DENGUE DI
DESA MOJOSONGO
KABUPATEN
BOYOLALI
Oleh :
Azizah
Gama T dan Faizah Betty R
Fakultas Ilmu
Kesehatan Universitas Muhammadiyah Surakarta
ABSTRACT
Dengue
Haemoraghic Fever (DHF) remains to be an important public health concern in
Indonesia and its mortality has been increasing steadly for the decades. The
study aimed to estimate the strength of association between the existence of
drainage, the existence of kontainer, resident mobility, and the habit of stay
at home. The study was analyst using cross-sectional design. A total of 80
subject were sampled at random from all people in Mojosongo village, Boyolali.
Association between variables was analyzed by multiple logistic regression
model, which was run under the SPSS version 15.0 program. Study results showed,
the existence of kontainer more than 3 piece had 6,75 time as much risk of DHF
as the existence of kontainer less than or 3 piece on around of house (OR :
6,75, CI 95% : 2,15 hingga 21,22). Resident mobility minimum 2 periode before
DHF had 9,29 time as much risk of DHF as non the resident mobility 2 periode
before DHF (OR : 9,29, CI 95% : 1,08 hingga 80,15). The existence of drainage
and the habit of stay at home are not risk factors of DHF. This is confirms
that the existence of kontainer and resident mobility are important risk
factors of DHF. The existence of drainage and the habit of stay at home are not
risk factors of DHF.
Key
words : DHF, risk factor
PENDAHULUAN
Demam Berdarah Dengue (DBD)
merupakan masalah utama kesehatan masyarakat di Indonesia dan angka kematian
DBD selalu meningkat dari tahun ke tahun. Kejadian Luar Biasa / KLB DBD terjadi
setiap 5 tahun, tetapi kini semakin sering, bahkan ada beberapa kota terjadi
KLB setiap tahun. Tahun 2004, DBD menimbulkan KLB di 12 propinsi dengan jumlah
79.462 penderita dan 957 menyebabkan kematian. Awal tahun 2007, kembali lagi
terjadi KLB di 11 propinsi. Jumlah kasus DBD 2007 sampai Juli adalah 102.175
kasus dengan jumlah kematian 1.098 jiwa.
Kasus DBD pada tahun 2005 di Jawa Tengah
sebesar 7.144 kasus yang tersebar di seluruh kabupaten dan kota. Diantara kasus
tersebut, 181 penderita diantaranya meninggal dunia (CFR = 2,53%) (Sohirin,
2005). Kabupaten/kota yang mempunya CFR >2% adalah Cilacap (2,33%),
Karanganyar (3,03%), Semarang (3,29%), Surakarta (2,93%), dan Boyolali (5%)
(Dinkes Jawa Tengah, 2003). Meningkatnya jumlah kasus dan bertambahnya wilayah
yang terjangkit, disebabkan makin baiknya sarana transportasi penduduk, adanya
pemukiman baru, kurangnya perilaku masyarakat menguras bak mandi, kurangnya
persediaan air bersih. Urbanisasi yang cepat dan perkembangan pembangunan
daerah pedesaan dapat mempengaruhi bionomik vektor penyebab DBD. Keadaan itu
tidak terlepas dari peningkatan penduduk yang mencapai 1,49 persen serta
degradasi kualitas fungsi lingkungan, sebagai akibat pembangunan yang tidak
berpihak pada lingkungan (Adbrite, 2007)
DBD ditularkan oleh vektor nyamuk Aedes
aegypti. Tempat perindukan nyamuk di lingkungan yang lembab, curah hujan
tinggi, terdapat genangan air di
Eksplanasi Volume 5 Nomor 2 Edisi Oktober 2010
|
1
|


dalam
maupun luar rumah. Faktor lain penyebab DBD adalah sanitasi lingkungan yang
buruk, perilaku masyarakat tidak sehat, perilaku di dalam rumah pada siang
hari, dan mobilitas penduduk. Mobilitas penduduk memegang peranan paling besar
dalam penularan virus dengue.
