Thursday, 25 May 2017

MAKALAH HADITS DHAIF / LEMAH

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Ilmu hadits adalah ilmu yang sangat rumit dan menyisakan banyak problematika ditengah-tengah umat, juga merupakan bagian dari ilmu yang harus diketahui dan dipelajari oleh segenap kaum muslim, karena dewasa ini banyak kita temukan sekelompok orang yang tidak bisa dikatakan kredibel dalam bidang ilmu ini dengan sangat yakin melontarkan hadits demi hadits untuk menjustifikasi apa yang dia lihat tanpa memperhatikan aspek apa saja yang harus dilalui.
Hadits mempunyai fungsi dan kedudukan begitu besar namun hadits tidak seperti Al-Qur’an yang secara resmi telah di tulis pada zaman Nabi dan dibukukan pada masa khalifah Abu Bakar As Shidiq. Sedangkan hadits baru ditulis dan dibukukan pada masa khalifah Umar Ibn Abd Al Azizi (abad ke-2).[1]Dengan seiring perkembangan zaman banyak sekali hadits-hadits yang muncul. Sehingga kita perlu mempelajari ilmu tentang hadits dan pembagian hadits. Diketahui bahwa macam-macam hadits yaitu shahih, hasan dan dho’if.
Seperti halnya bagian dari pembahasan yang ada di dalam ilmu hadits ini, yaitu hadits dha’if, banyak di antara aliran kepercayaan yang tanpa “tedeng aling-aling” melontarkan pernyataan bahwa hadits dha’if tidak bisa dijadikan hujjah, apapun bentuknya dan apapun kasusnya. Maka dari itu, sangat penting untuk mempelajari hadits dha’if agar tidak mudah terjebak dengan pemahaman-pemahaman yang penuh dengan pertentangan menurut disiplinnya.
Dibuatnya makalah ini selain untuk pemenuhan tugas, juga untuk menambah wawasan penulis karena pembuatan makalah ini sebagai media untuk muthala’ah kembali bagi penulis. Karena kesadaran penulis akan ketidak lepasan manusia dari kealpaan.
Semoga dapat memberi manfaat bagi penulis dan pembaca dan di kemudian hari, sebagai penganut agama yang berpijak pada agama yang menjunjung tinggi rahmatan lil ‘alamin, bisa lebih berlapang dada dalam menerima perbedaan pandangan mengenai hadits dha’if pada khususnya dan masalah furu’iyah pada umumnya.

B.     Rumusan Masalah
1.      Apa Definisi Hadits Dha’if?
2.      Apa Saja Kriteria Hadits Dha’if?
3.      Apa Saja Macam-macam Hadits Dha’if?
4.      Bagaimana Kehujjahan Hadits Dha’if?
5.      Kitab-Kitab apa sajakah Yang Memuat Hadits Dha’if?

C.    Tujuan Penulisan
1.      Untuk Mengetahui Definisi Hadits Dha’if
2.      Untuk mengetahui Kriteria-kriteria Hadits Dha’if
3.      Untuk Mengetahui Macam-macam Hadits Dha’if
4.      Untuk Mengetahui Kehujjahan Hadits Dha’if
5.      Untuk Mengetahui Kitab-Kitab apa saja Yang Memuat Hadits Dha’if










