Friday, 5 January 2018

MAKALAH PERADILAN PADA MASA DINASTI UMAIYYAH DAN ABBASIYAH



DAN ABBASIYAH




 













Di  Ajukan  Untuk  Memenuhi  Salah Satu Tugas Pada
Mata Kuliah Sistem Peradilan Islam



Oleh:

MUHAMMAD AIDIL AKBAR
NIM : 01154240

LUKMAN
NIM : 01154233









SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
W A T A M P O N E

 
2017/2018

KATA PENGANTAR


Assalamualaikum Wr. Wb
Puji syukur kami penjatkan kehadirat Allah SWT, yang atas rahmat-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah yang berjudul “Sejarah Peradilan Pada Masa Dinasti Umayyah dan Abbasiyah”. Penulisan makalah ini merupakan salah satu tugas yang diberikan dalam mata kuliah Sejarah Peradilan Islam di Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Watampone.
Dalam Penulisan makalah ini penulis merasa masih banyak kekurangan baik pada teknis penulisan maupun materi, mengingat akan kemampuan yang kami miliki. Untuk itu, kritik dan saran dari semua pihak sangat kami harapkan demi penyempurnaan pembuatan makalah ini.
Dalam penulisan makalah ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada pihak-pihak yang membantu dalam menyelesaikan makalah ini, khususnya kepada Dosen kami yang telah memberikan tugas dan petunjuk kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan tugas ini.
Wassalamualaikum Wr. Wb


                                                                                Watampone, 29 Desember 2017

     Penyusun





DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR .............................................................................               i
DAFTAR ISI .............................................................................................               ii
BAB I..... PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang.....................................................................               1
B.       Rumusan Masalah.................................................................               3
C.       Tujuan Penulisan...................................................................               3
BAB II... PEMBAHASAN
A.       Peradilan di masa Bani Umayyah........................................               4
1.   Sekilas tentang  Sejarah Bani Umayah............................               4
2.   Ciri khas peradilan Islam di masa Bani Umayah.............               5
3.   Bentuk Peradilan.............................................................               6
4.   Para Pembantu Hakim.....................................................               9
5.   Pengawasan Dan Kontrol................................................               10
6.   Sumber-Sumber Keputusan Hukum Peradilan................               10
7.   Hakim-hakim yang terkenal.............................................               10       
B.       Peradilan di masa Bani Abbasiyah.......................................               12
1.   Sejarah Singkat Bani Abbasiyah......................................               12
2.   Ciri khas peradilan Islam di masa Bani Abbasiyah..........               13
3.   Awal mula Qadhi al-Qudha’ (Mahkamah Agung)..........               13
4.   Organisasi Kehakiman.....................................................               16
5.   Sumber hukum.................................................................               17
6.   Wilayah Al-Mazalim (penyelewengan dan penganiayaan)                         17
7.   Hakim Terkenal Pada Masa Abbasiyah...........................               19
BAB III.. PENUTUP
A.       Kesimpulan...........................................................................               21
B.       Saran.....................................................................................               21
DAFTAR PUSTAKA