Kabupaten
Boyolali merupakan daerah endemis DBD di Jawa Tengah dengan jumlah kasus pada
tahun 2005 sebanyak 140 kasus yang dilaporkan dari 19 kecamatan dan terjadi
peningkatan kasus 1,5% setiap tahunnya. Kecamatan Mojosongo merupakan salah
satu kecamatan di Kabupaten Boyolali dengan jumlah kematian 2 kasus pada tahun
2006 dengan Angka Bebas Jentik (ABJ) adalah 93,79% (Profil Kesehatan Kabupaten
Boyolali, 2005). Tujuan penelitian ini adalah mengetahui faktor risiko dan
mengukur besar risiko keberadaan saluran air hujan, keberadaan kontainer,
mobilitas penduduk, dan kebiasaan di dalam rumah terhadap kejadian DBD.
TINJAUAN PUSTAKA
Pengertian
Demam Berdarah Dengue
Demam
berdarah atau DBD adalah penyakit febril akut yang ditemukan di daerah
tropis, dengan penyebaran geografis yang mirip dengan malaria. Penyakit ini
disebabkan oleh salah satu dari empat serotipe virus dari genus Flavivirus,
famili Flaviviridae. Setiap serotipe cukup berbeda sehingga tidak ada
proteksi-silang dan wabah yang disebabkan beberapa serotipe
(hiperendemisitas) dapat terjadi. DBD disebarkan kepada manusia oleh nyamuk Aedes
aegypti.
Nyamuk Aedes
Aegypti
Nyamuk
Aedes aegypti dewasa berukuran lebih kecil jika dibandingkan dengan rata
-rata nyamuk lain. Nyamuk ini mempunyai dasar hitam dengan bintik-bintik putih
pada bagian badan, kaki, dan sayapnya. Nyamuk jantan menghisap cairan tumbuhan
atau sari bunga untuk keperluan hidupnya. Sedangkan yang betina mengisap darah.
Nyamuk betina ini lebih menyukai darah manusia dari pada binatang. Biasanya
nyamuk betina mencari mangsanya pada siang hari. Aktivitas menggigit biasanya
pagi (pukul 9.00-10.00) sampai petang hari (16.00-17.00). Aedes aegypti
mempunyai kebiasan mengisap darah berulang kali untuk memenuhi lambungnya
dengan darah. Dengan demikian nyamuk ini sangat infektif sebagai penular
penyakit. Setelah mengisap darah, nyamuk ini hinggap (beristirahat) di dalam
atau diluar rumah. Tempat hinggap yang disenangi adalah benda-benda yang
tergantung dan biasanya ditempat yang agak gelap dan lembab. Nyamuk akan
bertelur dan berkembang biak di tempat penampungan air bersih, seperti tempat
penampungan air untuk keperluan sehari-hari: bak mandi, WC, tempayan, drum air,
bak menara (tower air) yang tidak tertutup, sumur gali. Selain itu, wadah
berisi air bersih atau air hujan: tempat minum burung, vas bunga, pot bunga,
ban bekas, potongan bambu yang dapat menampung air, kaleng, botol, tempat
pembuangan air di kulkas dan barang bekas lainnya yang dapat menampung air
walau dengan volume kecil, juga menjadi tempat kesukaannya.
Telur akan diletakkan dan
menempel pada dinding penampungan air, sedikit di atas permukaan air. Setiap
kali bertelur, nyamuk betina dapat mengeluarkan sekitar seratus butir telur
dengan ukuran sekitar 0,7 milimeter perbutir. Di tempat kering (tanpa air),
telur dapat bertahan sampai enam bulan. Telur akan menetas menjadi jentik
setelah sekitar dua hari terendam air. Setelah 6-8 hari, jentik nyamuk akan
tumbuh menjadi pupa nyamuk. Pupa nyamuk yang masih dapat aktif bergerak di
dalam air
tanpa makan, itu
akan memunculkan
|
nyamuk
menunggu proses
|
Eksplanasi
Volume 5 Nomor 2 Edisi Oktober 2010
|
2
|


pematangan telurnya. Selanjutnya nyamuk betina
akan meletakkan telurnya didinding tempat perkembangbiakan, sedikit diatas
permukaan air. Pada umumnya telur akan menetas menjadi jentik dalam waktu 2
hari setelah terendam air. Suhu air yang cocok antara 26 – 300C,
kelembaban antara 26 – 28. Larva akan menjadi kepompong dan akhirnya menjadi
nyamuk dewasa (Depkes RI, 2004).