BAB II
PEMBAHASAN

A.    Definisi Hadits Dha’if
Kata  dha’if  menurut bahasa berasal dari kata  dhuifun  yang berarti lemah lawan dari kata qawiy  yang berarti kuat. Maka sebutan hadits dha’if, secara bahasa berarti hadits yang lemah atau hadits yang tidak kuat.[2]
Hadits dha’if  ialah hadis yang tidak bersambung sanadnya dan diriwayatkan oleh orang yang tidak adil dan tidak dhobit, syadz, dan cacat. Atau menurut Imam Nawawi , yaitu hadis yang tidak memenuhi kualifikasi hadits shahih maupun hadits hasan. Ke-dho’ifan suatu hadis akan berbeda-beda, seperti halnya perbedaan pada tingkat ke-shahihan dalam sebuah hadis shahih. Diantara kategori hadis dho’if ada hadis yang mempunyai “gelar khusus” seperti Hadits Maudhu’, Hadits Syadz, dll.[3]
Hadits sudah kita ketahui maknanya secara bahasa dan istilah. Sedangkan dha’if secara bahasa diambil dariالضَّعْفُ  atau  الضُّعْفُ yang mempunyai kesamaan makna dengan ضِدُّ الْقُوَّة, yaitu sebaliknya kuat (lemah). Sedangkan menurut istilah, hadits dha’if adalah hadits yang tidak terkumpul di dalamnya sifat-sifat diterimanya hadits. Dapat dikatakan pula hadits dha’if termasuk hadits yang mardud.[4]
Menurut Imam an-Nawawi, hadits dha’if adalah hadits yang di dalamnya tidak terdapat syarat-syarat hadits shahih dan syarat-syarat hadits hasan. Ada pendapat lain yang lebih tegas dan jelas di dalam mendefinisikan hadits dha’if ini, yaitu menurut pendapatnya Nur ad-Din ‘Atr. Beliau berpendapat hadits dha’if adalah hadits yang hilang salah satu saja syaratnya dari syarat-syarat hadits maqbul (hadits yang shahih atau hadits yang hasan).[5]
Hadits dhaif adalah bagian dari hadits mardud. Dari segi bahasa dhaif berarti lemah, lawan dari al-qawi yang berarti kuat. Kelemahan hadits dhaif ini karena sanad dan matannya tidak memenuhi kriteria hadits kuat yang diterima sebagian hujjah. Menurut istilah, hadits dhaif adalah hadits yang tidak menghimpun sifat hadits shahih dan hasan. Jadi, hadits dhaif adalah hadits yang tidak memuhi sebagian atau semua persyaratan hadits hasan atau shahih, misalnya sanadnya tidak bersambung (muttasil) , para perawinya tidak adil dan tidak dhabit, terjadi keganjilan, baik dalam sanad atau matan (syadz), dan terjadinya cacat yang tersembunyi(‘illat) pada sanad atau matan.
Contoh hadits dhaif yaitu, hadits yang diriwayatkan oleh At-Tirmidzi melalui jalan Hakim Al-Atsram dari Abu Tamimah Al-Hujaimi dari Abu Hurairah dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya, “ Barang siapa yang mendatangi pada seorang wanita menstruasi (haid) atau pada seorang wanita dari jalan belakang (dubur) atau pada seorang dukun, maka ia telah mengingkari apa yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam.”[6]
Berdasarkan definisi rumusan di atas, dapat dipahami bahwa hadits yang kehilangan salah satu syarat dari syarat-syarat Hadits Shahih atau Hadits Hasan, maka hadis tersebut dapat dikategorikan sebagai Hadits Dhaif. Artinya jika salah satu syarat saja hilang, disebut Hadits Dha`if. Lalu bagaimana jika yang hilang itu dua atau tiga syarat? Seperti perawinya tidak adil, tidak dhabit, atau dapat kejanggalan dalam matannya. Maka hadits yang demikian, tentu dapat dinyatakan sebagai Hadits Dha`if yang sangat lemah sekali.[7]

B.     Kriteria-kriteria Hadits Dha’if
Kriteria hadits dhaif yaitu hadits yang kehilangan salah satu syaratnya sebagai hadits shahih dan hasan. Dengan demikian, hadits dhaif itu bukan tidak memenuhi syarat-syarat hadits shahih, juga tidak memenuhi persyaratan hadits-hadits hasan. Para hadits dhaif terdapat hal-hal yang menyebabkan lebih besarnya dugaan untuk menetapkan hadits tersebut bukan berasal dari Rasulullah SAW.
Kehati-hatian dari para ahli hadits dalam menerima hadits sehingga mereka menjadikan tidak adanya petunjuk keaslian hadits itu sebagai alasan yang cukup untuk menolak hadits dan menghukuminya sebagai hadits dhaif. Padahal tidak adanya petunjuk atas keaslian hadits itu bukan suatu bukti yang pasti atas adanya kesalahan atau kedustaan dalam periwayatan hadits, seperti kedhaifan hadits yang disebabkan rendahnya daya hafal rawinya atau kesalahan yang dilakukan dalam meriwayatkan suatu hadits. Padahal sebetulnya ia jujur dan dapat dipercaya. Hal ini tidak memastikan bahwa rawi itu salah pula dalam meriwayatkan hadits yang dimaksud, bahkan mungkin sekali ia benar. Akan tetapi, karena ada kekhawatiran yang cukup kuat terhadap kemungkinan terjadinya kesalahan dalam periwayatan hadits yang dimaksud, maka mereka menetapkan untuk menolaknya.
Demikian pula kedhaifan suatu hadits karena tidak bersambungnya sanad. Hadits yang demikian dihukumi dhaif karena identitas rawi yang tidak tercantum itu tidak diketahui sehingga boleh jadi ia adalah rawi yang dhaif. Seandainya ia rawi yang dhaif, maka boleh jadi ia melakukan kesalahan dalam meriwayatkan-nya. Oleh karena itu, para muhadditsin menjadikan kemungkinan yang timbul dari suatu kemungkinan itu sebagai suatu pertimbangan dan menganggapnya sebagai penghalang dapat diterimanya suatu hadits. Hal ini merupakan puncak kehati-hatian yang kritis dan ilmiah.
Dengan memandang definisi yang telah disebutkan, maka dapat diketahui bahwa kriteria-kriteria hadits dha’if adalah sebagai berikut:
1.      Sanadnya terputus.
2.      Periwayatnya tidak adil.
3.      Periwayat tidak dhabith.
4.      Mengandung syadz (kejanggalan).
5.      Mengandung illat (cacat).[8]

