BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Kesehatan adalah hasil
interaksi berbagai faktor, baik faktor internal (fisik dan psikis) maupun faktor eksternal (sosial,
budaya, lingkungan fisik, politik, ekonomi, pendidikan dan sebagainya). Faktor-faktor
tersebut saling berkaitan dengan masalah-masalah lain diluar masalah kesehatan
itu sendiri. Pemecahan masalah kesehatan tidak dapat hanya dilihat dari segi
kesehatan, tetapi juga harus dilihat dari seluruh dimensi yang berkontribusi
terhadap kesehatan. (Maulana, 2009
; 8).
Trauma kepala merupakan salah satu masalah kesehatan yang dapat menyebabkan gangguan fisik dan mental yang kompleks. Gangguan yang ditimbulkan dapat bersifat sementara maupun menetap, seperti defisit kognitif, psikis, intelektual, serta gangguan fungsi fisiologis lainnya. Hal ini disebabkan oleh karena trauma kepala dapat mengenai berbagai komponen kepala mulai dari bagian terluar hingga terdalam, termasuk tengkorak dan otak (Irawan, 2010).
World Health Organization
(WHO) mencatat, 1,2 juta
jiwa meninggal dunia dalam kecelakaan jalan raya setiap tahunnya dan 50 juta
orang korban kecelakaan mengalami luka serius maupun cacat tetap. Hal ini yang mendorong WHO
mencanangkan gerakan dasawarsa keselamatan jalan raya pada 2011 hingga 2020
dengan target mengurangi jumlah korban mencapai 50 %. (Triharyanto
B., 2014).
|
Di Indonesia jumlah korban meninggal
dunia karena kecelakaan lalu lintas pada tahun 2013 terhitung menurun dari
tahun sebelumnya. Tercatat
pada tahun 2010 sebesar 31.244 jiwa yang meninggal dunia akibat kecelakaan lalu
lintas. Sedangkan
tahun 2011, sebesar 32.657 jiwa dan 2012 korban meninggal dunia adalah sebesar
27.441 jiwa. Sementara itu pada 2013, sebesar 25.157 jiwa. (Srihandriatmo M., 2014).
Di Sulawesi Selatan jumlah
kecelakaan lalu lintas sepanjang tahun 2013 tercatat 4.330 kasus dan sekitar
1.208 orang yang meninggal dunia diantaranya mengalami luka berat 1.621 orang
sedangkan luka ringan sebanyak 3.799 orang. Dari data yang ada pada tahun 2012
lalu, menunjukkan angka laka-lantas mengalami penurunan sekitar 106 kasus dari
tahun sebelumnya, korban meninggal juga mengalami penurunan dari tahun sebelumnya
(2012) sebanyak 201 orang (Hasanuddin, 2014).
Melihat fakta tersebut
di atas maka penulis
merasa tertarik untuk mempersembahkan
sebuah makalah yang berjudul “Trauma
Capitis”.
B.
Rumusan
Masalah
1.
Apakah yang dimaksud trauma
capitis?
2.
Bagaimanakah anatomi fisiologi system saraf?
3.
Apa sajakah penyebab trauma
capitis?
4.
Bagaimana insiden terjadinya
trauma capitis?
5.
Bagaimanakah patofisologi trauma capitis?
6.
Bagaimanakah manifestasi klinis trauma
capitis?
7.
Apa sajakah komplikasi trauma
capitis?
8.
Bagaimanakah penatalaksanaan pada klien trauma capitis?
C.
Tujuan Penulisan
1.
Untuk mengetahui definisi trauma
capitis.
2.
Untuk mengetahui anatomi fisiologi system saraf.
3.
Untuk mengetahui penyebab trauma
capitis.
4.
Untuk mengetahui insiden
terjadinya trauma capitis.
5.
Untuk mengetahui patofisologi trauma capitis.
6.
Untuk mengetahui manifestasi
klinis trauma capitis.
7.
Untuk mengetahui komplikasi
trauma capitis.
8.
Untuk mengetahui penatalaksanaan pada klien trauma capitis.
|
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
1.