Tanda
Gejala
Penyakit ini ditunjukkan melalui
munculnya demam secara tiba-tiba, disertai sakit kepala berat, sakit pada sendi
dan otot (myalgia dan arthralgia) dan ruam; ruam demam berdarah
mempunyai ciri-ciri merah terang, dan biasanya mucul dulu pada bagian bawah
badan dan menyebar hingga menyelimuti hampir seluruh tubuh. Selain itu, radang
perut bisa juga muncul dengan kombinasi sakit di perut, rasa mual,
muntah-muntah atau diare. Penyebab demam berdarah menunjukkan demam yang lebih
tinggi, pendarahan, trombositopenia dan hemokonsentrasi. Sejumlah kecil kasus
bisa menyebabkan sindrom shock dengue yang mempunyai tingkat kematian
tinggi (Siregar, 2005)
Pencegahan
Pencegahan utama demam berdarah terletak
pada menghapuskan atau mengurangi vektor nyamuk demam berdarah yaitu Aedes
aegypti. Pengendalian nyamuk tersebut dapat dilakukan dengan menggunakan
beberapa metode yang tepat, yaitu :
1)
Lingkungan. Metode
lingkungan untuk mengendalikan nyamuk tersebut antara lain dengan Pemberantasan
Sarang Nyamuk (PSN), pengelolaan sampah padat, modifikasi tempat
perkembangbiakan nyamuk hasil samping kegiatan manusia, dan perbaikan desain
rumah. Sebagai contoh : menguras bak mandi / penampungan air sekurang-kurangnya
sekali seminggu, mengubur kaleng-kaleng dan ban-ban bekas, menutup dengan rapat
bak penampungan air, dan mengganti/menguras vas bunga / tempat minum burung
seminggu sekali.
2)
Biologi. Yaitu berupa
intervensi yang dilakukan dengan memanfaatkan musuh-musuh (predator) nyamuk
yang ada di alam seperti ikan pemakan jentik (ikan cupang, dll), dan bakteri.
3)
Kimiawi. Yaitu berupa
pengendalian vektor dengan bahan kimia, baik bahan kimia sebagai racun, bahan
penghambat pertumbuhan, dan sebagai hormon. Penggunaan bahan kimia untuk
pengendalian vektor harus mempertimbangkan kerentanan terhadap pestisida, bisa
diterima masyarakat, aman terhadap manusia dan organisme lain. Caranya adalah :
a) pengasapan/fogging , b) memberi bubuk abate pada tempat-tempat
penampungan air seperti gentong, vas bunga, kolam, dan lain-lain.
4)
Terpadu. Langkah ini
tidak lain merupakan aplikasi dari ketiga cara
yang
dilakukan
secara tepat/terpadu dan kerja sama lintas program maupun lintas sektoral dan
peran serta masyarakat.
Cara
yang paling efektif dalam mencegah penyakit DBD adalah dengan mengkombinasikan
cara-cara di atas, yang disebut dengan “3M Plus”, yaitu menutup, menguras,
menimbun. Selain itu juga melakukan beberapa plus seperti memelihara ikan
pemakan jentik, menabur larvasida, menggunakan kelambu pada waktu tidur,
memasang kasa, menyemprot dengan insektisida, menggunakan repellent, memasang
obat nyamuk, memeriksa jentik berkala, dll sesuai dengan kondisi setempat
(Ditjen P2MPL, 2000)
Eksplanasi Volume 5 Nomor 2 Edisi Oktober 2010
|
3
|


Menurut Sari
(2005) menyatakan bahwa faktor- faktor yang terkait dalam penularan DBD pada
manusia adalah :
1)
Kepadatan penduduk,
lebih padat lebih mudah untuk terjadi penularan DBD, oleh karena jarak terbang
nyamuk diperkirakan 50 meter.
2)
Mobilitas penduduk,
memudakan penularan dari suatu tempat ke tempat lain.
