Monday 5 June 2017

MAKALAH TRAUMA CAPITIS

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Kesehatan adalah hasil interaksi berbagai faktor, baik faktor internal (fisik dan psikis) maupun faktor eksternal (sosial, budaya, lingkungan fisik, politik, ekonomi, pendidikan dan sebagainya). Faktor-faktor tersebut saling berkaitan dengan masalah-masalah lain diluar masalah kesehatan itu sendiri. Pemecahan masalah kesehatan tidak dapat hanya dilihat dari segi kesehatan, tetapi juga harus dilihat dari seluruh dimensi yang berkontribusi terhadap kesehatan.       (Maulana, 2009 ; 8).
Trauma kepala merupakan salah satu masalah kesehatan yang dapat menyebabkan gangguan fisik dan mental yang kompleks. Gangguan yang ditimbulkan dapat bersifat sementara maupun menetap, seperti defisit kognitif, psikis, intelektual, serta gangguan fungsi fisiologis lainnya. Hal ini disebabkan oleh karena trauma kepala dapat mengenai berbagai komponen kepala mulai dari bagian terluar hingga terdalam, termasuk tengkorak dan otak (Irawan, 2010).
World Health Organization (WHO) mencatat, 1,2 juta jiwa meninggal dunia dalam kecelakaan jalan raya setiap tahunnya dan 50 juta orang korban kecelakaan mengalami luka serius maupun cacat tetap. Hal ini yang mendorong WHO mencanangkan gerakan dasawarsa keselamatan jalan raya pada 2011 hingga 2020 dengan target mengurangi jumlah korban mencapai 50 %. (Triharyanto B., 2014).

1
 
Di Indonesia  jumlah korban meninggal dunia karena kecelakaan lalu lintas pada tahun 2013 terhitung menurun dari tahun sebelumnya. Tercatat pada tahun 2010 sebesar 31.244 jiwa yang meninggal dunia akibat kecelakaan lalu lintas. Sedangkan tahun 2011, sebesar 32.657 jiwa dan 2012 korban meninggal dunia adalah sebesar 27.441 jiwa. Sementara itu pada 2013, sebesar 25.157 jiwa. (Srihandriatmo M., 2014).
Di Sulawesi Selatan jumlah kecelakaan lalu lintas sepanjang tahun 2013 tercatat 4.330 kasus dan sekitar 1.208 orang yang meninggal dunia diantaranya mengalami luka berat 1.621 orang sedangkan luka ringan sebanyak 3.799 orang. Dari data yang ada pada tahun 2012 lalu, menunjukkan angka laka-lantas mengalami penurunan sekitar 106 kasus dari tahun sebelumnya, korban meninggal juga mengalami penurunan dari tahun sebelumnya (2012) sebanyak 201 orang (Hasanuddin, 2014).
Melihat fakta tersebut di atas maka penulis merasa tertarik untuk mempersembahkan sebuah makalah yang berjudul “Trauma Capitis”.

B.       Rumusan Masalah

1.         Apakah yang dimaksud trauma capitis?

2.         Bagaimanakah anatomi  fisiologi system saraf?

3.         Apa sajakah penyebab trauma capitis?

4.         Bagaimana insiden terjadinya trauma capitis?

5.         Bagaimanakah patofisologi trauma capitis?

6.         Bagaimanakah manifestasi klinis trauma capitis?

7.         Apa sajakah komplikasi trauma capitis?

8.         Bagaimanakah penatalaksanaan pada klien trauma capitis?


C.      Tujuan Penulisan

1.         Untuk mengetahui definisi trauma capitis.

2.         Untuk mengetahui anatomi  fisiologi system saraf.

3.         Untuk mengetahui penyebab trauma capitis.

4.         Untuk mengetahui insiden terjadinya trauma capitis.

5.         Untuk mengetahui patofisologi trauma capitis.

6.         Untuk mengetahui manifestasi klinis trauma capitis.

7.         Untuk mengetahui komplikasi trauma capitis.

8.         Untuk mengetahui penatalaksanaan pada klien trauma capitis.





 
BAB II
PEMBAHASAN

A.       Pengertian

1.         Trauma Kapitis merupakan salah satu penyebab kematian dan kecacatan utama pada kelompok usia produktif dan sebagian besar terjadi akibat kecelakaan lalu lintas (Mansjoer, 2000 ; 3).