Trauma Kapitis merupakan salah
satu penyebab kematian dan kecacatan utama pada kelompok usia produktif dan
sebagian besar terjadi akibat kecelakaan lalu lintas (Mansjoer, 2000 ; 3).
2.
Trauma atau cedera kepala juga dikenal
sebagai cedera otak adalah gangguan fungsi normal otak karena trauma, baik
trauma tumpul maupun trauma tajam (Batticaca, 2008 ; 96).
3.
Trauma Kapitis adalah cedera pada kepala
mengenai kulit kepala, tengkorak, dan otak. Cedera kepala merupakan peristiwa
yang sering terjadi dan mengakibatkan kelainan neurologis yang serius serta
telah mencapai proporsi epidemik sebagai akibat dari kecelakaan kendaraan
(Baughman, 2000 ; 65).
4.
Cedera Kepala
merupakan proses dimana terjadi trauma langsung atau deselerasi terhadap kepala
yang menyebabkan kerusakan tengkorak dan otak (Grace, 2006 ; 91).
5.
Pada umumnya Cedara Kepala merupakan akibat salah
satu atau kombinasi dari dua mekanisme dasar yaitu kontak bentur dan guncangan
lanjut (Satyanegara, 2010 ; 193).
Adapun klasifikasi cedera
kepala berdasarkan mekanisme, keparahan, dan morfologi cedera menurut Mansjoer
(2000 ; 3) yaitu :
1.
Mekanisme
berdasakan adanya penetrasi durameter.
a.
Trauma tumpul :
Kecepatan tinggi (tabrakan otomobil) dan Kecepatan rendah (terjatuh, dipukul)
b.
Trauma tembus
(luka tembus peluru dan cedera tembus lainnya).
2.
Keparahan cedera
a.
Ringan :Skala
Koma Glasglow (Glasglow Coma Scale, GCS)
14-15
b.
Sedang : GCS
9-13
c.
Berat : GCS 3-8
3.
Morfologi
a.
Fraktur
tengkorak :
Kranium : Linear/stelatum; depresi/non depresi;
terbuaka / tertutup.
Basis:
dengan/tanpa kebocoran cairan serebrospinal
Dengan/tanpa
kelumpuhan nervus VII
b.
Lesi
Intrakranial :
Fokal: epidural,
subdural, intraserebral
Disfus: konkusi
ringan, konkusi klasik, cedera aksonal difus.
B.
Anatomi Fisiologi
Sistem saraf adalah serangkaian organ yang kompleks dan berkesinambungan
serta terdiri terutama dari jaringan saraf. Dalam mekanisme sistem saraf
lingkungan internal dan stimulus eksternal dipanatu dan diatur. Kemampuan
khusus seperti iritabilitas atau sensitivitas terhadap stimulus dan
konduktivitas atau kemampuan untuk mentransmisi suatu respon terhadap stimulus,
diatur oleh saraf dalam tiga cara utama yaitu : (1) Input sensorik : Sistem saraf menerima
sensasi atau stimulus melalui resptor, yang terletak di tubuh baik eksternal
(resptor somatik) maupun internal (reseptor viseral). (2) Aktivitas integratif
: Reseptor mengubah stimulus menjadi impuls listrik yang menjalar di sepanjang
saraf sampai ke otak dan medulla spinalis yang kemudian akan menginterpretasi
dan mengintegrasi stimulus sehingga respon terhadap informasi bisa
terjadi. (3) Output motorik : Impuls
dari otak dan medulla spinalis memperoleh respons yang sesuai dari otot dan
kelenjar tubuh yang disebut sebagai efektor (Sloane, 2004 ; 154).
1.
Sistem saraf
pusat
1)
Otak
|

Otak yang sudah berkembang penuh merupakan sebuah organ besar yang
terletak didalam rongga tengkorak. Pada perkembangan awal, otak dibagi menjadi
tiga bagian, yaitu otak depan, otak tengah, dan otak belakang.