3)
Kualitas perumahan,
jarak antar rumah, pencahayaan, bentuk rumah, bahan bangunan akan mempengaruhi
penularan. Bila di suatu rumah ada nyamuk penularnya maka akan menularkan
penyakit di orang yang tinggal di rumah tersebut, di rumah sekitarnya yang
berada dalam jarak terbang nyamuk dan orang-orang yang berkunjung kerumah itu.
4)
Pendidikan, akan
mempengaruhi cara berpikir dalam penerimaan penyuluhan dan cara pemberantasan
yang dilakukan.
5)
Penghasilan, akan
mempengaruhi kunjungan untuk berobat ke puskesmas atau rumah sakit.
6)
Mata pencaharian,
mempengaruhi penghasilan
7)
Sikap hidup, kalau rajin
dan senang akan kebersihan dan cepat tanggap dalam masalah akan mengurangi
resiko ketularan penyakit.
8)
Perkumpulan yang ada,
bisa digunakan untuk sarana PKM
9)
Golongan
umur, akan memperngaruhi penularan penyakit. Lebih banyak golongan umur kurang
dari 15 tahun berarti peluang untuk sakit DBD lebih besar.
10)
Suku bangsa, tiap suku
bangsa mempunyai kebiasaannya masing-masing, hal ini juga mempengaruhi
penularan DBD.
11)
Kerentanan terhadap
penyakit, tiap individu mempunyai kerentanan tertentu
terhadap penyakit,
kekuatan dalam tubuhnya tidak sama dalam menghadapi suatu penyakit, ada yang
mudah kena penyakit, ada yang tahan terhadap penyakit.
Sedangkan
faktor yang dianggap dapat memicu kejadian DBD adalah :
1)
Lingkungan. Perubahan
suhu, kelembaban nisbi, dan curah hujan mengakibatkan nyamuk lebih sering
bertelur sehingga vektor penular penyakit bertambah dan virus dengue
berkembang lebih ganas. Siklus perkawinan dan pertumbuhan nyamuk dari telur
menjadi larva dan nyamuk dewasa akan dipersingkat sehingga jumlah populasi akan
cepat sekali naik. Keberadaan penampungan air artifisial/ kontainer seperti bak
mandi, vas bunga, drum, kaleng bekas, dan lain-lain akan memperbanyak tempat
bertelur nyamuk. Penelitian oleh Ririh dan Anny (2005) tentang “Hubungan
Kondisi Lingkungan, Kontainer, dan Perilaku Masyarakat dengan Keberadaan Jentik
Nyamuk Aedes Aegypti di Daerah Endemis Surabaya” menunjukkan bahwa ada
hubungan antara kelembaban, tipe kontainer, dan tingkat pengetahuan masyarakat
terhadap keberadaan jentik nyamuk Aedes Aegypti.
2)
Perilaku. Kurangnya
perhatian sebagian masyarakat terhadap kebersihan lingkungan tempat tinggal,
sehingga terjadi genangan air yang menyebabkan berkembangnya nyamuk. Kurang
baik perilaku masyarakat terhadap PSN (mengubur, menutup penampungan air),
urbanisasi yang cepat, transportasi yang makin baik, mobilitas manusia antar
daerah, kurangnya kesadaran masyarakat akan kebersihan lingkungan, dan
kebiasaan berada di dalam rumah pada waktu siang hari.
METODE
PENELITIAN
Sifat penelitian
ini adalah penelitian survei di lapangan dan menurut waktu pelaksanaan
merupakan penelitian cross sectional. Besar risiko relatif dicerminkan
Eksplanasi Volume 5 Nomor 2 Edisi Oktober 2010
|
4
|


dengan
angka IDR (Inside Density Ratio). Parameter yang digunakan adalah OR (Odds
Ratio ) yang dapat disamakan dengan IDR (Murti, 1997). Variabel bebas :
faktor risiko yang mempengaruhi DBD yang meliputi keberadaan saluran air hujan,
keberadaan kontainer, mobilitas penduduk, dan kebiasaan tinggal di dalam rumah.
Variabel terikat : kejadian DBD di Desa Mojosongo, Kecamatan Mojosongo,
Kabupaten Boyolali.
