dengan illat menahan menyakiti orangtua yang dalam Al-Quran disuruh
berbuat baik kepada orangtua.
b.
Qiyas khafi yaitu qiyas yang illatnya tidak
disebutkan dalam nash. Maksudnya, diistinbatkan dari hukum ashl yang
memungkinkan kedudukan illatnya bersifat dzanni. Umpamanya mengqiyaskan
pembunuhan dengan benda berat kepada pembunuhan denagn benda tajam dalam
penetapan hukum qishas dengan illat pembunuhan yang disengaja dalam bentuk
permusuhan. Illat ini kedudukannya dalam ashl lebih jelas dibandingkan dengan
kedudukannya dalam furu’.
3.
Pembagian qiyas dari segi keserasian illat
dengan hukum
a.
Qiyas muatssir yaitu qiyas ‘ain sifat (sifat
itu sendiri) yang menghubungkan ashl dan furu’ itu berpengaruh terhadap ‘ain hukum.
Contoh mengqiyaskan minuman keras selain yang dibuat dari anggur kepada khamr
dengan illat “memabukkan“. Illat memabukkan itu termasuk pada illat yang
hubungannya dengan hukum haram.
b.
Qiyas mulaim yaitu qiyas yang illat hukum
ashlnya mempunyai hubungan yang serasi. Contoh : Mengqiyaskan pembunuhan dengan
benda berat kepada pembunuhan dengan benda tajam. Illat pada hukum ashlnya
mempunyai hubungan yang serasi.
4.
Pembagian qiyas dari segi dijelaskan atau
tidaknya illat pada qiyas itu
a.
Qiyas ma’na yaitu qiyas yang meskipun
illatnya tidak dijelaskan dalam qiyas namun antara ashl dengan furu’ tidak
terdapat dibedakan sehingga furu’ itu seolah-olah ashl itu sendiri. Contoh :
Baik membakar harta anak yatim atau memakannya secara tidak patut dengan illat
merusak harta anak yatim itu. Oleh karena adanya kesamaan itu, maka furu’
tersebut seolah ashl itu sendiri.
b.
Qiyas illat yaitu qiyas yang mempersamakan
ashl dengan furu’ karena keduanya mempunyai persamaan illat. Contoh qiyas yang
illatnya sama, baik pada ashl maupun furu’, seperti qiyas minuman keras yang
terbuat dari kurma (khamr) dengan minuman keras yang dibuat dari air anggur
(nabiz). Illat hukumnya sama memabukkan.
c.
Qiyas dilallah yaitu qiyas yang illatnya
bukan pendorong bagi penetapan hukum itu sendiri namun ia merupakan keharusan
(kelaziman) bagi illat yang memberi petunjuk akan adanya illat. Contoh: Mengqiyaskan
nabiz kepada khamr dengan menggunakan alasan bau yang menyengat. Bau itu
merupakan akibat yang lazim dari rangsangan kuat dalam sifat memabukkan.
5.
Pembagian qiyas dari segi metode (masalik)
yang digunakan dalam ashl dan dalam furu’
a.
Qiyas ikhalah yaitu qiyas yang illat hukumnya
ditetapkan melalui metode munasabbah dan ikhalah.
b.
Qiyas syabah yaitu qiyas yang illat hukum
ashlnya ditetapkan melali metode syabah.
c.
Qiyas sabru yaitu qiyas yang illat hukum
ashlnya ditetapkan melalui metode sabru wa taqsim.
Berdasarkan
definisi bahwa qiyas ialah mempersamakan hukum suatu peristiwa yang tidak ada
nashnya dengan hukum suatu peristiwa yang ada nashnya karena ‘illat serupa.
Maka rukun qiyas ada empat macam, yaitu :
1. Ashl
(Pokok), yaitu suatu peristiwa yang sudah ada Nashnya yang dijadikan tempat
mengqiyaskan, sedangkan menurut hukum teolog adalah suatu Nash syara’ yang
menunjukkan ketentuan hukum, dengan kata lain suatu Nash yang menjadi Dasar
Hukum. Ashl disebut Maqis ‘Alaih (yang dijadika tempat mengqiyaskan), Mahmul
‘Alaih (tempat membandingkan) atau Musyabbah bih (tempat menyerupakan).