2.         Trauma atau cedera kepala juga dikenal sebagai cedera otak adalah gangguan fungsi normal otak karena trauma, baik trauma tumpul maupun trauma tajam (Batticaca, 2008 ; 96).

3.         Trauma Kapitis adalah cedera pada kepala mengenai kulit kepala, tengkorak, dan otak. Cedera kepala merupakan peristiwa yang sering terjadi dan mengakibatkan kelainan neurologis yang serius serta telah mencapai proporsi epidemik sebagai akibat dari kecelakaan kendaraan (Baughman, 2000 ; 65).

4.         Cedera Kepala merupakan proses dimana terjadi trauma langsung atau deselerasi terhadap kepala yang menyebabkan kerusakan tengkorak dan otak (Grace, 2006 ; 91).
5.         Pada umumnya Cedara Kepala merupakan akibat salah satu atau kombinasi dari dua mekanisme dasar yaitu kontak bentur dan guncangan lanjut (Satyanegara, 2010 ; 193).
Adapun klasifikasi cedera kepala berdasarkan mekanisme, keparahan, dan morfologi cedera menurut Mansjoer (2000 ; 3) yaitu :
1.        Mekanisme berdasakan adanya penetrasi durameter.
a.         Trauma tumpul : Kecepatan tinggi (tabrakan otomobil) dan Kecepatan rendah (terjatuh, dipukul)
b.        Trauma tembus (luka tembus peluru dan cedera tembus lainnya).
2.        Keparahan cedera
a.         Ringan :Skala Koma Glasglow (Glasglow Coma Scale, GCS) 14-15
b.        Sedang : GCS 9-13
c.         Berat    : GCS 3-8
3.        Morfologi
a.         Fraktur tengkorak :
Kranium : Linear/stelatum; depresi/non depresi; terbuaka / tertutup.
Basis: dengan/tanpa kebocoran cairan serebrospinal
Dengan/tanpa kelumpuhan nervus VII
b.        Lesi Intrakranial     :
Fokal: epidural, subdural, intraserebral
Disfus: konkusi ringan, konkusi klasik, cedera aksonal difus.

B.        Anatomi  Fisiologi

Sistem saraf adalah serangkaian organ yang kompleks dan berkesinambungan serta terdiri terutama dari jaringan saraf. Dalam mekanisme sistem saraf lingkungan internal dan stimulus eksternal dipanatu dan diatur. Kemampuan khusus seperti iritabilitas atau sensitivitas terhadap stimulus dan konduktivitas atau kemampuan untuk mentransmisi suatu respon terhadap stimulus, diatur oleh saraf dalam tiga cara utama yaitu :    (1) Input sensorik : Sistem saraf menerima sensasi atau stimulus melalui resptor, yang terletak di tubuh baik eksternal (resptor somatik) maupun internal (reseptor viseral). (2) Aktivitas integratif : Reseptor mengubah stimulus menjadi impuls listrik yang menjalar di sepanjang saraf sampai ke otak dan medulla spinalis yang kemudian akan menginterpretasi dan mengintegrasi stimulus sehingga respon terhadap informasi bisa terjadi.     (3) Output motorik : Impuls dari otak dan medulla spinalis memperoleh respons yang sesuai dari otot dan kelenjar tubuh yang disebut sebagai efektor (Sloane, 2004 ; 154).