Teknik
sampling yang digunakan adalah non probability sampling yaitu Fixed-Design
Sampling (Murti, 2003). Besar sampel dihitung dengan rumus (Hair dkk,
1998), yaitu : 4 variabel independen x 20 responden = 80 responden. Jenis data
yang digunakan dalam penelitian ini adalah : 1) Data primer, diperoleh dengan
metode wawancara dengan menggunakan kuesioner dan observasi; 2) Data sekunder,
diperoleh melalui studi dokumenter (register puskesmas). Sedangkan analisis
datanya menggunakan : 1) Analisis Univariat, Analisis Univariat dilakukan untuk
memperoleh gambaran umum dengan cara mendeskripsikan tiap-tiap variabel dengan
melihat parameter frekuensi dan persentase; 2) Analisis hubungan antar
variabel, Analisis hubungan antara faktor-faktor risiko dengan DBD dianalisis
dengan analisis regresi logistik ganda menggunakan program SPSS versi 15.0.
HASIL
DAN PEMBAHASAN
Deskripsi data dalam bentuk jumlah /
frekuensi dan persentase. sebagian besar responden berumur 28 – 40 tahun
sebanyak 31,3%, berpendidikan SMP/SMA (55%), bekerja di luar daerah (38,8%),
tidak menderita DBD (63,8%), tidak terdapat saluran air hujan di sekitar rumah
(83,8%), mempunyai kontainer >3 buah (82,5%), melakukan mobilitas pada
periode minimal 2 minggu sebelum sakit (56,2%), dan tidak terbiasa tinggal di
dalam rumah pada pagi hari (87,5%).
Karakteristik
responden yang tidak menderita DBD dan tidak mempunyai saluran air hujan
disekitar rumah sebanyak 34 orang (66,7%) lebih besar dibandingkan dengan yang
mempunyai saluran air hujan di sekitar rumah sebanyak 17 orang (33,3%).
Sedangkan semua responden yang positif terkena DBD tidak mempunyai saluran air
hujan di sekitar rumah sebanyak 29 orang (100%). karakteristik responden yang
tidak menderita DBD dan mempunyai kontainer >3 buah sebanyak 38 orang
(74,5%) lebih besar dibandingkan dengan yang mempunyai kontainer ≤ 3
buah sebanyak 13 orang (25,5%). Sedangkan responden yang positif terkena DBD
dan mempunyai kontainer >3 buah sebanyak 28 orang (96,6%) lebih besar
dibandingkan dengan yang mempunyai kontainer ≤ 3 buah sebanyak 1 orang
(3,4%).
Karakteristik
responden yang tidak menderita DBD dan tidak melakukan mobilitas minimal 2
minggu sebanyak 30 orang (58,8%) lebih besar dibandingkan dengan yang melakukan
mobilitas ke luar desa/kota sebanyak 21 orang (41,2%). Sedangkan responden yang
positif terkena DBD dan melakukan mobilitas ke luar desa/kota sebanyak 24 orang
(82,8%) lebih besar dibandingkan dengan yang tidak melakukan mobilitas ke luar
desa/kota sebanyak 5 orang (17,2%). responden yang tidak menderita DBD dan
tidak terbiasa tinggal di dalam rumah pada pagi hari sebanyak 46 orang (90,2%)
lebih banyak dibandingkan dengan responden yang tidak DBD dan terbiasa tinggal
di dalam rumah pada pagi hari sebanyak 5 (9,8%). Sedangkan responden yang
positif terkena DBD dan terbiasa tinggal di dalam rumah pada pagi hari sebanyak
24 orang (82,8%) lebih besar dibandingkan dengan yang tidak terbiasa tinggal di
dalam rumah pada pagi hari sebanyak 5 orang (17,2%).
Analisis
hubungan antara variabel dependen dan independen, yaitu status DBD dengan
keberadaan kontainer dan mobilitas penduduk dengan menggunakan
Eksplanasi Volume 5 Nomor 2 Edisi Oktober 2010
|
5
|


analisis Regresi Logistik Ganda metode
Enter. Nilai OR ditunjukkan oelh nilai exp(β). Hal ini dapat dilihat
pada tabel 1.