2. Far’u
(Cabang), yaitu peristiwa yang tidak ada nashnya. Far’u itulah yang dikehendaki
untuk disamakan hukumnya dengan ashl. Ia disebut juga maqis (yang dianalogikan)
dan musyabbah (yang diserupakan).
3. Hukum
Ashl, yaitu hukum syara’ yang ditetapkan oleh suatu Nash.
4. ‘Illat,
yaitu suatu sifat yang terdapat pada ashl. Dengan adanya sifat itulah ashl
mempuyai suatu hukum. Dan dengan sifat itu pula terdapat cabang sehingga hukum
cabang itu disamakanlah dengan hukum ashl.[6]
D. Syarat
Qiyas
1. Maqis
alaihi (tempat menqiyaskan sesuatu kepadanya). Syarat-syaratnya
a.
Harus ada dalil atau petunjuk yang
membolehkan mengqiyaskan sesuatu kepadanya, baik secara nau’i atau syakhsi
(lingkungan yang sempit atau terbatas).
b.
Harus ada kesepakatn ulama tentang adanya
illat pada ashal maqis alaih itu.
2. Maqis
(sesuatu yang akan dipersamakan hukumnya dengan ashal)
a.
Illat yang terdapat pada furu memiliki
kesamaan dengan illat yang terdapat pada ashal.
b.
Harus ada kesamaan antara furu itu dengan
ashal dalam hal ilat maupun hukuum baik yang menyangkut ain atau jenis dalam
arti sama dalam ain illat atau sejenis illat dan sama dalam ain hokum atau
jenis hukum.
c.
Ketetapan pada hukum tidak menyalahi dalil
qat’i.
d.
Tidak terdapat penentang hukum lain yang
lebih kuat terhadap hukum pada furu dan hukum dalam penentang itu berlawan
dengan illat qiyas itu.
e.
Furu itu tidak pernah diatur hukumnya dalam
nash tertentu.
f.
Furu itu tidak mendahului ashal dalam
keberadaannya.
3. Hukum
Ashal adalah hukum yang terdapat pada suatu wadah maqis alaihi yang ditetapkan
hukumnya berdasarkan nash dan hukum itu pula yang akan diberlakukan pada furu.
Adapu yang menjadi syarat-syaratnya
a.
Hukum ashal itu adalah hukum syara, karena
tujuan qias syari adalah untuk mengetahui hukum syara pada furu.
b.
Hukum ashal itu ditetapkan dengan nash bukan
dengan qiyas.
c.
Hukum ashal itu adalah hukum yang tetap
berlaku, bukan hukum yang telah di nasakh.
d.
Hukum ashal itu tidak menyimpang dari
ketentuan qiyas.
e.
Hukumashal itu harus disepakati oleh ulama.
f.
Dalil yang menetapkan hukum ashal secara
langsung tidak menjangkau kepada furu.
4. Illat
adalah sifat yang menjadi kaitan bagi adanya suatu hukum.
a.
Illat itu harus mengandung hikmah yang
mendorong pelaksanaan suatu hukum dan dapat dijadikan sebagai kaitan hukum.
b.
Illat itu adalah suatu sifat yang jelas dan
dapat disaksikan.
c.
Illat itu harus dalam bentuk sifat yang
terukur, keadaannya jelas dan terbatas, sehingga tidak tercampur dengan yang
lainnya.
d.
Harus ada hubungan kesesuaian dan kelayakan
antara hukum dengan sifat yang akan menjadi illat.
e.
Illat itu harus mempunyai daya rentang.
f.
Tidak ada dalil yang menyatakan bahwa sifat
itu tidak dipandang untuk menjadi illat.[7]
Mengenai
kedudukan qiyas sebagai dalil hukum, terjadi perbedaan pandangan diantara ulama
ushul fiqih. Sebagian mengatakan bahwa qiyas termasuk sumber bahkan
dalil hukum, sementara yang lain tidak demikian. Dari sejumlah literature,
ditemukan bahwa paling tidak terdapat tiga kelompok ulama’ yang berbeda
pendapat tentang keberadaan qiyas dan kehujjahannya sebagai hukum Islam.