Otak depan merupakan bagian terbesar dan disebut serebrum, yang dibagi
dalam dua hemisfer, yaitu hemisfer kiri dan hemisfer kanan, oleh fisura
longitudinal. Lapisan luar serebrum disebut korteks serebri dan tersusun atas
badan abu-abu (badan sel) yang berlipat-lipat yang disebut giri, yang
dipisahkan oleh fisura yang disebutsulci.
Otak tengah terletak di antara otak depan dan otak belakang. Panjangnya
kira-kira 2 cm dan terdiri atas dua buah pita seperti tangkai dari bahan putih,
yang disebut pedunkulus serebeli, yang membawa impuls melewati dan berasal dari
otak dan medula spinalis dan empat tonjolan kecil, yang disebut badan kuadrigeminal, yang berperan dalam
refleks penglihatan dan pendengaran. Badan pineal terletak di antara dua badan
kuadrigeminal bagian atas.
Otak belakang terdiri atas tiga bagian :
a)
Pons,
terletak diantara otak tengah bagian atas dan medula oblongata bagian bawah.
Pons mengandung serabut saraf yang membawa impuls ke atas dan ke bawah dan
beberapa serabut yang menyatu dengan serebelum.
b)
Medula oblongata, terletak antara pons dibagian atas dan medulla spinalis bagian bawah.
Struktur ini berisi pusat jantung dan pernapasan dan juga diketahui sebagai
pusat vital yang mengontrol jantung dan pernapasan.
c)
Serebelum,
terletak dibagian bawah lobus oksipital serebrum. Serebrum dihubungkan dengan
otak tengah, pons, dan medulla oblongata oleh tiga serabut pita, yang disebut
pedunkulus serebeli inferior medial dan superior.
2)
Medula Spinalis
Medula spinalis berlanjut dengan medula oblongata diatas otak dan
merrupakan sistem saraf pusat dibawah otak. Struktur ini berawal pada foramen
magnum dan berakhir pada lumbal pertama tulang belakang, dengan panjang sekitar
45cm. Pada ujung bagian bawah, ia berangsur angsur menghilang kedalam suatu
bentuk kerucut, yang dinamakan konus medularis dari ujung, tempat filum
terminal turun ke kogsigis yang dikelilingi oleh akar saraf, disebut kauda
aquina. Medula spinalis memiliki saraf-sarf yang berpasangan. Ketabalannya
bervariasi, membengkak pada daerah serviks dan lumbal, dimana kauda memprsarafi
daerah tungkai. Medula spinalis bercalah padaa bagian depan dan belakang dan
hampir secara utuh terbagi dalam dua sisi seperti serebrum.
Medula spinalis terdiri dari masa abu-abu dibagian tengah. Masa putih mengandung
serabut yang terletak hanya diantara medula dan otak, tetapi tidak dijaringan
tubuh. Medula spinalis mengandung serabut sensorik dan motorik. Serabut motorik
: berjalan kebawah dan pusat motorik serebelum dan cerebelum ke sel-sel
motorik. Serabut sensorik : berjalan keatas dari sel-sel sensorik ke pusat
sensorik di otak. Massa abu-abu, pada irisan melintang, memiliki pola seperti
huruf H, dengan dua tonjolan kedepan pada setiap sisi, yang disebut kornu
posterior. Saraf kranial merupakan 12 saraf yang muncul pada inti dibatang
otak. Beberapa bersifat motorik, beberapa bersifat sensorik, dan beberapa
bersifat keduanya.
Saraf spinalis ada 31 pasang saraf yang muncul di medulla spinalis. Tiap
saraf memiliki komponen motorik dan sensorik masing masing dibagian anterior
dan posterior medula, dan dua serabut saraf tersebut berjalan bersama-sama
meninggalkan meduula. Siatem saraf otonom, mengendalikan organ-organ internal,
bekerja dibawah kesadaran, tetapi dipengaruhi oleh emosi. Sarf kranial, saraf
spinalis, dan sistem saraf otonom yang disebutkan tadi membentuk siatem saraf
perifer.