BAB I
PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang
Dalam sistem ketatanegaraan Islam, dikenal beberapa badan kekuasaan negara, yaitu sulthah tanfiziyah (kekuasaan eksekutif), sulthah tasyri’iyyah (kekuasaan legislatif) dan sulthah qadhaiyyah. Namun demikian, ketiganya belum dipisahkan satu sama lainnya seperti halnya lembaga yang mandiri, dan bahkan dalam praktiknya cenderung dipegang oleh satu tangan, yakni penguasa atau pemerintah. Sulthah qadhaiyah sering disejajarkan dengan istilah kekuasaan kehakiman dalam tradisi Islam. Istilah ini diartikan sebagai kekuasaan untuk mengawasi dan menjamin jalannya proses perundang-undangan sejak penyusunannya sampai pelaksanaannya serta mengadili perkara perselisihan, baik yang menyangkut perkara perdata maupun pidana Sementara Tahir Azhari menyebutnya dengan istilah nomokrasi Islam, yakni suatu sistem pemerintahan yang didasarkan pada asas-asas dan kaidah-kaidah hukum Islam dan merupakan rule of Islamic law.[1]
Kehadiran lembaga yudikatif dalam sistem ketatanegaraan Islam merupakan sebuah keniscayaan dan menjadi syarat mutlak yang harus dipenuhi. Hal tersebut mengingat bahwa pemerintahan Islam yang dibangun Nabi Muhammad merupakan bentuk negara hukum, maka tegaknya keadilan merupakan suatu kewajiban yang harus diwujudkan dalam kehidupan bernegara. Melihat urgensi lembaga tersebut Muhammad Salam Madkur berpandangan bahwa keberadaan lembaga yudikatif dipandang sebagai lembaga yang suci, mengingat bahwa upaya menegakan peradilan juga dapat diartikan sebagai upaya memerintahkan kebaikan dan mencegah bahaya kedzaliman, menyampaikan hak kepada yang punya, mengusahakan islah diantara manusia, dan menyelamatkan manusia dari kesewenang-wenangan.[2]
Pada masa dinasti Umayyah, kekuasaan yudikatif semakin disempurna-kan, hanya saja tidak ada perubahan yang cukup signifikan terhadap pembaharuan  peradilan, sehingga tidak banyak informasi tentang peradilan yang didapatkan  pada masa itu. Pemerintahan Bani Umayyah lebih banyak disibukan dalam urusan politik kenegaraan, sehingga hampir segenap kekuasaan difokuskan pada upaya pembasmian terhadap para-para pemberontak dan penentang pemerintahan. Hasbi Asshiddiqie mencatat bahwa salah satu perkembangan yang dicapai Bani Umayyah dalam peradilan adalah sudah mulai dibukukannya putusan-putusan hakim. Demikian juga sidang-sidang sudah dilaksanakan digedung yang memang diperuntukan untuk proses peradilan.[3]
Pada masa Dinasti Abbasiyah umat Islam mengalami perkembangan  dalam berbagai bidang. Dinasti ini mengalami masa kejayaan intelektual, seperti  halnya dinasti lain dalam sejarah Islam, tidak lama setelah dinasti itu berdiri.  Kekhalifahan Baghdad mencapai masa kejayaannya antara khalifah ketiga, al- Mahdi (775-785 M), dan kesembilan, al-Wathiq (842-847 M), lebih khusus lagi  pada masa Harun al-Rasyid (786-809 M) dan al-Makmun (813-833 M), anaknya terutama, karena dua khalifah yang hebat itulah Dinasti Abbasiyah memiliki  kesan dalam ingatan publik, dan menjadi dinasti hebat dalam sejarah Islam dan diidentikkan dengan istilah “The Golden Age Of Islam”[4]
Kemajuan lain yang tak kala penting adalah dalam bidang peradilan di  mana pada masa Abbasiyah sistem administrasi peradilan pada masa ini sudah tersusun dengan rapi. Diferensiasi kemajuan institusi hukum dan sistem peradilan itu terletak pada pemisahan kekuasaan, lembaga peradilan yang dikepalai qadha al qadhi yang berkedudukan di ibukota, dengan kewenangan mengawasi para qadhi yang berkedudukan di daerah kekuasaan Islam.
Pada era ini perkembangan diberbagai bidang sangatlah maju, dan banyak permasalahan hukum yang sangat komplek sehingga penulis tertarik membahas bagaimana sistem peradilan Islam pada masa ini yang sangat berkembang pesat sekali. Pada masa Rasulullah adanya lembaga pengawasan terhadap peradilan. Rasulullah melakukan pengawasan serta evaluasi terhadap para sahabat yang ditunjuknya untuk menjalankan peradila. Jika putusan sahabat salah Nabi akan mengoreksinya. Namun pada masa Abbasiyah awalnya khalifah berusaha mengendalikan setiap putusan yang dijatuhkan oleh peradilan untuk maksud-maksud tertentu.
Munculnya kejumudan berfikir karena hilangnya semangat ijtihad. Ulama mengalami frigiditas (dingin, tidak sensitif) akibat kelesuhan berfikir sehingga tidak mampu menghadapi perkembangan zaman dengan mengguna-kan akal fikiran yang sehat dan merdeka sera bertanggung jawab. Pada makalah ini penulis membandingkan akan mendeskripsikan praktik peradilan era Umayyah dan Abbasiyah.

B.  Rumusan Masalah
1.    Bagaimana sejarah masa Pemerintahan Dinasti Umayyah dan Abbasiah?
2.    Bagaimana ciri khas peradilan pada masa Dinasti Umayyah dan Abbasiah?
3.    Apa saja landasan di masa Pemerintahan Dinasti Umayyah dan Abbasiah?
4.    Siapa saja Hakim-hakim yang terkenal dalam menyelesaikan masalah di masa Pemerintahan Dinasti Umayyah dan Abbasiah?

C.  Tujuan Penulisan
1.    Untuk mengetahui sejarah peradilan masa Pemerintahan Dinasti Umayyah dan Abbasiah.
2.    Untuk mengetahui ciri khas peradilan pada masa Dinasti Umayyah dan Abbasiah.
3.    Untuk mengetahui landasan di masa Pemerintahan Dinasti Umayyah dan Abbasiah.
4.    Untuk mengetahui Hakim-hakim yang terkenal dalam menyelesaikan masalah di masa Pemerintahan Dinasti Umayyah dan Abbasiah.