Kelompok
pertama, mengatakan bahwa qiyas adalah dalil dan sumber hukum.
Dalam catatan Zaky al-Din Sya’ban.[8]
Kelompok pertama ini menyatakan bahwa para Fuqaha’ (ulama) telah sepakat
– dimana qiyas merupakan salah satu pokok atau dasar Tasyri’ dan dalil hukum
Syariah. Kelompok ini disebut dengan kelompok pendukung qiyas (مثبت القياس) .
Dan
dari sunnah, mereka mendasarkan pada peristiwa Muadz bin jabal. Dan mereka juga
melandaskan pada perbuatan dan ucapan-ucapan sahabat yang membuktikan bahwa
qiyas adalah hujjah Syara’, mereka meng-qiyaskan masalah-masalah yang tidak
memiliki nash dengan hukum yang ada nashnya dengan cara membandingkan antara
yang satu dengan yang lain.[9]
Kelompok
kedua, ialah kelompok yang menolak keberadaan qiyas sebagai dalil dan
sumber hukum Islam. Kelompok ini dikenal dengan sebutan (نفاة القياس). Mereka
terdiri dari kelompok al-Nizamiyah, Mu’tazilah, Daud al-Dhahiri, Ibnu Hazm dan
sebagian kaum Syi’ah.[10]
Ibnu
Hazm menyatakan dengan tegas penolakannya berhujjah dengan ra’yu dan
hanya berhujjah pada nash Al-Qur’an dan sunnah dengan memperhatikan makna
lahirnya (zahirnya saja). Menurutnya, karena qiyas berpijak pada dugaan ra’yu
tentang suatu ‘illat, dan apa yang dihasilkan oleh dugaan itu maka
hasilnya pun bersifat dzan dan yang demikian tidak dapat diterima
sebagai dalil dan hujjah.
Kelompok
keiga, adalah kelompok yang berlawanan dengan dua kelompok yang telah
disebutkan di atas. Kelompok ketiga ini, yang kelihatannya ingin menduduki
keberadaan qiyas pada posisinya dalam hukum Islam. Al-Ghazali, Abu Zahrah dan
Ahmad Hasan misalnya, mereka berpendapat bahwa qiyas bukanlah dalil hukum,
melainkan cara, metode atau manhaj dalam menggali han menghasilkan hukum dari
dalil nash.[11]
Mengenai dasar hukum qiyas bagi yang
membolehkannya sebagai dasar hujjah, ialah al-Qur’an dan Al-Hadits serta
perbuatan sahabat yaitu:
1. Dalil
Alqur’an
Allah
SWT memberi petunjuk bagi penggunaan qiyas dengan cara menyamakan dua hal
sebagaimana dalam surat Yasin (36), ayat 78-79:
z>uŽŸÑur $oYs9 WxsWtB zÓŤtRur ¼çms)ù=yz ( tA$s% `tB ÄÓ÷ÕムzN»sàÏèø9$# }‘Édur ÒOŠÏBu‘ ÇÐÑÈ
ö@è% $pkŽÍ‹ósムü“Ï%©!$# !$ydr't±Sr& tA¨rr& ;o§tB ( uqèdur Èe@ä3Î @,ù=yz íOŠÎ=tæ ÇÐÒÈ
78. Dan ia membuat
perumpamaan bagi kami dan dia lupa kepada kejadiannya, ia berkata : “siapakah
yang dapat menghidupkan Tulang belulang yang telah hancur luluh?”
79. Katakanlah : “Ia akan
dihidupkan oleh Tuhan yang menciptakannya kali yang pertama dan Dia maha
mengetahui tentang segala makhluk.
Ayat
ini menjelaskan bahwa Allah menyamakan
kemampuan-Nya menghidupkan tulang belulang yang telah berserakan dikemudian
hari dengan kemampuan-Nya dalam menciptakan tulang belulang pertama kali. Hal
ini berarti bahwa Allah menyamakan menghidupkan tulang tersebut kepada
penciptaan pertama kali.