3)
Meninges
Meninges
ialah membran protektif yang melapisi sistem saraf pusat. Ada tiga lapisan
meninges, yaitu :
a)
Lapisan luar,
yang disebut durameter, merupakan
membran fibrosa kuat yang mempunyai dua lapisan, yaitu bagian luar yang
melapisi permukaan dalam tengkorak dan membentuk periosteum.
b)
Lapisan tengah, Araknoid-mater adalah membran halus
langsung dibawah dura dan masuk diantara bagian-bagian otak.
c)
Lapisan dalam, Piameter adalah membran vaskular dan
berhubungan dengan permukaan luar otak dan medula spinalis. (Watson, 2002 ;
73-87).
2.
Sistem saraf
ferifer
Sistem saraf ferifer meliputi seluryh jaringan saraf lain dalam tubuh.
Sistem ini terdiri dari saraf kranial dan saraf spinal yang menghubungkan otak
dan medulla spinalis dengan reseptor
dan efektor. Secara fugsional, sistem saraf perifer terbagi menjadi sistem
aferen dan sistem eferen.
1)
Saraf aferen
(sensorik) mentransmisi informasi dari reseptor sensorik ke SSP.
2)
Saraf eferen (motorik)
mentrasmisi informasi dari SSP ke otot dan kelenjar.
Sistem
eferen dari sistem saraf perifer memiliki dua subdivisi.
a)
Divisi somatik (volunter) berkaitan dengan perubahan
lingkungan.
b)
Eksternal dan
pembentukan respons motorik volunter pada otot rangka.
c)
Divisi otonom (involunter) mengendalikan seluruh
respons involunter pada otot polos, otot jantung, dan kelenjar dengan cara
mentransmisi impuls saraf melalui 2 jalur.
(1) Saraf Simpatis berasal dari area toraks dan lumbal
pada medulla spinalis.
(2) Saraf Parasimpatis berasal dari area otak dan sakral
pada medulla spinalis.
(3) Sebagian besar organ internal di bawah kendali otonom
memiliki inervasi simpatis dan parasimpatis (Sloane, 2004 ; 154).
C. Etiologi
Kecelakaan kendaraan
bermotor merupakan penyebab utama cedera kepala, penyebab lain yang mungkin
adalah jatuh, pemukulan, kecelakaan. (Nurachmah, 2000 ; 154).
Menurut Satyanegara (2010 ;
193) mekanisme penyebab cedera kepala adalah kontak bentur dan guncangan
lanjut. Cedera kontak bentur terjadi bila kepala
membentur atau menabrak sesuatu objek yang sebaliknya. Sedangkan cedera
guncangan lanjut merupakan akibat peristiwa guncangan kepala yang hebat, baik
yang disebabkan oleh pukulan maupun yang bukan karena pukulan.
Selanjutnya menurut Muttaqin (2008 ;
271), penyebab dari cedera kepala adalah adanya trauma pada kepala meliputi
trauma oleh benda/serpihan tulang yang menembus jaringan otak, efek dari
kekuatan atau energi yang diteruskan keotak dan efek percepatan dan perlambatan
(akselerasi-deselerasi) pada otak.
D.
Insiden
Di Amerika Serikat, kejadian cedera
kepala setiap tahunnya diperkirakan mencapai 500.000 kasus. Dari jumlah
tersebut, 10% meninggal sebelum tiba di
rumah sakit. Yang sampai di rumah sakit, 80% dikelompokkan sebagai cedera
kepala ringan (CKR), 10% termasuk cedera kepala sedang (CKS), dan 10% sisanya
adalah cedera kepala berat (CKB).
Insiden cedera kepala terutama terjadi pada kelompok usia produktif
antara 15-44 tahun. Kecelakaan lalu lintas merupakan penyebab 48%-53% dari
insiden cedera kepala, 20%-28% lainnya karena jatuh dan 3%-9% lainnya
disebabkan tindak kekerasan, kegiatan olahraga dan rekreasi.