C.    Macam-macam Hadits Dha’if
Ada banyak sekali macam-macam hadits dha’if, sehingga harus diketahui pengelompokannya. Pengelompokannya adalah sebagai berikut:
1.      Dilihat dari sisi sanad
a.      Hadits Mu’allaq (مُعَلَّق), adalah hadits yang perawinya digugurkan, seorang atau lebih mulai dari awal sanadnya sampai akhir sanadnya secara beruntun atau membuang sanadnya kecuali sahabat atau sahabat dan tabi’in secara bersama.
Contoh hadits muallaq :
Bukhari berkata, kata Malik, dari Zuhri, dari Abu Salamah, dari Abu Hurairah bahwa Rasullah bersabda :
لاَتَفَا ضَلُوا بَيْنَ الاَ نَبِيَا ءِӁ رواه ا لخارى Ӂ
Artinya :
“Janganlah kamu melebihkan sebagian Nabi dan sebagian yang lain”.
Berdasarkan riwayat Bukhari, ia sebenarnya tidak pernah bertemu dengan Malik. Dengan demikian, Bukhari telah menggugurkan satu rawi diawal sanad tersebut.
b.      Hadits Munqathi’ (مُنْقَطِع), Menurut bahasa, hadits munqati berarti hadits yang putus. Para ulama memberikan batasan hadits munqati adalah hadits yang gugur satu atau dua rawi tanpa beriringan menjelang akhir sanadnya. Bila rawi diakhir sanadnya adalah sahabat Nabi, maka rawi menjelang akhir sanad adalah tabiin. Jadi, hadits munqati bukanlah rawi ditingkat sahabat yang gugur, tetapi minimal gugur seorang tabiin.
Contoh hadits munqati :
كَا نَ سو ل ا لله صلّى ا لله عليه وسلّم اِذَاَذَخَلَ ا لْمَسْجِدَ قَالَ :بِسْمِ اللَّهِ
 وَ ا لْسَّلاَمُ غَلَى رَسُوْ لِ ا للَّهِ اَ للَّهُمَّ ا غْفِرْ لِى ذُ نُو بِى وَافْتَحْ لِى اَبْوَابَ رَ حْمَتِكَ .  Ӂرواةابن ماجه Ӂ
Artinya :
“Rasulullah SAW, bila masuk kedalam masjid, membaca : dengan nama Allah, dan sejahtera atas Rasulullah; Ya Allah, ampunilah segala dosaku dan bukakanlah bagiku segala rahmat-Mu”.[9]
     Hadits tersebut diriwayatkan oleh Ibnu Majah, dari Abu BAkar bin Ali Syaibah, dari Ismail bin Ibrahim, dari Laits, dari Abdurrahman bin Hasan, dari Fatimah binti Husain, dan selanjutnya dari Fatimah Az-Zahra. Menurut Ibnu Majah hadits tersebut adalah hadits munqati karena Fatimah Az-Zahra tidak berjumpa dengan Fatimah binti Husain. Jadi, ada rawi yang gugur (tidak disebutkan) pada tingkat tabi’in.
c.       Hadits Mu’dhal (مُعْضَل), adalah hadits yang dari para perawinya gugur secara berurutan, baik dua orang atau lebih, baik sahabat bersama-sama tabi’in, maupun tabi’in dan tabi’it tabi’in, atau dua orang sebelumnya,
Contoh hadits mudal adalah hadits Imam Malik hak hamba dalam kitab Al-Munawa. Dalam kitab tersebut Imam Malik berkata, ”Telah sampai kepadaku, dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah SAW bersabda :
لِلْمُلُوْ كِ طَعَا مُهُ وَكِسْوَ تُهُ بِلْمَعْرُوْفَ
Artinya :
“Budak itu harus diberi makanan dan pakaian secara baik”
Imam Malik, dalam kitabnya itu, tidak menyebut dua orang rawi yang beriringan antara dia dengan Abu Hurairah. Dua orang rawi yang gugur itu diketahui malalui riwayat Imam Malik di luar kitab Al-Munawa’. Malik meriwayatkan:’ hadits yang sama , yaitu “Dari Muhamad bin Ajlan, dari ayahnya, dari Abu Hurairah, dari Rasulullah. “ Dua rawi yang gugur secara beriringan adalah Muhamad bin Ajlan dan ayahnya.
d.      Hadits mursal (مُرْسَل), adalah hadits yang sanadnya gugur setelah tabi’in. Seperti ketika tabi’in mengatakan: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلّٰى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَذَا [10]
Contoh hadits mursal :
قال رسوا ل ا لله صلّى ا لله عليه وسلّم : بَيْنَنَا وَ بَيْنَ ا لْمُنَا فِقِيْنَ
 شُهُوْ دُالْعِشَا ءِ وَالْصُّبْحِ لاَ يَسْطِيْعُوْنَ.
Artinya :
“Rasullah bersabda, “Antara kita dengan kaum munafik (ada batas), yaitu menghadiri jamaah Isya dan Subuh; mereka tidak sanggup menghadirinya. (HR. Malik).
e.       Hadits Mudallas (مُدَلَّس), dibagi menjadi dua, yaitu:
1)    Tadlis al-Isnad, yaitu hadits yang diriwayatkan dari perawi yang mengaku mendengar hadits dari seseorang yang pernah ditemuinya, namun sebenarnya dia tidak pernah mendengar hadits tersebut darinya agar disangka bahwa dia pernah mendengarnya, seperti contoh hadits riwayat Abu Dawud, dari Ibnu Umar beliau berkata, Rasulullah bersabda:
قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلّٰى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ: إِذَا نَعَسَ أَحَدُكُمْ فِيْ مَجْلِسِهِ يَوْمَ الْجُمُعَةِ فَلْيَتَحَوَّلْ إِلَى غَيْرِهِ
Dalam matarantai sanad hadits Ibnu Umar ini, ditemukan seorang perawi yang mudallis, bernama Muhammad bin Ishaq dan ia telah membuat periwayatannya dengan menggunakan kode yang biasa dipakai dalam hadits ‘an’anah
2)      Tadlis as-Syuyukh, yaitu perawi menyebutkan gurunya, namun tidak dengan sebutan yang terkenal untuk gurunya tersebut agar tidak dikenal, seperti perkataan Abu Bakar Muhammad bin Hasan al-Naqqasi al-Mufassiri berkata bahwa “Muhammad bin Sanad” menceritakan kepadaku. Muhammad dinisbatkan kepada kakeknya, bukan kepada ayahnya.[11]