BAB II
PEMBAHASAN

A.  Peradilan di masa Bani Umayyah
1.    Sekilas tentang  Sejarah Bani Umayah
Sepeninggalan Ali Ibnu Abi Thalib, gubernur Syam tampil sebagai pengguasa Islam yang kuat. Masa kekuasaannya merupakan awal ke daulatan Bani Umaiyah. Muawiyah Ibn Abu Sufyan Ibn Harb adalah pembangun Dinasti Umaiyyah dan sekaligus menjadi khalifah. Ia memindahkan ibu kota kekuasaan Islam dari Kufah ke Damaskus.
Pada umumnya sejarawan memandang negatif terhadap Mu’awiyah. Keberhasilannya memperoleh legalitas atas kekuasaan dalam perang saudara (siffin) dicapai melalui cara arbitrasi yang curang. Lebih dari itu, Mu’awiyah juga di tuduh sebagai pengkhianat prinsip-prinsip demokrasi yang di ajarkan Islam, karena dialah yang mula-mula mengubah pimpinan negara dari seorang yang dipilih oleh rakyat menjadi kekuasaan raja yang di wariskan turun-temurun.
Mu’awiyah tumbuh sebagai pemimpin karier. Pengalaman politik telah memperkaya dirinya dengan kebijasanaan-kebijasanaan dalam memerintah, mulai dari menjadi salah seorang pemimpin pasukan dibawah pasukan komando panglima besar Abu Ubaidah Ibn Jarrah yang berhasil merebut negara Palestina, Suriah dan Mesir dari tanggan imperium romawi yang telah mengguasai ketiga daerah itu sejak tahun 63 SM. Lalu menjabat sebagai kepala wilayah di Syam yang dibawahi Suriah dan Palestina yang berkedudukan di Damaskus selama kira-kira 20 tahun semenjak diangkat oleh Khalifah Umar. Khalifah Usman telah menobatkannya sebagai ”amir al-bahr” yang memimpin armada besar dalam penyerbuan kekota konstantinopel walau gagal.[5]
Keberhasilan Mu’awiyah medirikan Dinasti Umaiyyah bukan hanya akibat dari kemenangan diplomasi di Siffin yang terbunuhnya khalifah Ali saja, dari sejarah semula gubernur Suriah itu memiliki ”basis rasional” yang solid bagi landasan pembangunan politiknya di masa depan. Petama adalah berupa dukungan yang kuat dari rakyat Suriah dan dari keluarga Bani Umaiyyah sendiri. Penduduk Suriah yang lama diperintahkan oleh Mu’awiyah mempunyai ketentaraan yang kokoh, terlatih dan disiplin di garis depan dalam peperangan melawan romawi. Mereka bersama-sama dengan kelompok bangsa karya Makkah dari keturunan Umaiyyah berada sepenuhnya di belakang Mu’awiyah dan memasukkannya sumber-sumber kekuatan yang tidak habis-habisnya, baik morenal, tenaga manusia maupun kekayaan. Negeri Suriah sendiri terkenal makmur dan menyimpan sumber alam yang berlimpah. Di tambah lagi bumi mesir yang berhasil dirampas, maka sumber-sumber kemakmuran dan suplai bertambah bagi Mu’awiyah.
Kedua, sebagai seorang administrator, Mu’awiyah sangat bijaksana dalam menempatkan para pembantunya pada jabatan-jabatan penting. Tiga orang patutlah mendapat perhatian khusus, yaitu ‘Amir Ibn As, Mugirah Ibn Syu’bah dan Ziyad Ibn Abihi. Ketiga pembantu ini dengan Mu’awiyah merupakan empat politikus yang sangat menggagumkan di kalangan muslimin arab.[6]
2.    Ciri khas peradilan Islam di masa Bani Umayah
Pada zaman Dinasti Umayah, al-qadha dikenal dengan al-Nizham al-Qadhaaiy (organisasi kehakiman), dimana kekuasaan pengadilan telah dipisahkan dari kekuasaan politik. ada dua ciri khas peradilan pada masa Bani Umayah, yaitu :[7]
a.    Hakim memutuskan perkara menurut hasil ijtihadnya sendiri, dalam hal-halyang tidak ada nash atau ijma’. Ketika itu mazhab belum lahir dan belum menjadi pengikat bagi putusan-putusan hakim. Para hakim pada masa itu berpedoman kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah.
b.    Lembaga peradilan pada masa itu belum dipengaruhi oleh penguasa. Hakim-hakim pada masa itu mempunyai hak otonom yang sempurna, tidak dipengaruhi oleh keinginan-keinginan penguasa. Putusan-putusan mereka tidak saja berlaku atas rakyat biasa, bahkan juga berlaku atas penguasa-penguasa sendiri. Dari sudut yang lain, Khalifah selalu mengawasi gerak-gerik hakim dan mencatat yang menyeleweng dari garis-garis yang sudah ditentukan.
Pada zaman Bani Umayah ini, pengangkatan qadhi-qadhi yang bertugas di ibukota pemerintahan adalah Khalifah, sementara qadhi yang bertugas di daerah diserahkan pengangkatannya kepada kepala daerah. Sedangkan wewenang seorang hakim hanyalah memutuskan hukum suatu perkara,namun yang melaksanakan hasil putusan tersebut adalah Khalifah atau orang yang diperintahkan untuk melaksanakannya. Contoh: Hakim memutuskan hukuan terdakwa adalah qishash, sementara yang menjalankan hukum qishash tersebut adalah Khalifah sendiri.[8]
Hukuman yang biasanya diputuskan dalam pengadilan pada masa ini adalah dalam bentuk denda, skorsing, penjara, pemotongan anggota tubuh dan dalam beberapa kasus khusus seperti bid’ah dan murtad hukuman mati menjadi hukuman final.