Data epidemiologi di Indonesia belum
ada, tetapi data dari salah satu rumah sakit di Jakarta, RS Cipto Mangunkusumo,
untuk penderita rawat inap, terdapat 60%-70% dengan cedera kepala ringan (CKR), 15%-20% CKS, dan
sekitar 10% dengan CKB. Angka kematian tertinggi sekitar 35%-50% akibat cedera
kepala berat (CKB), 5%-10%
cedera
kepala
sedang (CKS), sedangkan untuk
cedera kepala ringan (CKR) tidak ada yang meninggal
(http://willbenurse.com. Diakses 29 Juni 2014).
E.
Patofisologi
1.
Pukulan langsung
Dapat
menyebabkan kerusakan otak pada sisi pukulan (coup injury) atau pada sisi yang berlawanan dari pukulan ketika
otak bergerak dalam tengkorak
dan mengenai dinding yang berlawanan (contrecoup
injury).
2.
Rotasi/deselerasi
Fleksi, ektesi, atau rotasi leher
menghasilkan serangan pada otak yang menyerang titik-titik tulang dalam
tengkorak (misalnya
pada sayap dari tulang stenoid). Rotasi yang hebat juga menyebabkan trauma
robekan di dalam substansi putih otak dan batang otak, menyebabkan cedera
aksonal dan bintik-bintik
perdarahan intraserebral.
3.
Tabrakan
Otak sering kali terhindar dari
trauma langsung kecuali jika berat (terutama pada anak-anak dengan tengkorak
yang elastis).
4.
Peluru
Cenderung menyebabkan hilangnya
jaringan seiring dengan trauma. Pembengkakan otak merupakan masalah akibat
disrupsi tengkorak yang secara otomatis menekan otak. Derajat cedera otak
primer secara langsung berhubungan dengan jumlah kekuatan yang mengenai kepala.
Kerusakan sekunder terjadi akibat : komplikasi sistem pernapasan (hipoksia,
hiperkarbia, obstruksi jalan napas). Syok hipovolemik (cedera kepala tidak
menyebabkan syok hipovolemik). Perdarahan intrakranial, edema serebral,
epilepsi, infeksi, dan hidrosefalus (Grace, 2006 ; 91).
F.
Manifestasi
Klinis
Gejala-gejala yang ditimbulkan tergantung pada besarnya dan distribusi
cedera otak.
1.
Nyeri
menetap/setempat biasanya menunjukkan fraktur.
2.
Fraktur pada
kubah sentral menyebabkan pembengkakan pada area tersebut.
3.
Fraktur pada
basal tulang tengkorak, sering kali menyebabkan hemoralgi dari hidung, faring, telinga dan darah mungkin akan
terlihat pada konjungtiva.
4.
Ekimosis mungkin
trlihat diatas mastoid (battle sign).
5.
Drainase cairan
cerebrospinal dari telinga dan hidung menandakan fraktur basal tulang
tengkorak.
6.
Drainase CSF
dapat menyebabkan infeksi serius yaitu meningitis melalui robekan durameter.
7.
Cairan
cerebrospinal yang mengandung darah menunjukkan laserasi otak kontusio
(Baughman, 2000 ; 65-66).
G. Komplikasi
1.
Fraktur
tengkorak
Menunjukkan
tingkat keparahan cedera. Tidak diperlukan terapi khusus kecuali terjadi trauma
campuran, tekanan, atau berhubungan dengan kehilangan LCS kronis (misalnya
farktur fosa kranialis anterior dasar tengkorak).
2.
Perdarahan
intracranial
a.
Perdarahan
ekstradural : Robekan pada arteri meningea media. Hematoma diantara tengkorak
dan dura. Seringkali terdapat interval lucid sebelum terbukti tanda-tanda
peningkatan tekanan intrakranial (TIK).
b.
Perdarahan
subdural akut : Robekan pada vena-vena diantara araknoid dan durameter.
Biasanya terjadi pada orang lanjut usia. Terdapat perburukan neurologis yang
progresif.
c.
Hematoma
subdural kronis : Robekan pada vena yang menyebabkan hematoma subdural yang
akan membesar secara perlahan akibat penyerapan LCS. Seringkali yang menjadi
penyebab adalah cedera ringan. Mengantuk dan kebingungan, sakit kepala,
hemiplegia. Terapi dengan evakuasi bekuan darah
d.