2.      Dilihat Dari Segi Perawi Hadits
a.       Hadits Matruk (مَتْرُوْك), adalah hadits yang diriwayatkan oleh seorang rawi yang disepakati atas kelemahannya, seperti dicurigai berdusta, dicurigai kefasikannya, pelupa, banyak keragu-raguannya, atau suatu hadits hanya diriwayatkan oleh satu orang, seperti riwayat Umar bin Syamr, dari Jabir, dari Harits, dari ‘Ali RA. ‘Amr di sini terkena sifat matrukul hadits.[12]
Para ulama memberikan batasanعٙ hadits matruk adalah hadits yang diriwayatkan oleh orang yang tertuduh pernah berdusta (baik berkenaan dengan hadits atau mengenai urusan lain), atau tertuduh pernah mengerjakan maksiat, atau lalai, atau banyak fahamnya.
Contoh :
رَسُوْ لُاللَهِ صَلَّاللهِ عَلَيْهِ وَسَلّمَ: ﻣَنْ ل ﻗﺎ : ل ﻗﺎ ﻋلي ﻋن
ﻗَََرَٲاﻟﻗُرآنَﻓَﻟَﻪُﻣِﺌَﺗﺎَﺪِﻴْﻧﺎَرٍﻓﻟَﻡْﻳُﻌْﻄَﻬﺎَﻓﻰِﺍﻟﺪّﻧْﻴﺎَﺍُﻋْﻄِﻳَﻬﺎَﻓﻰِﺍﻷﺨِﺮَﺓ  
Artinya:
“Dari Ali bin Abi Thalib ia berkata: Telah bersabda Rasulullah SAW: Barang siapa yang mmembaca Al-Qur’an maka baginya balasan 200 dinar. Jika dia tidak di dunia dia akan diberi di akhirat”.
Yahya bin Ma’iin mengatakan dalam hadits ini ada rawi yang bernama ‘Amar bin Jumai’ yang termasuk salah seorang pendusta. Ibnu Hibban juga mengatakan perawi tersebut sering meriwayatkan hadits-hsdits palsu.[13]
b.      Hadits Munkar (مُنْكَر), adalah hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang lemah yang bertentangan dengan rawi yang lebih kuat darinya dari sisi ketsiqahannya. Perbandingannya adalah hadits ma’ruf (مَعْرُوْف) adalah hadits yang diriwayatkan oleh perawi tsiqah yang bertentangan dengan perawi yang lemah, seperti hadits riwayat Ibnu Abi Hatim, dari jalurnya Hubaib bin Habib, dari Abi Ishaq, dari al-‘Izar bin Huraits, dari Ibnu Abbas, dari Rasulullah beliau bersabda:
مَنْ أَقَامَ الصَّلَاةَ وَ أَتَى الزَّكَاةَ وَ حَجَّ وَ صَامَ وَ قَرَى الضَّيْفَ, دَخَلَ الجَنَّةَ
Artinya:
“barang siapa mendirikan shalat, menunaikan zakat, melakukan haji, berpuasa, dan menjamu tamu, maka dia masuk surga”.
Ibnu Abi Hatim berkata: Hadits ini munkar, karena terdapat rawi yang kredibel yaitu Abi Ishaq dan rawi yang kurang kredibel yaitu Hubaib.[14]
c.       Hadits Mudraj (مُدْرَج),adalah hadits yang dimasuki sisipan, yang sebenarnya bukan bagian hadits itu. Contoh:
قال رسولوالله صلي الله عليه وسلم: انا زعيم، والزعيم الحميل لمن أمن بي واسلم وجاهدفي سبيل الله يبيت في ريض الجنة (رواه النسائ)
Artinya:
“Rasulullah Saw bersabda: saya itu adalah Zaim dan Zaim itu adalah penanggungjawab dari orang yang beriman kepadaku, taat danberjuang di jalan Allah, dia bertempat tinggal di dalam surge.” (HR. Nasai)
Dalam meriwayatkan hadits ini, Washil al-Ahdab tidak menyebutkan Umar bin Surahbil, tetapi dia meriwayatkan dari Abi Wa’il yang menerima langsung dari Ibnu Mas’ud. Jadi, penyebutan Umar bin Syurahbil merupakan sisipan (tadrij) pada riwayat Manshur dan al-A’masy.[15]
d.      Hadits Maqlub (مَقْلُوْب), adalah hadits yang terdapat didalamnya terdapat perubahan, baik dalam sanad maupun matannya, baik yang disebabkan pergantian lafaz lain atau disebabkan susunan kata yang terbalik, contoh:
إذا سجد احدكم فلا يبرك كمايبرك البعير وليضع يديه قبل وكبته
Artinya:
“Apabila salah seorang kamu sujud, jangan menderum seperti menderumnya seekor unta, melinkan hendaknya meletakkan kedua tanggannya sebelum meletakan kedua lututnya,” (HR. Al- Turmudji, dan mengatakakannya hadits ini gharib)
Hadits ini maqlub, karena Hammad mengganti Suhail bin Abi Shalih dengan al-A’masy.[16]
e.       Hadits  Mudltharib (مُضْطَرِب), adalah hadits yang diriwayatkan oleh orang yang berbeda-beda, akan tetapi syarat-syarat diterimanya dari beberapa rawi tersebut sama di dalam kekuatannya, sekira ada pertentangan dari segala arah, maka tidak bisa dijam’u, dinaskh, dan ditarjih, [17] seperti hadits riwayat at-Tirmidzi, dari jalur Abu Bakar, sesungguhnya ia bertanya kepada Nabi saw demikian:
يَا رَسُوْلَ اللهِ أَرَاكَ شِبْتَ؟ قَالَ: شَيَّبَتْنِيْ هُوْدٌ وَ أَخَوَاتُهَا
Menurut Daru Quthniy, hadits ini termasuk hadits mudltharib, sebab hanya diriwayatkan dari satu jalur matarantai sanad, yaitu Abu Ishaq, tetapi dari jalur ini pula banyak ditemukan kerancuan dalam matarantai sanad yang jumlahnya lebih dari sepuluh redaksi, di antaranya ada yang mengatakan bahwa:
1)      Hadits tersebut diriwayatkan secara muttashil.
2)      Hadits tersebut diriwayatkan secara mursal.
Bahkan para ulama mempertentangkan masalah yang berhubungan dengan matarantai sanad, di antaranya ada yang mengatakan bahwa:
1)      Hadits tersebut bersumber dari periwayatan Abu Bakar. Dan dari jalur ini, bisa dilihat dari beberapa jalur yang berfariatif, di antaranya adalah:
a)      Dari Ikrimah, dari Abu Bakar.
b)      Dari al-Barra’, dari Abu Bakar.
c)      Dari Abu Yasrah, dari Abu Bakar.
d)     Dari ‘Alqamah, dari Abu Bakar.
2)     hadits tersebut bersumber dari musnad Sa’ad.