3.    Bentuk Peradilan
Adapun instansi dan tugas kekuasaan kehakiman dimasa Bani Umayah ini dapat dikategorikan menjadi tiga badan, yaitu:[9]
a.    al-Qadhaa’ merupakan tugas qadhi dalam menyelesaikan perkara-perkara yang berhubungan dengan agama. Disamping itu badan ini juga mengatur institusi wakaf, harta anak yatim, dan orang yang cacat mental.
b.    al-Hisbah merupakan tugas al-muhtasib (kepala hisbah) dalam menyelesaikan perkara-perkara umum dan soal-soal pidana yang memerlukan tindakan cepat. Selain itu al-muhtasib juga bertindak sebagai pengawas perdagangan dan pasar, memeriksa takarandan timbangan serta ikut mengawasi kasus-kasus perjudian, seks amoral, dan busana yang tidak layak di depan umum. Kewengangan wilayah hisbah sesungguhnya merupakan kewenangan untuk menyuruh berbuat baik dan melarang berbuat munkar, serta menjadikan kemaslahatan dalam masyarakat. Upaya ini digolongkan pada usaha untuk memberikan penekanana terhadap ketentuan-ketentuaun hukum agar dapat terealisasi dalam masyarakat secara maksimal. Disamping itu wilayah hisbah dapat memberikan tindakan secara langsung bagi pihak-pihak yang melakukan pelanggaran.
c.    al-Nadhar fi al-Mazhalim merupakan mahkamah tinggi atau mahkamah banding dari mahkamah di bawahnya (al-qadha dan al-Hisbah). Lembaga ini juga dapat mengadili para hakim dan pembesar Negara yang berbuat salah.
Dalam pengadilan kategori ini dalam melakukan sidangnya langsung dibawah pimpinan Khalifah. Sebagaimana Khalifah Abdul Malik bin Marwan yang pernah menjadi ketua mahkamah mazhalim dalam menjalankan tugasnya sebagai ketua mahkamah mazhalim saat itu Khalifah Abdul Malik bin Marwan dibantu oleh orang pejabat penting lainnya, yaitu:
a.    Pembela, kelompok ini dipilih dari orang-orang yang mampu mengalahkan pihak terdakwah yang menggunakan kekerasan atau melarikan diri dari pengejaran pengadilan.
b.    Hakim, hakim yang berprofesi sebagai penasihat bagi kepala mahkamah al-mazhalim, sehingga dengan berbagai cara, apa yang menjadi hak pihak yang teraniaya dapat dikembalikan. Kepada seluruh yang hadir dapat dijelaskan tentang kasus yang terjadi dengan sesungguhnya.
c.    Ahli fikih, sebagaitempat para hakim mahkamah al-mazhalim mengembalikan perkara syariah yang sulit menentukan hukumnya. Ada beberapa catatan pada peradilan di masa Umayah yang menggambarkan perlunya ahli fikih, yaitu: pertama, setiap kota memiliki kemampuan untuk berijtihad dalam mengistimbatkan hukum, mereka inilah yang dijadikan qadhi untuk menyelesaikan perkara yang masuk. Mereka ahli ijtihad dan bukan taqlid. Kedua,Qadha dan fatwa dipandang sederajad. Fatwa dalam periode ini sama dengan qadha; yaitu fatwa qadhi dipandang putusan. Fatwa yang dikeluarkan qadhi menjadi hukum. Ketiga, putusan seorang qadhi tidak bisa dibatalkan oleh keputusan qadhi yang lain. Karena ijtihad tidak bisa membatalkan ijtihad.
d.   Sekretaris, bertugas mencatat perkara yang diperselisihkan dan mencatat ketetapan apa yang menjadi hak dan kewajiban pihak-pihak yang berselisih.
e.    Saksi, bertugas memberian keasaksian terhadap ketetapan hukum yang disampaikan oleh hakim yang tidak bertentangan dengan nilai-nilai kebenaran dan keadilan. Suatu perkara yang diselesaikan melalui mahkamah mazhalim ini dinyatakan tidak sah, apabila salah satu unsur yang lima tersebut tidak hadir.[10]
Jadi, sistem peradilan pada masa Bani Umayah telah berjalan dengan detail dan kuatnya putusan yang diambil oleh hakim dalam menetapkan suatu perkara. Penilaian ini jika dirujuk dalam kitab fikih, maka dalam menetapkan suatu kasus harus ada hakim, hukum,mahkum bih, mahkum ‘alaih, mahkum lahu dan sumber hukum.
Salah satu kasus  yang pernah terjadi pada masa Dinasti Umayah adalah kasusnya Ibnu Futhais. Kasus ini terjadi pada masa kekhalifahan Al-Hakam bin Hisyam. Seorang qadhi yang bernama yang bernama Muhammad bin Basyir al-Mu’arifi menghukum Ibnun Futhais dengan tidak menghadirkan saksi. Ibnu Fathais ketika itu berpangkat wazir (menteri). Karena tidak menerima putusan tersebut Ibnu Fathais naik banding/mengajukan perkaranya ini kepada Khalifah dengan alasan dia telah dianiaya. Kemudian al-Hakam mengirim surat kepada Muhammad bin Basyir al-Mu’arifi dengan menerangkan keberatan Ibnu Futhais. Maka surat Khalifah dibalas oleh Muhammad bin Basyir al-Mu’arifi dengan mengatakan : “Ibnu Fathais tidak mengetahhui siapa-siapa yang menjadi saksi atas kasusnya, karena jika dia tahu siapa yang menjadi saksinya, maka dia akan mecari saksi tersebut dan tidak segan-segan menyakitinya”[11]
4.    Para Pembantu Hakim