Allah
menyuruh menggunakan qiyas sebagaimana dipahami dari beberapa ayat Alqur’an,
seperti dalam surat Al-Hasyr (59), ayat 2 :
uqèd ü“Ï%©!$# ylt÷zr& tûïÏ%©!$# (#rãxÿx. ô`ÏB È@÷dr& É=»tGÅ3ø9$# `ÏB öNÏdÌ»tƒÏŠ ÉA¨rL{ ÎŽô³ptø:$# 4 $tB óOçF^oYsß br& (#qã_ãøƒs† ( (#þq‘Zsßur Oßg¯Rr& óOßgçGyèÏR$¨B NåkçXqÝÁãm z`ÏiB «!$# ãNßg9s?r'sù ª!$# ô`ÏB ß]ø‹ym óOs9 (#qç7Å¡tGøts† ( t$x‹s%ur ’Îû ãNÍkÍ5qè=è% |=ôã”9$# 4 tbqçÌøƒä† NåksEqã‹ç öNÍk‰Ï‰÷ƒr'Î “ω÷ƒr&ur tûüÏZÏB÷sßJø9$# (#rçŽÉ9tFôã$$sù ’Í<'ré'¯»tƒ Ì»|ÁöF{$# ÇËÈ
“Dia-lah yang mengeluarkan orang-orang kafir
di antara ahli kitab dari kampung-kampung mereka pada saat pengusiran yang
pertama. kamu tidak menyangka, bahwa mereka akan keluar dan merekapun yakin,
bahwa benteng-benteng mereka dapat mempertahankan mereka dari (siksa) Allah;
Maka Allah mendatangkan kepada mereka (hukuman) dari arah yang tidak mereka
sangka-sangka. dan Allah melemparkan ketakutan dalam hati mereka; mereka
memusnahkan rumah-rumah mereka dengan tangan mereka sendiri dan tangan
orang-orang mukmin. Maka ambillah (Kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, Hai
orang-orang yang mempunyai wawasan.”
Pada
ayat di atas terdapat perkataan fa’ tabiru ya ulil abshar (maka ambillah tamsil
dan ibarat dari kejadian itu hai orang-orang yang mempunyai pandangan tajam).
Maksudnya ialah: Allah SWT memerintahkan kepada manusia agar membandingkan
kejadian yang terjadi pada diri sendiri kepada kejadian yang terjadi pada
orang-orang kafir itu. Jika orang-orang beriman melakukan perbuatan seperti
perbuatan orang-orang kafir itu, niscaya mereka akan memperoleh azab yang
serupa. Dari penjelmaan ayat di atas dapat dipahamkan bahwa orang boleh
menetapkan suatu hukum syara’ dengan cara melakukan perbandingan, persamaan
atau qiyas.
Firman
Allah dalam surat An-Nisa’ (4) ayat 59:
$pkš‰r'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä (#qãè‹ÏÛr& ©!$# (#qãè‹ÏÛr&ur tAqß™§9$# ’Í<'ré&ur ÍöDF{$# óOä3ZÏB ( bÎ*sù ÷Läêôãt“»uZs? ’Îû &äóÓx« çnr–Šãsù ’n<Î) «!$# ÉAqß™§9$#ur.
“Hai orang-orang yang
beriman, taatlah kamu kepada Allah dan taatlah kamu kepada Rasul dan ulil amri
(orang-orang yang mengurus urusan) di antaramu. Jika kamu berselisih paham
tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah dan Rasul.”
Perintah
menaati Allah berarti perintah mengikuti hukum Alqu’an, perintah menaati Rasul
berarti perintah untuk melaksanakan hukum yang terdapat dalam Sunnah dan
perintah menaati ulil amri berarti perintah mengikuti hukum hasil ijma’ ulama.
Sedangkan kata-kata akhir (Jika kamu
berselisih paham tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah dan
Rasul), berarti perintah untuk mengikuti qiyas dalam hal-hal terdapat
perbedaan.
2. Dalil
Sunnah
Di
antara dalil sunnah yang dikemukakan Jumhur Ulama’ sebagai argumentasi bagi
penggunaan qiyas adalah:
a.