3)     Hadits tersebut bersumber dari musnad Aisyah dan sebagainya.
Padahal semua rawi tersebut adalah tsiqah sehingga tidak memungkinkan untuk dicarikan tarjihnya, bahkan untuk mengkompromikan saja dianggap tidak beralasan (ma’dzur).[18]
f.       Hadits Mushahhaf (مُصَحَّف), hadits yang terjadi perubahan huruf atau makna di dalamnya atau di dalam sanadnya,[19]seperti contoh hadits:
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ وَ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ, كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ
Kemudian hadits tersebut ditashhif oleh Abu Bakr ash-Shuuliyu pada lafadz سِتًّا menjadi شَيْأً.[20]
g.      Hadits Muharraf (مُحَرَّف), adalah hadits yang terjadi perubahan syakl di dalamnya atau di dalam sanadnya, maksudnya terjadi perubahan pada harakat-harakatnya atau pada sukun-sukunnya,[21] seperti pada hadits:
رُمِيَ أُبَيٌّ يَوْمَ الْإِحْزَابِ عَلَى أَكْحَلِهِ, فَكَوَاهُ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ
Hadits tersebut ditahrif oleh Ghundar dengan melafalkan أُبَيٌّ menjadi أَبِيْ [22]
3.      Dilihat dari Sisi Kejanggalan dan Kecacatan
a.       Hadits Syadz (شَاذ), hadits yang diriwayatkan oleh rawi yang dapat diterima, namun bertentangan dengan perawi lain yang lebih utama darinya, Contoh: hadits syaz dalam matan adalah hadits yang diriwayatkan oleh muslim, dari Nubaisyah Al-Hudzali, dia berkata, Rasulullah bersabda:
                                                                          ايام التشريق ايام اكل وشرب
Artinya:
“hari-hari tasyrik adalah hari-hari makan dan minum”
Dari kenyataan di atas, periwayatan at-Tirmidzi melalui sanad Ibnu Uyainah yang lebih utama, disebut hadits mahfudh, sedang yang melalui Ashab as-Sunnah disebut syadz.[23]
b.     Hadits Mu’allal (مُعَلَّل), adalah hadits yang secara lahiriyahnya tidak ada kecacatan, namun setelah dikaji lebih mendalam ternyata terdapat kecacatan di dalam sanad atau matannya atau di dalam kedua-duanya, seperti contoh:
قال رسولوالله صلي الله عليه وسلم : البيعان بالخيار مالم يتفرفا
Artinya:
“Rasulullah bersabda: penjual dan pembeli boleh berikhtiar, selama mereka masih belum berpisah”
Ada dua jalur periwayatan, yaitu:
1)      Jalur Ya’la bin Ubaid, dari Tsufyan ats-Tsaury, dari ‘Amr bin Dinar, dari Ibnu Umar
2)      Jalur Makhlad bin Yazid, Muhammad bin Yusuf dan Abu Na’im, ketiganya dari Tsufyan ats-Tsaury, dari Abdullah bin Dinar dari Ibnu ‘Umar
Dari penyajian dua jalur di atas, dapat dinyatakan bahwa hadits yang dari jalur periwayatan Ya’la terdapat unsur kecacatan dan haditsnya dinamakan hadits mu’allal sebab ia menyandarkan haditsnya pada ‘Amr bin Dinar, padahal yang sebenarnya adalah Abdullah bin Dinar. Sekalipun demikian, hadits Ya’la tetap bisa dikatakan shahih pada matannya, sebab redaksinya sama dengan yang lain.[24]
4.      Dilihat dari Sisi Matan
a.       Hadits Mauquf (مَوْقُوْف), adalah hadits yang diriwayatkan dari para sahabat, baik berupa perkataan, perbuatan atau taqrirnya, baik dalam periwayatannya bersambung atau tidak. Maksudnya adalah hadits yang hanya disandarkan pada sahabat saja, seperti contoh:
يَقُوْلُ: إِذَا أَمْسَيْتَ فَلاَ تَنْتَظِرِ الصَّبَاحَ وَ إِذَا أَصْبَحْتَ فَلاَ تَنْتَظِرِ الْمَسَاءَ وَ خُذْ مِنْ صِحَّتِكَ لِمَرَضِكَ وَ مِنْ حَيَاتِكَ لِمَوْتِكَ
Hadits riwayat Bukhari tersebut adalah hadits mauquf, sebab matannya berasal dari perkataan Ibnu ‘Umar dan tidak ada petunjuk yang mengatakan adalah Nabi SAW.[25]
b.      Hadits Maqthu’ (مَقْطُوْع), adalah perkataan, perbuatan atau taqrir yang dimauqufkan kepada tabi’in, baik sanadnya bersambung atau tidak, seperti perkataan Haram bin Jubair (seorang tabi’in besar) yaitu:
 اَلْمُؤْمِنُ إِذَا عَرَفَ رَبَّهُ عَزَّ وَ جَلَّ أَحَبَّهُ وَ إِذَا أَحَبَّهُ أَقْبَلَ إِلَيْهِ[26]
D.    Kehujjahan Hadits Dha’if
Hadits dha’if termasuk hadits yang dihukumi mardud (ditolaknya hujjah darinya) memandang hukum aslinya.[27] Setelah dikaji lebih mendalam terjadi perbedaan pendapat di dalam menjadikan hadits ini sebagai hujjah sebagai berikut:
1.      Haram secara mutlak menurut sebagian kecil ulama, seperti al-Hafizh Ibn al-Arabi al-Maliki, Ibn Hazm, Syihab al-Khafaji, Ahmad Syakir (penulis Syarkh Nazhm Alfiyah as-Suyuthi), Nashiruddin al-Albani (Muhaddits Salafi Wahabi)dan lain-lain.
2.      Boleh secara mutlak menurut Imam Ahmad bin Hanbal, Imam Abu Dawud dan lain-lain. Bahkan menurut kesepakatan Hanafiyah lebih memprioritaskan hadits dha’if daripada qiyas. Selain itu, Imam Malik juga memprioritaskan hadits mursal, munqathi’, mu’allaq, dan ucapan sahabat daripada qiyas.
3.      Kondisional (menurut mayoritas ulama); jika berkaitan dengan akidah dan hukum (halal dan haram), maka tidak boleh. Sedangkan bila berkaitan dengan keutamaan amal, menakut-nakuti, dan memotifasi amal, tafsir dan cerita, maka boleh.[28]