Biasanya hakim membutuhkan orang-orang yang membantunya dalam proses peradilan dan pengambilan keputusan, ada penulis hakim atau penulis mahkamah atau penulis mahkamah atau penulis peneliti. Di zaman Bani Umayyah muncul pembantu-pembantu hakim menurut tuntutan kebutuhan, perkembangan hidup dan luasnya tugas-tugas hakim serta banyaknya perkara yang harus ditangani.
a.    Juru panggil
Dia adalah orang yang duduk di majelis hakim untuk menjelaskan kedudukan hakim dan mengenalkannya, dan memanggil pihak yang berperkara. Orang ini disebut dengan orang yang ada diatas kepala hakim atau pemilik majelis.
b.    Pengawal
Dia adalah petugas yang berdiri di pintu hakim untuk menahan orang-orang selama proses kajian terhadap perkara, menata masuknya orang-orang yang berseteru manakala mereka berdesak-desakan karena jumlah mereka yang banyak. Pengawal ini bisa sekaligus pemanggil yang berdiri dibelakang kepala hakim, dia bertugas menjalankan dua pekerjaan sekaligus, bisa jadi dia adalah petugas keamanan dari unsur tentara atau dia memang petugas keamanan peradilan. Hakim terkadang menugasinya untuk melakukan sebagian pekerjaan di mahkamah atau menunaikan sebagian tugas luar.
c.    Penerjemah
Para hakim mengangkat penerjemah karena banyaknya orang-orang bukan Arab yang masuk Islam. Orang-orang tersebut saling mengenal sebagian dengan sebagian yang lain. Jika terjadi perselisihanatau gugatan atau klaim, maka hakim meminta bantuan penerjemah yang tsiqah dan diterima untuk menerjemahkan bahasa pihak yang berseteru ke dalam bahasa Arab.
5.    Pengawasan Dan Kontrol
Sesungguhnya berlepasnya para khalifah dan para gubernur dan hanya membatasi pada pengangkatan dan pemakzulan, tidak menutup kemungkinan para penguasa itu tetap mengawasi tugas-tugas para hakim, menelaah keputusan-keputusan mereka, memonitor gugatan-gugatan dan keputusan-keputusan yang mereka tetapkan.karena khalifah adalah penanggung jawab terhadap peradilan dan segala perkara yang khusus bagi umat dan pribadi dalam mengelola Agama dan dunia. Menyerahkan peradilan kepada para hakim tidak membebaskan khalifah dari tanggung jawa dunia dan akhirat. Dari sini maka para khalifah mengawasi kerja para hakim, memonitor apa yang mereka putuskan, bila terjadi kekeliruan atau penyimpangan atau keteledoran, maka mereka segera meluruskannya dan mengoreksinya.
6.    Sumber-Sumber Keputusan Hukum Peradilan
Para hakim di zaman pemerintahan Bani Umayyah berpijak kepada apa yang dipijak oleg para hakim di zaman Khulafaurrasyidin, yaitu berpegang kepada Al-Qur’an, Hadits, ijma’, keputusan-keputusan hakim pendahulu, dan ijtihad dengan musyawarah.
7.    Hakim-hakim yang terkenal
Hakim-hakim yang terkenal pada masa ini cukup banyak yang tersebar di berbagai daerah, diantaranya adalah:[12]
a.    Al-Qadhi Suraih bin al-Harits al-Kindi
Suraih merupakan seorang qadhi yang cerdas dan cepat dalam menyelesaikan suatu perkara dengan tepat. Suraih juga adalah hakim yang berwibawa, karena beliau menyamaratakan antara rakyat dan penguasa dalam siding pengadilan. Seperti yang pernah ia lakukan kepada Asy’ats bin Qais yang datang menemuinya di pengadilan dan disambut ramah dan dipersilahkan duduk di sampingnya. Tidak lama kemudian datanglah seorang laki-laki yang mengadukan tentang Asy’ats bin Qais ini. Maka suraih memerintahkan kepada Asy’ats bin Qais untuk berdiri dari sampingnya dan duduk di tempat terdakwa, akan tetapi Asy’ats menolaknya dan mengatakan akan menjawab pertanyaan dari tempat duduk suraih saja. Lalu hakim menjawab: “kamu berdiri dari tempat duduk ini dan duduk ditempat di tempat terdakwa atau saya perintahkan orang lain menegakkan mu dan memaksamu pindah”. Mendengar hal ini Asy’ats bin Qais berdiri dan pindah ke tempat duduk terdakwa.
b.    Al-Qadhi Asisabi
Nama lengkapnya adalah Amir bin Surah bin asy-Sya’bi. Beliau merupakan seorang ulama tabi’in yang terkenal, lahir tahun 17 H. beliau adalah seoranghakim di Kufah menggantikan Suraih. Beliau juga banyak menerima hadits darin abu Hurairah, Ibnu Abbas, Aisyah, dan Ibnu Umar. Beliau juga adalah ahli fikih termasuk guru tertua Imam Abu Hanifah.
c.    Al-Qadhi Ijas
Nama lengkapnya adlah Abu Wailah Ijas bin Muawiyah bin Qurrah, merupakan qadhi dari Kahlifah Bani Umayah yang paling adil, cerdas, dan paling tepat firasatnya. Beliau hidup di masa pemerintahan Khalifah Umar bin Abdul Aziz.
d.   Salim bin Atas
Merupakan hakim di daerah Mesir yang terkenal piawai dalam menyelesaikan perkara-perkara dan dialah permulaan hakim yang mencatat putusannya, dan menyusun yurisprudensi pada masa pemerintahan Muawiyah.