Tabel
1. Hasil Analisis Regresi Logistik tentang Analisis Faktor Risiko Kejadian DBD
di Desa Mojosongo Kabipaten Boyolali Tahun 2006 – 2008
No
|
Variabel
|
OR
|
p
|
Coeficience
Interval 95%
|
|
|
|
|
|
|
Batas
bawah
|
Batas atas
|
|
1
|
Kontainer
|
|
|
|
|
|
|
<
3
|
1
|
|
-
|
|
|
|
>3
|
6,75
|
0,01
|
2,15
|
21,22
|
|
2
|
Mobilitas
|
|
|
|
|
|
|
Tidak terbiasa
|
1
|
|
-
|
-
|
|
|
Terbiasa
|
9,29
|
0,43
|
1,08
|
80,15
|
|
3
|
Saluran
hujan
|
1
|
|
-
|
-
|
|
|
Tidak
terdapat
|
1
|
|
|||
|
Terdapat
|
0,00
|
0
|
-
|
|
|
4
|
Tinggal
rumah
|
1
|
|
-
|
-
|
|
Tidak
biasa
|
0,75
|
|
||||
|
Biasa
|
0,00
|
0,14
|
14,64
|
|
Konstan
N
observasi = 80
-2Log
likelihood = 84,51
Nagelkerke R2 =
0,31
Berdasar tabel 1 menyajikan bahwa
responden yang mempunyai kontainer >3 memiliki risiko untuk mengalami DBD
6,75 kali lebih besar daripada responden yang mempunyai kontainer ≤3
dengan batas bawah 2,15 dan batas atas 21,22 (OR : 6,75, CI 95% : 2,15 hingga
21,22). Responden yang melakukan mobilitas minimal periode 2 minggu sebelum
kejadian DBD memiliki risiko 9,29 kali lebih besar daripada responden yang
tidak melakukan mobilitas minimal periode 2 minggu sebelum kejadian DBD dengan
batas bawah 1,08 dan batas atas 80,15 (OR : 9,29, CI 95% : 1,08 hingga 80,15).
Responden yang mempunyai saluran air hujan bukan merupakan faktor risiko
kejadian DBD (OR : 0,00, CI 95% : 0), dan Responden yang biasa tinggal di dalam
rumah pada pagi hari bukan merupakan faktor risiko kejadian DBD (OR : 0,00, CI
95% : 0,14 hingga 14,64).
Nilai R2
Negelkerke sebesar 0,31 mempunyai arti bahwa model yang memasukkan variabel
keberadaan kontainer dan melakukan mobilitas hanya menjelaskan sebesar 31%
berhubungan dengan DBD. Hal ini berarti sekitar 69% hubungan DBD dijelaskan
oleh variabel-variabel lain yang tidak diteliti dan diukur dalam penelitian
ini.
Keberadaan
Kontainer
Kontainer >3 memiliki risiko untuk
mengalami DBD 6,75 kali lebih besar daripada responden yang mempunyai kontainer
≤3. Menurut penelitian Suyasa (2006), bahwa ada hubungan antara keberadaan
kontainer dengan keberadaan vektor DBD dengan nilai koefisien kontingensi
sebesar 0,235, dan hasil observasi menunjukkan bahwa dari 90 responden yang
diteliti, diketahui 58 (64,4%) terdapat 1 sampai dengan 3 kontainer di sekitar
responden dan 32 (35,6%) terdapat lebih dari 3 kontainer di sekitar responden.
Pembangunan
perumahan baru memberi kesempatan nyamuk Aedes aegypti berkembang biak.
Hasil survey Depkes di 9 kota, menunjukkan bahwa nyamuk Aedes aegypti
ditemukan satu diantara 3 rumah atau tempat umum yang diperiksa. Tempat
Eksplanasi Volume 5 Nomor 2 Edisi Oktober 2010
|
6
|


perindukan
nyamuk yang potensial adalah tempat penampungan air seperti bak mandi/ WC,
tempayan, drum, kaleng-kaleng bekas, dll (Depkes RI, 1992).