1.         Sistem saraf pusat
1)        Otak

Gambar 2.1 :  Anatomi system saraf pusat


 
Otak yang sudah berkembang penuh merupakan sebuah organ besar yang terletak didalam rongga tengkorak. Pada perkembangan awal, otak dibagi menjadi tiga bagian, yaitu otak depan, otak tengah, dan otak belakang.
Otak depan merupakan bagian terbesar dan disebut serebrum, yang dibagi dalam dua hemisfer, yaitu hemisfer kiri dan hemisfer kanan, oleh fisura longitudinal. Lapisan luar serebrum disebut korteks serebri dan tersusun atas badan abu-abu (badan sel) yang berlipat-lipat yang disebut giri, yang dipisahkan oleh fisura yang disebutsulci.
Otak tengah terletak di antara otak depan dan otak belakang. Panjangnya kira-kira 2 cm dan terdiri atas dua buah pita seperti tangkai dari bahan putih, yang disebut pedunkulus serebeli, yang membawa impuls melewati dan berasal dari otak dan medula spinalis dan empat tonjolan kecil, yang disebut badan kuadrigeminal, yang berperan dalam refleks penglihatan dan pendengaran. Badan pineal terletak di antara dua badan kuadrigeminal bagian atas.
Otak belakang terdiri atas tiga bagian :
a)         Pons, terletak diantara otak tengah bagian atas dan medula oblongata bagian bawah. Pons mengandung serabut saraf yang membawa impuls ke atas dan ke bawah dan beberapa serabut yang menyatu dengan serebelum.
b)        Medula oblongata, terletak antara pons dibagian atas dan medulla spinalis bagian bawah. Struktur ini berisi pusat jantung dan pernapasan dan juga diketahui sebagai pusat vital yang mengontrol jantung dan pernapasan.
c)         Serebelum, terletak dibagian bawah lobus oksipital serebrum. Serebrum dihubungkan dengan otak tengah, pons, dan medulla oblongata oleh tiga serabut pita, yang disebut pedunkulus serebeli inferior medial dan superior.
2)        Medula Spinalis
Medula spinalis berlanjut dengan medula oblongata diatas otak dan merrupakan sistem saraf pusat dibawah otak. Struktur ini berawal pada foramen magnum dan berakhir pada lumbal pertama tulang belakang, dengan panjang sekitar 45cm. Pada ujung bagian bawah, ia berangsur angsur menghilang kedalam suatu bentuk kerucut, yang dinamakan konus medularis dari ujung, tempat filum terminal turun ke kogsigis yang dikelilingi oleh akar saraf, disebut kauda aquina. Medula spinalis memiliki saraf-sarf yang berpasangan. Ketabalannya bervariasi, membengkak pada daerah serviks dan lumbal, dimana kauda memprsarafi daerah tungkai. Medula spinalis bercalah padaa bagian depan dan belakang dan hampir  secara utuh terbagi dalam dua sisi seperti serebrum.
Medula spinalis terdiri dari masa abu-abu dibagian tengah. Masa putih mengandung serabut yang terletak hanya diantara medula dan otak, tetapi tidak dijaringan tubuh. Medula spinalis mengandung serabut sensorik dan motorik. Serabut motorik : berjalan kebawah dan pusat motorik serebelum dan cerebelum ke sel-sel motorik. Serabut sensorik : berjalan keatas dari sel-sel sensorik ke pusat sensorik di otak. Massa abu-abu, pada irisan melintang, memiliki pola seperti huruf H, dengan dua tonjolan kedepan pada setiap sisi, yang disebut kornu posterior. Saraf kranial merupakan 12 saraf yang muncul pada inti dibatang otak. Beberapa bersifat motorik, beberapa bersifat sensorik, dan beberapa bersifat keduanya.
Saraf spinalis ada 31 pasang saraf yang muncul di medulla spinalis. Tiap saraf memiliki komponen motorik dan sensorik masing masing dibagian anterior dan posterior medula, dan dua serabut saraf tersebut berjalan bersama-sama meninggalkan meduula. Siatem saraf otonom, mengendalikan organ-organ internal, bekerja dibawah kesadaran, tetapi dipengaruhi oleh emosi. Sarf kranial, saraf spinalis, dan sistem saraf otonom yang disebutkan tadi membentuk siatem saraf perifer.
3)        Meninges
Meninges ialah membran protektif yang melapisi sistem saraf pusat. Ada tiga lapisan meninges, yaitu :
a)         Lapisan luar, yang disebut durameter, merupakan membran fibrosa kuat yang mempunyai dua lapisan, yaitu bagian luar yang melapisi permukaan dalam tengkorak dan membentuk periosteum.
b)        Lapisan tengah, Araknoid-mater adalah membran halus langsung dibawah dura dan masuk diantara bagian-bagian otak.
c)         Lapisan dalam, Piameter adalah membran vaskular dan berhubungan dengan permukaan luar otak dan medula spinalis. (Watson, 2002 ; 73-87).
2.        Sistem saraf ferifer
Sistem saraf ferifer meliputi seluryh jaringan saraf lain dalam tubuh. Sistem ini terdiri dari saraf kranial dan saraf spinal yang menghubungkan otak dan medulla spinalis dengan reseptor dan efektor. Secara fugsional, sistem saraf perifer terbagi menjadi sistem aferen dan sistem eferen.
1)        Saraf aferen (sensorik) mentransmisi informasi dari reseptor sensorik ke SSP.
2)        Saraf eferen (motorik) mentrasmisi informasi dari SSP ke otot dan kelenjar.
Sistem eferen dari sistem saraf perifer memiliki dua subdivisi.
a)         Divisi somatik (volunter) berkaitan dengan perubahan lingkungan.
b)        Eksternal dan pembentukan respons motorik volunter pada otot rangka.
c)         Divisi otonom (involunter) mengendalikan seluruh respons involunter pada otot polos, otot jantung, dan kelenjar dengan cara mentransmisi impuls saraf melalui 2 jalur.
(1)     Saraf Simpatis berasal dari area toraks dan lumbal pada medulla spinalis.
(2)     Saraf Parasimpatis berasal dari area otak dan sakral pada medulla spinalis.
(3)     Sebagian besar organ internal di bawah kendali otonom memiliki inervasi simpatis dan parasimpatis (Sloane, 2004 ; 154).