E.     Kitab-Kitab Yang Memuat Hadits Dha’if
1.      Al-Maudu’at, karya Al-Imam Al-Hafiz Abul Faraj Abdur Rahman bin Al-Jauzi (579 H).
2.      Al-Laali Al- Masnuah fi Al-Hadits Al-Mauduah, Karya Al-Hafiz Jalaludin Al-Suyuti (911 H).
3.      Tanzih Al-Syariah Al-Marfuah An Al-Ahadits Al-Syaniah Al-Mauduah, karya Alhafizh Abu Al-Hasan Ali bin Muhammad Bun Iraq Al-Kannani (963 H).
4.      Al-Manar Al-Munif fi Shahih wa Al-Dafi, karya Al-Hafizh Ibnu Qayyim Al-Jauziyah ( 751 H ).
5.      Al-Masnu fi Al-Hadits Al-Maudu’ karya Ali Al-Qari ( 1014 H ).[29]



BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
  1. Hadis dhoif merupakan hadis yang di dalamnya tidak terdapat syarat-syarat hadis shohih dan syarat-syarat hadis hasan. Hadis dhoif ini memilki penyebeb mengapa bisa tertolak di antaranya dengan sebab-sebab dari segi sanad dan juga dari segi matan.
  2. Kriteria hadis dhoif adalah karena sanadnya ada yang tidak bersambung,kurang adilnya perawi,kurang dhobiyhnya perawi dan Ada syadz dalam hadis tersebut.
  3. Hadis dhoif terbagi menjadi beberapa kelompok baik itu yang didasarkan pada pembagian berdasarkan sanad hadis atau juga matan hadis.
  4. Dalam menyikapi penerimaan dan pengamalan hadis dhoif ini terhadi khilafiah di kalangan ulama,ada yang membolehkannya dan ada juga yang secara mutlak tidak membolehkan beramal dengan hadis dhoif tersebut.untuk fadlailul ‘amal dan naasehat kebajikan dengan syarat-syarat tertentu.