Perdarahan
intraserebral : Perdarahan kedalam substansi otak yang menyebabkan kerusakan
ireversibel. Usaha dilakukan untuk mencegah
cedera sekunder dengan
memastikan oksigenasi dan
nutrisi
yang adekuat (Grace, 2006 ; 93).
H. Pemeriksaan Diagnostik/ Penunjang
1.
Foto Polos
Kepala.
Foto
polos kepala/otak memiliki sensivitas dan spesifisitas yang rendah dalam
mendeteksi perdarahan intracranial. Pada era CT scan foto
polos kepala mulai ditinggalkan.
2.
CT Scan Kepala.
CT
scan kepala merupakan Standard baku untuk mendeteksi perdarahan intracranial.
Semua pasien dengan GCS <15 sebaiknya menjalani pemeriksaan CT Scan
sedangkan pada pasien dengan GCS 15, CT scan dilakukan hanya dengan indikasi
tertentu seperti : Nyeri kepala hebat, adanya tanda-tanda fraktur basis kranii,
adanya riwayat cedera yang berat, muntah lebih dari 1 kali, penderita lansia
(usia > 65 tahun) dengan penurunan kesadaran atau amnesia, kejang, riwayat
gangguan vaskuler atau mengunakan obat-obat antikoagulan, gangguan orientasi,
berbicara, membaca dan menulis, rasa baal pada tubuh, gangguan keseimbangan
atau berjalan.
3.
MRI Kepala
MRI
kepala, adalah tehnik pencitraan yang lebih sensitif dibandingkan dengan CT
scan, kelainan yang tidak tampak pada CT scan dapat dilihat oleh MRI. Namun
dibutuhkan waktu pemeriksaan lebih lama dibandingkan dengan CT scan sehingga
tidak sesuai dalam situasi gawat
darurat.
4.
PET atau SPECT.
Positron Emission Tomography (PET)
dan Single Photon Emission Computer
TomographyI (SPECT) mungkin dapat memperlihatkan abnormalitas pada fase
akut dan kronis meskipun CT scan atau MRI dan pemeriksaan neurologis tidak
memperlihatkan kerusakan. Namun, spesifisitas penemuan abnormalitas tersebut
masih dipertanyakan. Saat ini, penggunaan PET atau SPECT pada fase awal kasus
CKR masih belum direkomendasikan (Dewanto, 2009 ; 16).
J.
Penatalaksanaan
1.
Survei primer (Primary Survey)
a.
Jalan Napas.
Memaksimalkan oksigenasi dan ventilasi. Daerah tulang servikal harus
dimobilisasi dalam posisi netral menggunakan stiffneck collar, head block, dan diikat pada alas yang kaku pada
kecurigaan fraktur servikal.
b.
Pernapasan.
Pernapasan dinilai dengan menghitung laju pernapasan, memperhatikan
kesimetrisan gerak dinding dada, penggunaan otot-otot pernapasan tambahan, dan
auskultasi bunyi napas dikedua aksila.
c.
Sirkulasi. Resusitasi
cairan intravena, yaitu cairan isotonik, seperti Ringer Laktat atau Normal
Salin (20 ml/kgBB) jika pasien syok, transfusi darah 10-15 ml/kgBB harus
dipertimbangkan.
d.
Defisit neurologis.
Status neurologis dinilai dengan menilai tingkat kesadaran, ukuran dan reaksi
pupil. Tingkat kesadaran dapat diklasifikasikan menggunakan GCS.
e.
Kontrol
pemaparan/lingkungan. Semua pakaian harus dilepas sehingga semua luka dapat
terlihat. Pasien dapat dihangatkan dengan alat pemancar panas, selimut hangat,
maupun pemberian cairan intravena (yang telah dihangatkan sampai 39°C).
2.
Survey Sekunder
Observasi
ketat penting pada jam-jam pertama sejak kejadian cidera. Bila telah dipastikan
penderita CKR tidak memiliki masalah dengan jalan napas, pernapasan dan
sirkulasi darah, maka tindakan selanjutnya adalah penanganan luka yang dialami
akibat cedera disertai observasi tanda vital dan defisit neurologis. Selain
itu, pemakaian penyangga leher diindikasikan jika:
a.