C.       Etiologi

Kecelakaan kendaraan bermotor merupakan penyebab utama cedera kepala, penyebab lain yang mungkin adalah jatuh, pemukulan, kecelakaan. (Nurachmah, 2000 ; 154).
Menurut Satyanegara (2010 ; 193) mekanisme penyebab cedera kepala adalah kontak bentur dan guncangan lanjut. Cedera kontak bentur terjadi bila kepala membentur atau menabrak sesuatu objek yang sebaliknya. Sedangkan cedera guncangan lanjut merupakan akibat peristiwa guncangan kepala yang hebat, baik yang disebabkan oleh pukulan maupun yang bukan karena pukulan.
Selanjutnya menurut Muttaqin (2008 ; 271), penyebab dari cedera kepala adalah adanya trauma pada kepala meliputi trauma oleh benda/serpihan tulang yang menembus jaringan otak, efek dari kekuatan atau energi yang diteruskan keotak dan efek percepatan dan perlambatan (akselerasi-deselerasi) pada otak.

D.       Insiden
Di Amerika Serikat, kejadian cedera kepala setiap tahunnya diperkirakan mencapai 500.000 kasus. Dari jumlah tersebut, 10% meninggal  sebelum tiba di rumah sakit. Yang sampai di rumah sakit, 80% dikelompokkan sebagai cedera kepala ringan (CKR), 10% termasuk cedera kepala sedang (CKS), dan 10% sisanya adalah cedera kepala berat (CKB).  Insiden cedera kepala terutama terjadi pada kelompok usia produktif antara 15-44 tahun. Kecelakaan lalu lintas merupakan penyebab 48%-53% dari insiden cedera kepala, 20%-28% lainnya karena jatuh dan 3%-9% lainnya disebabkan tindak kekerasan, kegiatan olahraga dan rekreasi.
Data epidemiologi di Indonesia belum ada, tetapi data dari salah satu rumah sakit di Jakarta, RS Cipto Mangunkusumo, untuk penderita rawat inap, terdapat 60%-70% dengan cedera kepala ringan (CKR), 15%-20% CKS, dan sekitar 10% dengan CKB. Angka kematian tertinggi sekitar 35%-50% akibat cedera kepala berat  (CKB),  5%-10%  cedera  kepala sedang (CKS), sedangkan untuk cedera kepala ringan (CKR) tidak ada yang meninggal (http://willbenurse.com. Diakses 29 Juni 2014).