B.     Saran
Kami menyadari bahwa dalam makalah ini masih banyak terdapat kekurangan dan kekhilafan oleh karena itu, kepada para pembaca kami mengharapkan saran dan kritik ataupun tegur sapa yang sifatnya membangun akan diterima dengan senang hati demi kesempurnaan makalah selanjutnya





DAFTAR PUSTAKA


Abdul Majid Khon, Ulumul Hadits, Jakarta: Amzah.2013.

H.M. Ahmad, dkk, Ulumul Hadits. Bandung: CV. Pustaka Setia, 2006.
Hadi Saeful. Ulumul Hadits. Kulon Progo: Sabda Media.2013
Hasan al-Mas’udi, Minhah al-Mughits, Surabaya: Andalas.
Idri, Studi Hadits, Jakarta: Kencana, 2013.
M. Ma’shum Zein, Ulumul Hadits & Musthalah Hadits. Cet. I, Jombang: Darul Hikmah, 2008.

Mahmud ath-Thahhan, Taisir Musthalah al-Hadits, Cet. VII, Surabaya: al-Hidayah.

Mohammad Nor Ichwan. Studi Ilmu Hadits. Semarang Rasail, 2007.

Mudasir, Ilmu Hadis, Cet. V, Bandung: Pustaka Setia, 2010.

Muhammad Ahmad. M. Mudzakir, Ulumul Hadits. Bandung: CV. Pustaka Setia. 2000.
Muhammad ‘Alawi al-Maliki, al-Minhal al-Lathif.Dar ar-Rahmah.

Munzier  Suparto, Ilmu  Hadis. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,2003.

Nur Hidayat Muhammad, Hujjah Nahdliyah. Cet.I.Surabaya: Khalista. 2012

Qosim Koho, Himpunan Hadits Lemah dan Palsu. Surabaya: PT Bina Ilmu, 2003.

Syarif Hade Masyah, Dasar-dasar Ilmu Hadis. Jakarta: Pustaka Firdaus, Cet. I, 2001.











KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas selesainya Makalah Ulumul Hadits tentang HADITS DHAIF. Dengan adanya makalah ini kita sebagai umat muslim diharapkan mengetahui bagaimana cara kita bersikap dalam menghadapi hadits dhaif tersebut karena hal ini akan langsung berkaitan dengan aqidah dan ibadah-ibadah kita kepada Allah SWT.
Penulisan makalah ini adalah salah satu tugas mata Kuliah Ulumul Hadits di STAIN Watampone. Dalam penulisan makalah ini kami merasa masih banyak kekurangan baik dalam teknis penulisan maupun materi, mengingat kemampuan yang dimiliki kami. Serta kami mengucapkan banyak terima kasih untuk pihak-pihak yang telah membantu kami. Semoga Allah memberikan imbalan yang setimpal kepada mereka yang telah memberikan bantuan baik secara langsung maupun tidak langsung. Amin Yaa Rabbal ‘Alamiin.