Faktor iklim juga sangat
menentukan perkembangan kasus DBD. Penyakit DBD ditularkan melalui gigitan
nyamuk Aedes Aegypti dimana nyamuk tersebut berkembang biak di
tempat-tempat air jernih yang tidak langsung berhubungan dengan tanah baik di
dalam rumah maupun luar rumah. Kelebihan dari nyamuk Aedes Aegypti adalah
pada telurnya dimana bila dalam keadaan kering mampu bertahan hingga
lebih dari 3 bulan sehingga apabila terkena air telur nya bias langsung menetas
menjadi jentik, kepompong, dan kemudian jadi nyamuk (Hartanto, 2007).
Mobilitas
Penduduk
Responden
yang melakukan mobilitas minimal periode 2 minggu sebelum kejadian DBD memiliki
risiko 9,29 kali lebih besar daripada responden yang tidak melakukan mobilitas
minimal periode 2 minggu sebelum kejadian DBD dengan batas bawah 1,08 dan batas
atas 80,15 (OR : 9,29, CI 95% : 1,08 hingga 80,15).
Hasil
Penyelidikan Epidemiologi (PE) sebagian besar penderita sebelum sakit (18
kasus) habis bepergian ke kota – kota endemis DBD seperti Jakarta, Bandung,
Bogor, Yogyakarta, dan Semarang. Pengaruh mobilitas penduduk yang tinggi
merupakan salah satu pembawa dampak masuknya DBD ke suatu daerah (Hartanto,
2007).
Hal
ini sesuai dengan Suyasa (2006), ada hubungan antara mobilitas penduduk dengan
keberadaan vektor DBD dengan nilai koefisien kontingensi sebesar 0,235.
Mobilitas penduduk memudahkan penularan dari satu tempat ke tempat lainnya dan
biasanya penyakit menjalar dimulai dari suatu pusat sumber penularan kemudian
mengikuti lalu lintas penduduk. Makin ramai lalu lintas itu, makin besar
kemungkinan penyebaran.
Keberadaan
Saluran Air Hujan
Keberadaan
saluran air hujan di sekitar rumah responden bukan merupakan faktor risiko
kejadian DBD. Nyamuk Aedes aegypti hidup di sekitar pemukiman manusia,
di dalam dan di luar rumah terutama di daerah perkotaan dan berkembang biak
dalam berbagai macam penampungan air bersih yang tidak berhubungan langsung
dengan tanah dan terlindung dari sinar matahari. Larvanya tumbuh subur sebagai
pemakan di dasar (bottom feeder) dalam air bersih yang mengandung bahan
organik, sehingga larvisida bentuk granul sangat sesuai untuk membasmi nyamuk
ini (Sari, 2005).
Kebiasaan
di dalam rumah
Kebiasaan
tinggal di dalam rumah bukan merupakan faktor risiko kejadian DBD di Desa
Mojosongo. Menurut Widjana (2003), bahwa terdapat 4 tipe permukaan yang disukai
sebagai tempat beristirahat nyamuk di dalam rumah yakni permukaan semen, kayu,
pakaian, dan logam. Nyamuk jantan lebih banyak dijumpai beristirahat pada
permukaan logam, sementara nyamuk betina lebih banyak dijumpai pada permukaan
kayu dan pakaian.
Kualitas perumahan, jarak antar rumah,
pencahayaan, bentuk rumah, bahan bangunan akan mempengaruhi penularan. Bila di
suatu rumah ada nyamuk penularnya maka akan menularkan penyakit di orang yang
tinggal di rumah tersebut, di rumah sekitarnya yang berada dalam jarak terbang
nyamuk dan orang-orang yang berkunjung ke rumah itu (Sari, 2005).
Eksplanasi Volume 5 Nomor 2 Edisi Oktober 2010
|
7
|


Keberadaan kontainer merupakan faktor
risiko untuk terjadinya DBD ; Besar risiko kejadian DBD yang mempunyai
kontainer >3 lebih besar dibandingkan dengan yang mempunyai kontainer < 3
(OR : 6,75, CI 95% : 2,15 hingga 21,22). Mobilitas penduduk merupakan faktor
risiko untuk terjadinya DBD; Besar risiko kejadian DBD yang melakukan mobilitas
minimal periode 2 minggu sebelum kejadian DBD lebih besar dibandingkan dengan
yang tidak melakukan mobilitas minimal periode 2 minggu sebelum kejadian DBD
(OR : 9,29, CI 95% : 1,08 hingga 80,15). Keberadaan saluran air hujan di
sekitar rumah bukan merupakan faktor risiko terjadinya DBD, dan 4). Kebiasaan
tinggal di dalam rumah pada pagi hari bukan merupakan faktor risiko terjadinya
DBD.