E.        Patofisologi
1.        Pukulan langsung
Dapat menyebabkan kerusakan otak pada sisi pukulan (coup injury) atau pada sisi yang berlawanan dari pukulan ketika otak bergerak dalam tengkorak dan mengenai dinding yang berlawanan (contrecoup injury).


2.        Rotasi/deselerasi
Fleksi, ektesi, atau rotasi leher menghasilkan serangan pada otak yang menyerang titik-titik tulang dalam tengkorak (misalnya pada sayap dari tulang stenoid). Rotasi yang hebat juga menyebabkan trauma robekan di dalam substansi putih otak dan batang otak, menyebabkan cedera aksonal dan bintik-bintik perdarahan intraserebral.
3.        Tabrakan
Otak sering kali terhindar dari trauma langsung kecuali jika berat (terutama pada anak-anak dengan tengkorak yang elastis).
4.        Peluru
Cenderung menyebabkan hilangnya jaringan seiring dengan trauma. Pembengkakan otak merupakan masalah akibat disrupsi tengkorak yang secara otomatis menekan otak. Derajat cedera otak primer secara langsung berhubungan dengan jumlah kekuatan yang mengenai kepala. Kerusakan sekunder terjadi akibat : komplikasi sistem pernapasan (hipoksia, hiperkarbia, obstruksi jalan napas). Syok hipovolemik (cedera kepala tidak menyebabkan syok hipovolemik). Perdarahan intrakranial, edema serebral, epilepsi, infeksi, dan hidrosefalus (Grace, 2006 ; 91).

F.        Manifestasi Klinis

Gejala-gejala yang ditimbulkan tergantung pada besarnya dan distribusi cedera otak.

1.         Nyeri menetap/setempat biasanya menunjukkan fraktur.
2.         Fraktur pada kubah sentral menyebabkan pembengkakan pada area tersebut.
3.         Fraktur pada basal tulang tengkorak, sering kali menyebabkan hemoralgi dari hidung, faring, telinga dan darah mungkin akan terlihat pada konjungtiva.
4.         Ekimosis mungkin trlihat diatas mastoid (battle sign).
5.         Drainase cairan cerebrospinal dari telinga dan hidung menandakan fraktur basal tulang tengkorak.
6.         Drainase CSF dapat menyebabkan infeksi serius yaitu meningitis melalui robekan durameter.
7.         Cairan cerebrospinal yang mengandung darah menunjukkan laserasi otak kontusio (Baughman, 2000 ; 65-66).

G.       Komplikasi

1.        Fraktur tengkorak
Menunjukkan tingkat keparahan cedera. Tidak diperlukan terapi khusus kecuali terjadi trauma campuran, tekanan, atau berhubungan dengan kehilangan LCS kronis (misalnya farktur fosa kranialis anterior dasar tengkorak).
2.        Perdarahan intracranial
a.         Perdarahan ekstradural : Robekan pada arteri meningea media. Hematoma diantara tengkorak dan dura. Seringkali terdapat interval lucid sebelum terbukti tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial (TIK).
b.        Perdarahan subdural akut : Robekan pada vena-vena diantara araknoid dan durameter. Biasanya terjadi pada orang lanjut usia. Terdapat perburukan neurologis yang progresif.
c.         Hematoma subdural kronis : Robekan pada vena yang menyebabkan hematoma subdural yang akan membesar secara perlahan akibat penyerapan LCS. Seringkali yang menjadi penyebab adalah cedera ringan. Mengantuk dan kebingungan, sakit kepala, hemiplegia. Terapi dengan evakuasi bekuan darah
d.        Perdarahan intraserebral : Perdarahan kedalam substansi otak yang menyebabkan kerusakan ireversibel. Usaha dilakukan untuk mencegah   cedera   sekunder  dengan  memastikan  oksigenasi  dan
nutrisi yang adekuat (Grace, 2006 ; 93).