B.  Peradilan di masa Bani Abbasiyah
1.    Sejarah Singkat Bani Abbasiyah
Dinasti Abbasiyah merupakan kelanjutan dari Dinasti Bani Umayyah. Dinamakan Abbasiyah karena pendiri Dinasti ini adalah keturunan dari al-Abbas.[13]
Sebelum runtuhnya Daulah umawiyah muncul gerakan Ahlul Bait. Ahlul bait itu gabungan gerakan Ahlu Syi‟ah dengan keturunan-keturunan Nabi.Dan mereka masih bersekutu karena Bani Umayyah itu bukan dari keturunan Sebelum runtuhnya Daulah umawiyah muncul gerakan Ahlul Bait. Ahlul bait itu gabungan gerakan Ahlu Syi‟ah dengan keturunan-keturunan Nabi. Dan mereka masih bersekutu karena Bani Umayyah itu bukan dari keturunan Nabi. Muawiyah dari Bait Umawi sementara Nabi dari Bait Hasyimi. Jadi ada dua keluarga besar, sebenarnya mereka bersaudara tapi mereka menjadi bersaing untuk memperebutkan kekuasaan di Mekkah. Bait Hasyimi keturunan-keturunannya nasabnya menyambung ke Nabi Muhammad SAW sedangkan Bait Umawi keturunan-keturunannya nasabnya bersambung ke Abu Sofyan kemudian Muawiyah. Bait Hasyimi di sebut dengan Ahlul Bait, karena dari keluarga merekalah muncul kenabian. Timbul pertanyaan mengapa Abu Sofyan tidak mau masuk Islam padahal sahabat-sahabat yang lain masuk Islam dan mengapa Muawiyah itu belum masuk Islam kecuali sampai Mekkah di taklukkan, karena mereka merasa gengsi dan sakit hati karena kenabian munculnya di Bait Hasyimi bukan dari Bait Umawi. Dan ketika Daulah Muawiyah ini mulai lemah akhirnya orang-orang Bait Hasyimi keturunan paman-paman Nabi bersekongkol untuk merebut kekuasaan.Semula yang menjadi calon Khalifah adalah orang‘ alawi orang-orang keturunan dari Ali bin Abi Thalib kemudian pindah kekuasaan dan kepemimpinannya ke keturunan Abbas paman Nabi. Daulah Abbasiyah tadinya gerakan bawah tanah kemudian setiap pemimpinnya yang wafat, ia menunjuk pengganti supaya menjadi penerusnya merebut kekuasaan dari Daulah Umawiyyah. Sebelumnya yang memimpin adalah orang-orang ‘alawi dari keturunannya Ali terus menerus, suatu ketika ia menunjuk penggantinya itu dari keturunan Abbas bukan keturunan Ali. Pada saat ia memimpin berkembanglah kekuasaannya. Kemudian Daulah umawi melemah dan beliau berhasil menguasai pos-pos penting akhirnya menang.12
Kekuasaan Bani Abbasiyah ini berlangsung dalam rentang waktu yang panjang dari tahun 132 H/ 750 M sampai 656 H/ 1258 M. Dinasti ini mampu bertahan lebih dari lima abad hingga datangnya serangan pasukan Mongol pada tahun 656/1258.[14]
2.    Ciri khas peradilan Islam di masa Bani Abbasiyah
Jika pada masa Khulafa’ al-rasyidin  dan Umayah Khalifah memegang kekuasaan yudikatif dan eksekutif, maka pada masa ini khalifah tidak lagi terlibat dalam urusan peradilan. Setiap perkara yang masuk ke pengadilan para hakim yang ditunjuk oleh khalifahlah yang akan mengusut perkara tersebut. Hal ini mengingat bahwa pada saat itu khalifah Abbasiyah sedang giat-giatnya memikirkan persoaan politik baik dalam negri maupun luar negri.
Putusan-putusan para qadhi pada masa ini dipengaruhi mazhab-mazhab yang telah muncul pada saat itu. Seorang qadhi di Irak memutuskan perkara yang berpedoman pada mazhab Syafi’i, di syam dan Maghribi hakim memutuskan perkara berdasarkan pada mazhab Maliki, dan di Mesir hakim memutuskan perkara berpedoman pada mazhab Syafi’i.[15]
3.    Awal mula Qadhi al-Qudha’ (Mahkamah Agung)
Pada saat kendali pemerintahan dipegang oleh Dinasti Abbasiyah , kemajuan peradaban telah semakin meluas. Agama islam telah berkembang ke berbagai daerah, para fuqaha’ telah berpencar ke berbagai negeri serta bermacam-macam kasus dan hal ihwal umat Islam telah banyak pula yang terjadi dan berkembang. Karena itu maka terjadiah perbedaan pendapat diantara ahli-ahli fiqh, sehingga muncullah istilahaat fiqhiyyah (istilah-istilah fiqh) yang melahirkan ulama-ulama fiqh dan mazhabnya.
Fokus perhatian ulama fikih dan mazhab pada masa ini adalah masalah kehakiman (peradilan). Diantaranya adalah:[16]
a.    Hukum membentuk lembaga peradilan dan mengangkat qadhi.
b.    Hukum mewilayahi peradilan (hak menjabat jabatan qadhi).
c.    Hukum berusaha supaya dijadikan qadhi dan mengendalikan kehakiman.
d.   Menentukan keahlian para qadhi.
e.    Menetapkan sifat-sifat qadhi.
f.     Pekerjaan-pekerjaan qadhi (keweajiban-kewajiban qadhi) dalam persidangan.
g.    Pengangan qadhi dalam menetapkan hukum.
h.    Masalah yang berkaitan dengan kehakiman dan qadhi (hakim).
Untuk menjadi hakim atau qadhi dalam Islam, ada beberapa syarat yang harus dimiliki, yaitu:[17]