Trauma kapitis berat,
terdapat fraktur klavikula dan jejas di leher.
b.
Nyeri pada leher atau
kekakuan pada leher
c.
Rasa baal pada lengan
d.
Gangguan keseimbangan
atau berjalan
e.
Kelemahan umum
Bila setelah 24 jam tidak ditemukan
kelainan neurologis berupa:
a.
Penurunan kesadaran
(menurut Glasgow coma scale) dari
observasi awal
b.
Gangguan daya ingat
c.
Nyeri kepala hebat
d.
Mual dan muntah
e.
Kelainan neurologis
fokal (pupil anisokor, refleks patologis)
f.
Fraktur melalui foto
kepala maupun CT Scan
g.
Abnormalitas anatomi
otak berdasarkan CT Scan
Penderita dapat
meninggalkan rumah sakit dan melanjutkan perawatannya di rumah. Namun bila
tanda-tanda di atas ditemukan pada observasi 24 jam pertama, penderita harus
dirawat di rumah sakit dan observasi ketat. Status trauma kapitis yang dialami
menjadi trauma kapitis sedang atau berat dengan penanganan yang berbeda. Jarak
antara rumah dan rumah sakit juga perlu dipertimbangkan sebelum penderita
diizinkan pulang, sehingga bila terjadi perubahan keadaan penderita, dapat
langsung dibawa kembali ke rumah sakit.
Bila pada CT
scan kepala ditemukan hematom epidural (EDH) atau hematom subdural (SDH), maka
indikasi bedah adalah:
a.
Indikasi bedah pada EDH
1)
EDH simptomatik
2)
EDH asimtomatik akut
berukuran paling tebal > 1 cm
3)
EDH pada pasien
pediatri
b.
Indikasi bedah pada SDH
1)
SDH simptomatik
2)
SDH dengan ketebalan
> 1 cm pada dewasa atau > 5mm pada pediatri (Dewanto, 2009 ; 17-18).
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
1.
Cedera kepala adalah trauma mekanik pada kepala yang terjadi baik secara
langsung yang kemudian dapat berakibat kepada gangguan fungsi neurologis,
fungsi fisik,kognitif, psikososial, bersifat temporer atau permanen.
2.
Trauma kepala menyebabkan perubahan fungsi jantung sekuncup aktifitas
atypical myocardial, perubahan tekanan vaskuler dan udema paru. Perubahan
otonim pada fungsi ventrikel adalah perubahan gelombang T dan P aritmia,
fibrilasi atrium dan ventrikel serta takikardi.
3.
Akibat adanya perdarahan otak akan mempengaruhi tekanan vaskuler, dimana
penurunan tekanan vaskuler akan menyebabkan pembuluh darah arteriol akan
berkontraksi. Pengaruh persyarafan simpatik dan parasimpatik pada pembuluh
darah arteri dan arteriol otak tidak begitu besar.
B.
Saran
Sebaiknya
kita harus melindungi kepala dari ancaman bahaya seperti kecelakaan, karena
bila kepala kita sudah mengalami cedera maka, hal tersebut dapat mengakibatkan
fatal bahkan dapat menyebabkan kematian.
DAFTAR PUSTAKA
Batticaca,
2008. Asuhan
Keperawatan Klien Gangguan Sistem Persarafan. Jakarta : Salemba Medika.
Baughman, 2000. Keperawatan Medikal-Bedah : Buku Saku dari
Brunner & Suddarth. Jakarta : EGC
Dewanto, 2009. Panduan Praktis Diagnosis
& Tatalaksana Penyakit Saraf. Jakarta : EGC
Doengoes,
2000. Rencana Asuhan Keperawatan. Edisi 3. Jakarta : EGC
Grace, 2006. At a Glance : Ilmu Bedah. Edisi
Ketiga. Jakarta : Erlangga
Hasanuddin, 2014. 1.208 Meninggal Karena Lakalantas Sulsel. http://makassar.antaranews.com.