H.       Pemeriksaan Diagnostik/ Penunjang

1.         Foto Polos Kepala.
        Foto polos kepala/otak memiliki sensivitas dan spesifisitas yang rendah dalam mendeteksi perdarahan intracranial. Pada era CT scan foto polos kepala mulai ditinggalkan.
2.         CT Scan Kepala.
        CT scan kepala merupakan Standard baku untuk mendeteksi perdarahan intracranial. Semua pasien dengan GCS <15 sebaiknya menjalani pemeriksaan CT Scan sedangkan pada pasien dengan GCS 15, CT scan dilakukan hanya dengan indikasi tertentu seperti : Nyeri kepala hebat, adanya tanda-tanda fraktur basis kranii, adanya riwayat cedera yang berat, muntah lebih dari 1 kali, penderita lansia (usia > 65 tahun) dengan penurunan kesadaran atau amnesia, kejang, riwayat gangguan vaskuler atau mengunakan obat-obat antikoagulan, gangguan orientasi, berbicara, membaca dan menulis, rasa baal pada tubuh, gangguan keseimbangan atau berjalan.
3.         MRI Kepala
        MRI kepala, adalah tehnik pencitraan yang lebih sensitif dibandingkan dengan CT scan, kelainan yang tidak tampak pada CT scan dapat dilihat oleh MRI. Namun dibutuhkan waktu pemeriksaan lebih lama dibandingkan dengan CT scan sehingga tidak sesuai dalam situasi gawat
        darurat.
4.         PET atau SPECT.
        Positron Emission Tomography (PET) dan Single Photon Emission Computer TomographyI (SPECT) mungkin dapat memperlihatkan abnormalitas pada fase akut dan kronis meskipun CT scan atau MRI dan pemeriksaan neurologis tidak memperlihatkan kerusakan. Namun, spesifisitas penemuan abnormalitas tersebut masih dipertanyakan. Saat ini, penggunaan PET atau SPECT pada fase awal kasus CKR masih belum direkomendasikan (Dewanto, 2009 ; 16).

J.         Penatalaksanaan

1.        Survei primer (Primary Survey)
a.         Jalan Napas. Memaksimalkan oksigenasi dan ventilasi. Daerah tulang servikal harus dimobilisasi dalam posisi netral menggunakan stiffneck collar, head block, dan diikat pada alas yang kaku pada kecurigaan fraktur servikal.
b.        Pernapasan. Pernapasan dinilai dengan menghitung laju pernapasan, memperhatikan kesimetrisan gerak dinding dada, penggunaan otot-otot pernapasan tambahan, dan auskultasi bunyi napas dikedua aksila.
c.         Sirkulasi. Resusitasi cairan intravena, yaitu cairan isotonik, seperti Ringer Laktat atau Normal Salin (20 ml/kgBB) jika pasien syok, transfusi darah 10-15 ml/kgBB harus dipertimbangkan.
d.        Defisit neurologis. Status neurologis dinilai dengan menilai tingkat kesadaran, ukuran dan reaksi pupil. Tingkat kesadaran dapat diklasifikasikan menggunakan GCS.
e.         Kontrol pemaparan/lingkungan. Semua pakaian harus dilepas sehingga semua luka dapat terlihat. Pasien dapat dihangatkan dengan alat pemancar panas, selimut hangat, maupun pemberian cairan intravena (yang telah dihangatkan sampai 39°C).
2.        Survey Sekunder
Observasi ketat penting pada jam-jam pertama sejak kejadian cidera. Bila telah dipastikan penderita CKR tidak memiliki masalah dengan jalan napas, pernapasan dan sirkulasi darah, maka tindakan selanjutnya adalah penanganan luka yang dialami akibat cedera disertai observasi tanda vital dan defisit neurologis. Selain itu, pemakaian penyangga leher diindikasikan jika:
a.         Trauma kapitis berat, terdapat fraktur klavikula dan jejas di leher.
b.        Nyeri pada leher atau kekakuan pada leher
c.         Rasa baal pada lengan
d.        Gangguan keseimbangan atau berjalan
e.         Kelemahan umum
Bila setelah 24 jam tidak ditemukan kelainan neurologis berupa:
a.         Penurunan kesadaran (menurut Glasgow coma scale) dari observasi awal
b.        Gangguan daya ingat
c.         Nyeri kepala hebat
d.        Mual dan muntah
e.         Kelainan neurologis fokal (pupil anisokor, refleks patologis)
f.         Fraktur melalui foto kepala maupun CT Scan
g.        Abnormalitas anatomi otak berdasarkan CT Scan
Penderita dapat meninggalkan rumah sakit dan melanjutkan perawatannya di rumah. Namun bila tanda-tanda di atas ditemukan pada observasi 24 jam pertama, penderita harus dirawat di rumah sakit dan observasi ketat. Status trauma kapitis yang dialami menjadi trauma kapitis sedang atau berat dengan penanganan yang berbeda. Jarak antara rumah dan rumah sakit juga perlu dipertimbangkan sebelum penderita diizinkan pulang, sehingga bila terjadi perubahan keadaan penderita, dapat langsung dibawa kembali ke rumah sakit.
Bila pada CT scan kepala ditemukan hematom epidural (EDH) atau hematom subdural (SDH), maka indikasi bedah adalah:
a.         Indikasi bedah pada EDH
1)        EDH simptomatik
2)        EDH asimtomatik akut berukuran paling tebal > 1 cm
3)        EDH pada pasien pediatri
b.        Indikasi bedah pada SDH
1)        SDH simptomatik
2)        SDH dengan ketebalan > 1 cm pada dewasa atau > 5mm pada pediatri (Dewanto, 2009 ; 17-18).