a.    Memiliki sifat-sifat seperti yang digambarkan oleh Ali binAbi Thalib, yakni: tidak mempersempit perkataan, tidak memeperluas perselisihan, tidak larut dalam permasalahan, tidak berat kembali kepada kebenaran jika mengetahuinya, tidak mengarahkan dirinya kepada ketamakan, tidak menganggap cukup dengan pemahaman yang minimal dengan mengabaikan yang optimal, paling tegar sifatnya, paling bagus hujjahnya, paling sedikit kebosanannya dalam mengoreksi, paling sabar dalam memaparkan perkara, paling tegas ketika menjelaskan keputusan, bukan orangmudah tertarik sanjungan dan tiadak condong kepada permusuhan. Selanjutnya amat cermat dalam mengambil keputusan, senang menginfakkan hartana dijalan Allah SWT sehingga terhindar dari penyakit butuh pemberian manusia.
b.    Memiliki sifat tegar, bersih, iffah (menghindari syubhat), santun, dan mengetahui peradilan dan tradisi yang telah berlaku sebelumnya.
Sementara itu dalam pandangan fikih Islam secara umum, hakim mesti memeiliki sifat-sifat: pertama, harus orang dewasa; kedua, seorang yang berakat; ketiga, muslim; keempat, adil yaitu benar sikapnya, jelas amanatnya, menjaga diri dari hal-hal yng haram, dan amandari ridha ketika marah; kelima,mengetahui hukum-hukum syariah, baik dasar-dasar syariah maupun cabang-cabangnya; keenam, sehat pendengaran, penglihatan dan ucapan.
Pada masa pemerintahan Abbasiyah, qadhi diangkat oleh Khalifah dari kalangan ulama yang memiliki sifat-sifat sebagaimana digambarkan di atas dengan gelar qadhi al-qudha’. Orang yang pertama menjabat dan mendapat sebutan ini adalah Abu Yusuf, seorang murid yang  juga sahabat dari Imam Abu Hanifah.[18]
Secara umum kewenangan badan-badan peradilan yang berada dibawah naungan Mahkamah Agung sebagai kekuasaan yudikatif adalah:[19]
a.    Al-Qadha’
Al-Qadha’ adalah lembaga yang berfungsi member penerangan dan pembinaan hukum, menyelesaikan perkara sengketa, perselisihan dan maslah wakaf. Lembaga ini telah dirintis sejak zaman Rasulallah Saw., dan disempurnakan pada msa sesudahnya, terutama Dinasti Umayah dan Abbasiyah. Pada masa Dinasti Abbasiyah setiap perkara diselesaikan dengan berpedoman pada mazhab masing-masing yang dianut oleh masyarakat.
b.    Al-Hisbah
Al-Hisbah adalah salah satu badan pelaksana kekusasaan kehakiman dalam Islam yang bertugas untuk menegakkan kebaikan dan mencegah kezaliman. Pejabat yang Hisbah disebut muhtasib. Tugasnya menangani kasus kriminal yang penyelesaiannya perlu segera, mengawasi hukum, menhatur ketertiban umum, mencegah terjadinya pelanggaran hak tetangga serta menghukum orang yang mempermainkan hukum syara’.
c.    Al-Mazhalim
Al-Mazhalim adalah salah satu komponen peradilan yang berdiri sendiri dan merupakan peradilan untuk mengurusi penyelesaian erkara perselisihan yang terjadi antara rakyat dan negara. Selain itu ia juaga menangani menangani kasus-kasus penganiayaan yang dilakukan oeh pejabat tinggi, bangsawan, hartawan, atau keluarga sultan terhadap rakyat biasa. Secara operasional qadhi al-mazhalim bertugas menyelesaikan masalah yang tidak dapat diputuskan oleh diwan al-qadha’ dan diwan al-muhtasib, serta meninjau kembali putusan yang dibuat oleh kedua hakim tersebut atau menyelesaikan perkara banding.
d.   Al-Mahkamah Al-‘Askariyah
Selain tiga peradilan diatas, pada masa pemerintahan Bani Abbasiyah juga dibentuk mahkamah/peradilan militer (al-Mahkamah al-Askariyah) dengan hakimnya adalah qadhi al-‘askar atau qadhi al-jund. Posisi ini sudah ada sejak zaman sultan Shalahuddin Yusuf bin Ayub. Tugasnya adalah menghadiri sidang-sidang di Dar al-Adl, terutama ketika persidangan tersebut menyangkut anggota militer atau tentara.
4.    Organisasi Kehakiman
Perubahan lain yang terjadi pada masa Daulah Abbasiyah adalah para hakim tidak lgi berijtihad dalam memutuskan perkara, tetapi mereka berpedoman pada kitab-kitab mazhab yang empat atau mazhab lainnya. Dengan demikian, syarat hakim harus mujtahid sudah ditiadakan. Kemudian oragnisasi kehakiman juga mengalami perubahan, antara lain telah diadakan jabatan penuntut umum (kejaksaan) disamping telah dibentuk instansi diwan qadhi al-qudhah, sebagai berikut:[20]
a.    Diwan Qadhi al-Qudhah (fungsi dan tugasnya mirip dengan Departemen Kehakiman) yang dipimpin oleh qadhi al-qudha’ (ketua Mahkamah Agung). Semua badan-badan pengadilan dan badan-badan lain yang ada hubungannya dengan kehakiman berada dibawah diwan qadhi al-qudhah
b.    Qudhah al-Aqaali (hakim provinsi yang menegetuai Pengadilan Tinggi).
c.    Qudhah al-Amsaar (hakim kota yang mengetuai Pengadilan Negeri; al-Qadhau atau al-Hisbah).
d.   Al-sulthah al-Qadhaiyah, yaitu jabatan kejaksaan di ibukota negara dipimpin oleh al-Mudda’il Ummy (Jaksa Agung), dan tiap-tiap kota oleh Naib Ummy (jaksa).
5.    Sumber hukum