Rekomendasi
Diharapkan bagi masyarakat yang
mempunyai tempat perindukan nyamuk / kontainer >3 untuk selalu melakukan
kegiatan 3M Plus dan PSN secara rutin. Bagi instansi kesehatan diharapkan lebih
meningkatkan tindakan promotif dan preventif kepada masyarakat untuk mengatasi
masalah DBD. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk menentukan
faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kejadian DBD. Oleh karena hasil
penelitian ini hanya mampu menjelaskan bahwa sebesar 31% yang berhubungan
dengan kejadian DBD. Hal ini berarti sekitar 69% hubungan kejadian DBD dijelaskan
oleh variabel-variabel lain yang tidak diukur dan diteliti dalam penelitian
ini.
DAFTAR
PUSTAKA
Adbrite. 2007. Penyakit Berbasis
Lingkungan Penyebab Utama Kematian http://hameedfinder.blogspot.com/2007/12/penyakit-berbasis-lingkungan-penyebab.
html (diakses Januari 2008)
Depkes RI. 1992. Petunjuk Teknis
Penemuan, Pertolongan, dan Pelaporan Penderita Penyakit DBD. Dirjen
PPM dan PLP.
.
2004. Kajian Masalah Kesehatan : Demam Berdarah Dengue. Badan Penelitian
dan Pengembangan Kesehatan. Departemen Kesehatan RI. Jakarta

Dinkes
Jawa Tengah. 2003. Profil Kesehatan Jawa Tengah 2003. Dinas Kesehatan
Jawa Tengah
Ditjen
P2M&PLP. 2001. Petunjuk Teknis Pemberantasan Nyamuk Penular Penyakit
Demam Berdarah Dengue. Departemen Kesehatan RI. Jakarta
Hartanto,
D. 2007. Waspada Demam Berdarah. http://www.dinkespurworejo.go.id/
index.php? option=com_content&task=view&id=12&Itemid=3 (diakses
September 2009)
Hair,
J.F, Anderson, R.E, Tatham, R.L, dan Black, W.C. 1995. Multivariate Data
Analysis. New Jersey : Prentice Hall
I
N Gede Suyasa, N Adi Putra, dan I W Redi Aryanta,. 2006. Hubungan Faktor
Lingkungan dan Perilaku Masyarakat dengan Keberadaan Vektor Demam Berdarah
Dengue (DBD) di Wilayah Kerja Puskesmas I Denpasar Selatan. http://www.akademik.
unsri. ac.id/download/ journal/files /udejournal/ suyasa_pdf.pdf (diakses
September 2009)
Murti,
B. 1997. Prinsip dan Metode Riset Epidemiologi. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press
Murti,
B. 2003. Prinsip dan Metode Riset Epidemiologi. Yogyakarta : Gadjah mada
University Press

Eksplanasi Volume 5 Nomor 2 Edisi Oktober 2010
|
8
|

Sari,
Cut,I,N,. 2005. Pengaruh LingkunganTerhadap Perkembangan Penyakit Malaria
dan Demam Berdarah Dengue. http://www.rudyct.com/PPS702-ipb/09145/cut_
irsanya_ ns.pdf (daikses September 2009)
Siregar,
A. 2004. Epidemiologi dan Pemberantasan DBD di Indonesia. http://www. USUlibrary.ac.id
(Diakses September 2007)
Widjana,
D.P. 2003. Vektor Demam Berdarah Dengue. Denpasar : Bagian Parasitologi
FK Universitas Udayana
Eksplanasi Volume 5 Nomor 2 Edisi Oktober 2010
|
9
|


mari gabung bersama kami di Aj0QQ*c0M
ReplyDeleteBONUS CASHBACK 0.3% setiap senin
BONUS REFERAL 20% seumur hidup.