BAB III
PENUTUP

A.       Kesimpulan
1.         Cedera kepala adalah trauma mekanik pada kepala yang terjadi baik secara langsung yang kemudian dapat berakibat kepada gangguan fungsi neurologis, fungsi fisik,kognitif, psikososial, bersifat temporer atau permanen.
2.         Trauma kepala menyebabkan perubahan fungsi jantung sekuncup aktifitas atypical myocardial, perubahan tekanan vaskuler dan udema paru. Perubahan otonim pada fungsi ventrikel adalah perubahan gelombang T dan P aritmia, fibrilasi atrium dan ventrikel serta takikardi.
3.         Akibat adanya perdarahan otak akan mempengaruhi tekanan vaskuler, dimana penurunan tekanan vaskuler akan menyebabkan pembuluh darah arteriol akan berkontraksi. Pengaruh persyarafan simpatik dan parasimpatik pada pembuluh darah arteri dan arteriol otak tidak begitu besar.

B.        Saran
Sebaiknya kita harus melindungi kepala dari ancaman bahaya seperti kecelakaan, karena bila kepala kita sudah mengalami cedera maka, hal tersebut dapat mengakibatkan fatal bahkan dapat menyebabkan kematian.









DAFTAR PUSTAKA

Batticaca, 2008. Asuhan Keperawatan Klien Gangguan Sistem Persarafan. Jakarta : Salemba Medika.


Baughman, 2000. Keperawatan Medikal-Bedah : Buku Saku dari Brunner & Suddarth. Jakarta : EGC

Dewanto, 2009. Panduan Praktis Diagnosis & Tatalaksana Penyakit Saraf. Jakarta : EGC

Doengoes, 2000. Rencana Asuhan Keperawatan. Edisi 3. Jakarta : EGC

Grace, 2006. At a Glance : Ilmu Bedah. Edisi Ketiga. Jakarta : Erlangga

Hasanuddin, 2014. 1.208 Meninggal Karena Lakalantas Sulsel. http://makassar.antaranews.com. (Online) Diakses 28 Juni 2014).

Mansjoer, 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi 3 Jakarta : Media Aesculapius


Maulana, 2009. Promosi Kesehatan. Jakarta : EGC

Medical Record RSUD Tenriawaru Kab.Bone

Muttaqin 2008. Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan Sistem Persarafan. Jakarta : Salemba Medika.