Watampone, 17  Mei 2016

            Penyusun









i
 
 


DAFTAR ISI

Halaman
KATA PENGANTAR .............................................................................               i
DAFTAR ISI .............................................................................................               ii
BAB I..... PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang.....................................................................               1
B.       Rumusan Masalah.................................................................               2
C.       Tujuan Penulisan...................................................................               2
BAB II... PEMBAHASAN
A.       Definisi Hadits Dha’if..........................................................               3
B.       Kriteria-kriteria Hadits Dha’if..............................................               5
C.       Macam-macam Hadits Dha’if..............................................               6
D.       Kehujjahan Hadits Dha’if....................................................               14
E.        Kitab-Kitab Yang Memuat Hadits Dha’if...........................               15
BAB III.. PENUTUP
A.       Kesimpulan...........................................................................               16
B.       Saran.....................................................................................               16
DAFTAR PUSTAKA









ii
 
 


HADITS DHAIF / LEMAH

 








Makalah  Diajukan  Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Ulumul Hadits
Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri
(STAIN) Watampone

Oleh
Kelompok 8


¤          Mariana
¤          Wahdania
¤          Yuliana






SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
(STAIN) WATAMPONE

 
2016



[1] Munzier  Suparto, Ilmu  Hadis, ( Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,2003) hlm 175
[2]    Munzier Supra, ilmu hadis, PT Rja GrafindoPersada, Jakarta, 2002, hal 149-150.
[3]   Muhyiddin al-Nawawi, At-taqrib wa al-taisir li ma’rifati sunan al-basyir al-nadzir, edisi Indonesia, Dasar-dasar    Ilmu Hadis, Penerjemah Syarif Hade Masyah, ((Jakarta: Pustaka Firdaus, Cet. I, 2001), hal 3.
[4]   Muhammad Alawi al-Maliki, al-Minhal al-Lathiif, (Dar al-Rohmah al-Islamiyah), Hal. 51
[5]   Mudasir, Ilmu Hadis, Cet. V, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2010), Hal. 156-157
[6]  Abdul Majid Khon, Ulumul Hadits, 2013, hal. 184-185.
[7]   Mohammad Nor Ichwan. Studi Ilmu Hadits. (Semarang Rasail, 2007), hlm: 133.
[8]  Idri, Studi Hadits, (Jakarta: Kencana, 2013), hlm. 178-179
[9] Muhammad Ahmad. M. Mudzakir, Ulumul Hadits (Bandung: CV. Pustaka Setia. 2000) h. 112.
[10]  Muhammad ‘Alawi al-Maliki, al-Minhal al-Lathif, (Daar al-Rahmah al-Islamiyah), Hlm. 82
[11]  Hasan al-Mas’udi, Minhat al-Mughits, (Surabaya: Andalas), Hlm. 43
[12][8Muhammad ‘Alawi al-Maliki, al-Minhal al-Lathif, (Daar al-Rahmah al-Islamiyah), Hlm. 114-116
[13]  Qosim Koho, Himpunan Hadits Lemah dan Palsu ( Surabaya: PT Bina Ilmu, 2003) h. 149
[14][Muhammad ‘Alawi al-Maliki, al-Minhal al-Lathif, (Dar ar-Rahmah), Hlm. 93-94
[15]  Mudasir, Ilmu Hadis, Cet. V, (Bandung: Pustaka Setia, 2010), Hlm. 166
[16] Mahmud ath-Thahhan, Taisir Musthalah al-Hadits, Cet. VII, (Surabaya: al-Hidayah), Hlm. 107-108
[17] Muhammad ‘Alawi al-Maliki, al-Minhal al-Lathif, (Dar ar-Rahmah), Hlm. 102
[18] M. Ma’shum Zein, Ulumul Hadits & Musthalah Hadits, Cet. I, (Jombang: Darul Hikmah, 2008), Hlm. 154-155.
[19] Hasan al-Mas’udi, Minhah al-Mughits, (Surabaya: Andalas), Hlm. 53
[20]  Muhammad ‘Alawi al-Maliki, al-Minhal al-Lathif, (Dar ar-Rahmah), Hlm. 93-94
[21]  Hasan al-Mas’udi, Minhah al-Mughits, (Surabaya: Andalas), Hlm. 53-54
[22]   Muhammad Alawi al-Maliki, al-Minhal al-Lathif, (Dar ar-Rahmah), Hlm. 108-109
[23]  M. Ma’shum Zein, Ulumul Hadits & Musthalah Hadits, Cet. I, (Jombang: Darul Hikmah, 2008), Hlm. 161-162
[24]  M. Ma’shum Zein, Ulumul Hadits & Musthalah Hadits,  Hlm. 45
[25]  M. Ma’shum Zein, Ulumul Hadits & Musthalah Hadits, Cet. I, (Jombang: Darul Hikmah, 2008), Hlm. 168-169
[26]  M. Ma’shum Zein, Ulumul Hadits & Musthalah Hadits, Hlm. 169-170
[27] Saeful Hadi, Ulumul Hadits, Cet. XII, (Kulon Progo: Sabda Media), Hlm. 172
[28]  Nur Hidayat Muhammad, Hujjah Nahdliyah, Cet.I (Surabaya: Khalista, 2012), Hal. 11-12
[29]   H.M. Ahmad, dkk, Ulumul Hadits, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2006),h. 208.

No comments:

Post a Comment

MAKALAHKU

MAKALAH TATANIAGA HASIL PERIKANAN

Tugas Individu MAKALAH TATANIAGA HASIL PERIKANAN Oleh ASRIANI 213095 2006 SEKOLAH TINGGI ILMU P...