Hadits mengenai percakapan Nabi dengan Muaz
ibn Jabal, saat ia diutus ke Yaman untuk menjadi penguasa di sana. Nabi
bertanya, “Dengan cara apa engkau menetapkan hukum seandainya kepadamu diajukan
sebuah perkara? “Muaz menjawab, “Saya menetapkan hukum berdasarkan kitab
Allah”. Nabi bertanya lagi, “Bila engkau tidak menemukan hukumnya dalam kitab
Allah?” Jawab Muaz, “Dengan sunnah Rasul.” Nabi bertanya lagi, “ kalau dalm
Sunah juga engkau tidak menemukannya?” Muaz menjawab, “Saya akan menggunakan
ijtihad denga nalar (ra’yu) saya.” Nabi bersabda, “segala puji bagi Allah yang
telah memberi Taufiq kepada utusan Rasul Allah dengan apa yang diridhoi Rasul
Allah.”Hadits tersebut merupakan dalil sunnah yang kuat, menurut jumhur Ulama’,
tentang kekuatan qiyas sebagai dalil Syara’
b.
Nabi memberi petunjuk kepada sahabatnya
tentang penggunaan qiyas dengan membandingkan antara dua hal, kemudian
mengambil keputusan atas perbandingan tersebut. Dalam Hadits dari Ibnu ‘Abbas
menurut riwayat An-Nasa’i Nabi bersabda: “Bagaimana pendapatmu bila bapakmu
berutang, apakah engkau akan membayarnya?” Dijawab oleh si penanya
(al-Khatasamiyah), “ya, memang.” Nabi Berkata, “Utang terhadap Allah lebih
patut untuk dibayar.”
Hadits
di atas adalah tanggapan atas persoalan si penanya yang bapaknya bernazar untuk
haji tetapi meninggal dunia sebelum sempat mengerjakan haji. Ditanyakannya
kepada Nabi dengan ucapannya, “Bagaimana kalau saya yang menghajikan bapak saya
itu?” Keluarlah jawaban Nabi seperti tersebut di atas. Dalam hadits itu, Nabi
memberikan taqrir (pengakuan) kepada sahabatnya yang menyamakan utang kepada
Allah, yaitu haji lebih patut untuk dibayar. Dalil ini menurut jumhur ulama’
cukup kuat sebagai alasan penggunaan qiyas.
3.
Atsar Shahabi
Adapun argumentasi jumhur ulama’ berdasarkan
atsar sahabat dalam penggunaan qiyas, adalah :
a.
Surat Umar Ibn Khattab kepada Abu Musa
Al-Asy’ari sewaktu diutus menjadi qodhi di Yaman. Umar berkata :
Putuskanlah
Hukum berdasarkan kitab Allah. Bila kamu tidak menemukannya, maka putuskan
berdasarkan sunnah Rasul. Jika juga kamu peroleh di dalam sunnah, berijtihadlah
dengan menggunakan ra’yu.
Pesan
Umar dilanjutkan dengan : Ketahuilah kesamaan dan keserupaan: Qiyas-kanlah
segala urusan waktu itu.
Bagian
pertama atsar ini menjelaskan suruhan menggunakan ra’yu pada waktu tidak
menemukan jawaban dalam Alqur’am maupun Sunnah, sedangkan bagian akhir atsar
shahabi itu secara jelas menyuruh titik perbandingan dan kesamaan di antara dua
hal dan menggunakan qiyas bila menemukan kesamaan.
b.
Para Sahabat Nabi banyak menetapkan
pendapatnya berdasarkan qiyas. Contoh yang popular adalah kesepakatan sahabat
mengangkat Abu bakar menjadi khalifah pengganti Nabi. Mereka menetapkannya
dengan dasar qiyas, yaitu karena Abu bakar pernah ditunjuk Nabi menggantikan
beliau nmenjadi imam shalat jamaah sewaktu beliau sakit. Hal ini dijadikan
alasan untuk mengangkat abu bakar menjadi khalifah. Para sahabat berkata: “Nabi
telah menunjukkannya menjadi pemimpin urusan agama kita, kenapa kita tidak
memilihnya untuk memimpin urusan dunia kita.”
c.