(Online) Diakses 28 Juni 2014).
Mansjoer, 2000. Kapita
Selekta Kedokteran. Edisi 3 Jakarta : Media Aesculapius
Maulana, 2009. Promosi Kesehatan. Jakarta : EGC
Medical
Record RSUD Tenriawaru Kab.Bone
Muttaqin
2008. Asuhan Keperawatan Klien
Dengan Gangguan Sistem Persarafan. Jakarta :
Salemba Medika.
Nurachmah, 2000. Buku Saku Prosedur Keperawatan
Medikal-Bedah. Jakarta : EGC
Satyanegara, 2010. Ilmu Bedah Saraf Satyanegara.
Edisi IV. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama IKAPI
Sloane, 2004. Anatomi Fisiologi Untuk Pemula.
Jakarta : EGC
Srihandriatmo M., 2014. Jumlah Korban Tewas Akibat
Kecelakaan Lalu Lintas Tahun 2013 Menurun. (http://www.tribunnews.com. (Online) Diakses
28 Juni 2014).
Triharyanto B.,
2014. Kapolri, WHO : Jumlah Korban Kecelakaan Lalu Lintas Lebih Besar dari
Perang Teluk. http://www.kabar24.com. (Online) Diakses 28 Juni 2014).
Watson, 2002. Anatomi Fisiologi Untuk Perawat.
Edisi 10. Jakarta : EGC
MAKALAH
TRAUMA CAPITIS

Disusun
Oleh :
ISMA. Y
AKADEMI KEPERAWATAN
BATARI TOJA
W A T A M P O N E
|
2
0 1 5
MAKALAH
TRAUMA CAPITIS
![]() |
|||||
![]() |
![]() |
||||
Disusun Oleh :
ISMA. Y
AKADEMI KEPERAWATAN
BATARI TOJA
W A T A M P O N E
|
2
0 1 5
KATA
PENGANTAR

Dengan
memanjatkan puji syukur ke hadirat Allah SWT, atas segala limpahan rahmat dan
karunia-Nya kepada tim penulis sehingga dapat menyelesaikan makalah yang diberi
judul “Trauma Capitis”.
Penulis
menyadari bahwa didalam pembuatan makalah ini berkat bantuan dan tuntunan Allah
SWT dan tidak lepas dari bantuan berbagai pihak untuk itu dalam kesempatan ini
penulis menghaturkan rasa hormat dan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada
semua pihak yang membantu dalam pembuatan makalah ini.
Penulis
menyadari bahwa dalam proses penulisan makalah ini masih dari jauh dari
kesempurnaan baik materi maupun cara penulisannya. Namun demikian, penulis
telah berupaya dengan segala kemampuan dan pengetahuan yang dimiliki sehingga
dapat selesai dengan baik dan oleh karenanya, penulis dengan rendah hati dan
dengan tangan terbuka menerima masukan,saran dan usul guna penyempurnaan
makalah ini. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi seluruh pembaca.
Watampone,
07 September
2015
Penulis
|
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
.............................................................................................i
DAFTAR ISI
...........................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
.............................................................................................1
B.
Rumusan
Masalah........................................................................................2
C.
Tujuan Penulisan………………………..................…….....…..…….........2
BAB II PEMBAHASAN
A.
Pengertian
………………………………...……………………………….3
B.
Anatomi Fisiologi ……………………………………………..………….4
C.
Etiologi……………………………………………………………...…..………..8
D.
Insiden………………………………………………………….………...……….9
E.
Patofisiologi………………………………………………...…….………..9
F.
Manifestasi
Klinis…………………………………………………….…..10
G.
Komplikasi………………………………………………...……………………11
H.
Pemeriksaan Diagnostik/ Penunjang……………………………………..12
I.
Penatalaksanaan ………………………………………………………….13
BAB III PENUTUP
A.
Kesimpulan
................................................................................................15
B.
Saran...........................................................................................................15
DAFTAR PUSTAKA
|
No comments:
Post a Comment