Nurachmah, 2000. Buku Saku Prosedur Keperawatan Medikal-Bedah. Jakarta : EGC

Satyanegara, 2010. Ilmu Bedah Saraf Satyanegara. Edisi IV. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama IKAPI

Sloane, 2004. Anatomi Fisiologi Untuk Pemula. Jakarta : EGC

Srihandriatmo M., 2014. Jumlah Korban Tewas Akibat Kecelakaan Lalu Lintas Tahun 2013 Menurun. (http://www.tribunnews.com. (Online) Diakses 28 Juni 2014).

Triharyanto B., 2014. Kapolri, WHO : Jumlah Korban Kecelakaan Lalu Lintas Lebih Besar dari Perang Teluk. http://www.kabar24.com. (Online) Diakses 28 Juni 2014).

Watson, 2002. Anatomi Fisiologi Untuk Perawat. Edisi 10. Jakarta : EGC

MAKALAH
TRAUMA CAPITIS



akbarLogo akper batari tojaakbar.jpg


Disusun Oleh :
ISMA. Y






AKADEMI KEPERAWATAN BATARI TOJA
W A T A M P O N E


 
2 0 1 5
MAKALAH
TRAUMA CAPITIS
 












Disusun Oleh :
ISMA. Y




                                                    


AKADEMI KEPERAWATAN BATARI TOJA
W A T A M P O N E


 
2 0 1 5
KATA PENGANTAR
https://encrypted-tbn1.gstatic.com/images?q=tbn:ANd9GcQtl08659PjYUwWbz0DrlYEW2TccnYhTElz8N2AmWyc_zgaXDb5Vg
Dengan memanjatkan puji syukur ke hadirat Allah SWT, atas segala limpahan rahmat dan karunia-Nya kepada tim penulis sehingga dapat menyelesaikan makalah yang diberi judul “Trauma Capitis”.
Penulis menyadari bahwa didalam pembuatan makalah ini berkat bantuan dan tuntunan Allah SWT dan tidak lepas dari bantuan berbagai pihak untuk itu dalam kesempatan ini penulis menghaturkan rasa hormat dan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang membantu dalam pembuatan makalah ini.
Penulis menyadari bahwa dalam proses penulisan makalah ini masih dari jauh dari kesempurnaan baik materi maupun cara penulisannya. Namun demikian, penulis telah berupaya dengan segala kemampuan dan pengetahuan yang dimiliki sehingga dapat selesai dengan baik dan oleh karenanya, penulis dengan rendah hati dan dengan tangan terbuka menerima masukan,saran dan usul guna penyempurnaan makalah ini. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi seluruh pembaca.

Watampone, 07 September 2015

     Penulis








i
 
 


DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .............................................................................................i
DAFTAR ISI ...........................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN
A.       Latar Belakang .............................................................................................1
B.       Rumusan Masalah........................................................................................2
C.       Tujuan Penulisan………………………..................…….....…..…….........2
BAB II PEMBAHASAN
A.       Pengertian ………………………………...……………………………….3
B.       Anatomi  Fisiologi ……………………………………………..………….4
C.       Etiologi……………………………………………………………...…..………..8
D.       Insiden………………………………………………………….………...……….9
E.        Patofisiologi………………………………………………...…….………..9
F.        Manifestasi Klinis…………………………………………………….…..10
G.       Komplikasi………………………………………………...……………………11
H.       Pemeriksaan Diagnostik/ Penunjang……………………………………..12
I.          Penatalaksanaan ………………………………………………………….13
BAB III PENUTUP
A.       Kesimpulan ................................................................................................15
B.       Saran...........................................................................................................15
DAFTAR PUSTAKA





ii
 
 


No comments:

Post a Comment

MAKALAHKU

MAKALAH TATANIAGA HASIL PERIKANAN

Tugas Individu MAKALAH TATANIAGA HASIL PERIKANAN Oleh ASRIANI 213095 2006 SEKOLAH TINGGI ILMU P...