Kedudukan abu bakar sebagai khalifah
diqiyas-kan kepada kedudukannya sebagai imam shalat jamaah. Ternyata argumen
ini dipahami semua sahabat (yang hadir dalam pertemuan itu), sehingga mereka
sepakat untuk mengangkat abu bakar dengan cara tersebut.[12]
BAB III
1. Qiyas
menurut Ulama’ Ushul fiqh ialah menerangkan hukum sesuatu yang tidak ada
nashnya dalam Alqur’an dan Hadits dengan cara membandingkan dengan sesuatu yang
ditetapkan hukumnya berdasarkan nash.
2. Untuk pembagian dari qiyas itu
sendiri penulis telah menjelaskan secara dzohir, yang dimana dapat ditarik
kesimpulan bahwa macam- macam qiyas itu sendiri yaitu:
a.
Dilihat dari segi kekuatan Illat yang
terdapat Furu’: Qiyas Aulawi, Musawi dan Adna.
b.
Dilihat dari segi kejelasan Illat
hukum: Qiyas Jaly dan Qiyas Khafi.
c.
Dilihat dari segi persamaan cabang
kepada pokok: Qiyas ma’na dan Qiyas Sibhi.
3. Qiyas itu bisa
dikatakan benar bila memenuhi empat rukun, yaitu:
a.
Ashal, yakni suatu kejadian yang telah
dinyatakan ketentuan hukumnya oleh nash.
b.
Furu’, yakni suatu kejadian baru yang
belum diketahui ketentuan hukumnya dan belum terangkat dalam nash.
c.
‘Illat, yakini sifat-sifat yang menjadi
dasar dari ketentuan hukum ashal.
d.
Hukum Ashal, yakni ketentuan hukum
syara’ yang telah diletakkan pula pada furu’.
4. Sedangkan
mengenai kedudukan qiyas sebagai dalil hukum, terjadi perbedaan pandangan
diantara ulama ushul fiqih. Dari sejumlah literature, ditemukan bahwa paling
tidak terdapat tiga kelompok ulama’ yang berbeda pendapat tentang keberadaan qiyas
dan kehujjahannya sebagai hukum Islam. Namun
jumhur ulama ushul telah sepakat bahwa qiyas termasuk salah satu sumber
penetapan hukum dalam Islam setelah al-Qur’an, sunnah dan ijma’. Qiyas harus
memenuhi ketentuan syarat-syarat dan rukun yang berlaku untuk bisa dijadikan
hujjah. Apabila tidak maka hukumnya tidak sah dan dianggap sebagai qiyas
yang fasid atau menyalahi aturan.
B. Saran
Semoga dengan adanya pembahasan makalah kami dapat menjadi
masukan dan sumberpengetahuan bagi semua orang dan semoga bermanfaat. Kami
menyadari sepenuhnya bahwa kami hanyalah manusia biasa yang tak luput dari
salah dan lupa, oleh sebab itu kami sadar bahwa makalah ini masih jauh dari
kesempurnaan. Untuk itu kami sangat harapkan kritik dan saran yang membangun
dari semua pihak terutama dari dosen yang bersangkutan, agar kedepannya dapat
membuat yang lebih baik.
Abu Zahrah, Muhammad. 2012.
Ushul
Fiqh. Jakarta: Pustaka Firdaus.
Ahmad Saebani, Beni.
2009. Fiqih Ushul Fiqh. Pustaka Setia. Bandung.
Haroen Nasrun, 1997. “Ushul
Fiqih 1”, Ciputat: Logos Wacana Ilmu.
Khallaf,
Abdul Wahhab. 1994. Ilmu Ushul Fiqh. Semarang: Dina Utama Semarang.
Rifa’i, Moh. 1978. Ilmu Fiqih Islam Lengkap, Semarang: PT Karya Toha Putra
Semarang.
Romli SA, 1999. Muqaranah Mazahib fil Ushul. Jakarta: Gaya Media Pratama.
Syafe’i, Rachmat. 2010. Ilmu
Ushul Fiqih. Bandung: Pustaka Setia.
Syarifuddin, Amir. 2008. Ushul
Fiqh Jilid 1. Jakarta : Kencana Prenada Media Group.
Syarifuddin, Amir. 2011. Ushul
Fiqh. Jakarta: Kencana.
|
No comments:
Post a Comment