Jika pada masa Nabi Muhammad SAW. Perkata itu dengan mudah bisa diputuskan oleh beliau karena memang sumber hukum berasal dari beliau, baik Al-Qur’an maupun Hadits, maka pada masa Dinasti Abbasiyah sumber hukum lebih bervariasi. Disampin al-Qur’an dan Hadits, sumber hukum yang banyak digunakan oleh hakim kala itu adalah Yurisprudensi atau Preseden hukum yang ditinggalkan oleh hakim-hakim sebelumnya, yaitu putusan-putusan yang ditinggalkan oleh hakim-hakim Umayah yang dijadikan rujukan oleh hakim-hakim Abbasiyah.
Disamping itu, perkembangan pemikiran hukum yang digagas oleh para imam mazhab, semakin memperkuat rujukan hakim dalam memeriksa dan memutuskan perkara di sidang-sidang pengadilan yang mereka jalani.[21]
6.    Wilayah Al-Mazalim (penyelewengan dan penganiayaan)
Lebaga ini dipisahkan dari wilayah peradilan. Awalnya, penanganan masalah segala bentuk penyelewengan dan penganiayaan yang dilakukan oleh lembaga pemerintah yang masuk perkara al-mazalim waktu itu ditangani langsung oleh khalifah. Ketika dinasti Abbasiyah muncul, pada mulanya lembaga tersebut dipegang langsung oleh khalifah. Tapi kemudian khalifah menunjuk seorang wakil yang disebut Qadi al-Mazalim atau Sahib al-Mazalim.
Kedudukan badan ini lebih tinggi dari pada al-qadha dan al-hisbat, karena disini qadhi al-madhalim bertugas menyelesaikan perkara yang tidak dapat diputuskan oleh qadhi dan muhtasib, meninjau kembali beberapa putusan yang dibuat oleh kedua hakim tersebut, atau menyelesaikan perkara banding.  Dapat dikatakan pula bahwa lembaga ini memeriksa perkara-perkara yang tidak masuk ke dalam wewenang hakim biasa. Yaitu, memeriksa perkara-perkara penganiayaan yang dilakukan oleh  para  penguasa dan hakim ataupun anak-anak dari orang yang berkuasa. Sebahagian dari perkara-perkara yang diperiksa dalam lembaga ini adalah perkara-perkara yang diajukan oleh seseorang yang teraniaya.
Badan ini memiliki mahkamat al-madhalim. Sidangnya selalu dihadiri oleh lima unsur sebagai anggota sidang:
a.    Para pembela dan pembantu sebagai juri yang berusaha sekuat tenaga meluruskan penyimpangan-penyimpangan hukum.
b.    Para hakim yang mempertahankan wibawa hukum dan mengembalikan hak kepada  yang berhak.
c.    Para fuqaha’ tempat rujukan qadhi al-madhalim bila menghadapi kesulitan dalam menyelesaikan masalah yang musykil dari hukum syari’at.
d.   Para katib yang mencatat pertanyaan-pertanyaan dalam sidang dan keputusan sidang
e.    Para saksi memberi kesaksian pada masalah yang diperkarakan dan menyaksikan bahwa keputusan yang diambil hakim adalah benar dan adil.
Pemegang jabatan ini sendiri tidak mesti seorang hakim, memang hakim lebih didahulukan karena pemahamannya terhadap masalah-masalah yang berkaitan dengan hukum. Namun khalifah seringkali menunjuk pejabat lain yang lebih berwibawa, amanah, dan mampu memberikan perlindungan terhadap masyarakat sehingga kebobrokan dalam tubuh negara bisa dihentikan. Karena itu pejabat lembaga ini kadang kala adalah seorang menteri peperangan. Selain itu, tugas Nazar al-Mazalim adalah:[22]
a.    Mengawasi penegakan hukum yang dijalankan oleh khalifah/wali terhadap warga negara, pegawai perpajakan/departemen tertentu, jika mereka menyalahgunakan wewenangnya.
b.    Mengawasi terhadap distribusi bantuan pemerintah terhadap orang miskin dari pengurangan, keterlambatan atau mungkin tidak sampainya bantuan tersebut.
c.    Membantu qadhi melaksanakan keputusan-keputusan yang dibuat di pengadilan.
d.   Mengawasi atau menjaga keberlangsungan praktik-praktik ibadah dan akhirnya mengembalikan barang hasil curian pada orang yang berhak.
Pada masa Abbasiyah juga ditentukan syarat-syarat qadhi al-mazalim yang menangani persoalan al-siyasat al-syari’at. Adapun para ahli dibidang itu mengemukakan syarat-syarat qadhi al-mazalim sebagai berikut:
a.    Berkemampuan tinggi (jalil al-qadr).
b.    Berkemampuan melaksanakan keputusan (nafiz al-amr).
c.    Memiliki wibawah dan pengaruh besar (‘azhim al-haibat).
d.   Terkenal bersih dan lurus (zhahir al-iffat).
e.    Tidak serakah (qalil al-thama’).
f.     Sangat wara’.
Beberapa qadhi yang terkenal pada masa Abbasiyah adalah sebagai berikut:
a.    Abu Yusuf , Ya’kub bin Ibrahim (lahir tahun 131 H/731 M-wafat tahun 182 H/789 M) beliau adalah qadhi al-qadha’ Harun al-Rasyid.
b.    Yahya bin Aksam (lahir tahum 159 H/755 M-wafat tahun 242 H/857 M) beliau adalah qadhi al-qudha al-makmun.
c.    Ahmad bin Abu Daud (lahir tahun 160 H/777 M-wafat tahun 240 H/854 M) beliau adalah qadhi al-Musta’sim.
d.   Sahnun al-Maliki (lahir 160 H/777 M-wafat tahun 240H/854 M) beliau adalah qadhi Maghrib.
e.    Al-‘Izz bin Abd. Al-Salam (lahir tahun 578 H/1181 M-wafat tahun 660 H/1262 M) beliau adalah qadhi Mesir.
f.     Ibnu Khillikaan (lahir tahun 608 H/1211 M-wafat tahun 660 H/1282 M) beliau adalah qadhi Damaskus.
g.    Ibnu Daqiqi ‘led (lahir tahun 625 H/1228 M-wafat tahun 702 H/1302 M) beliau adalah qadhi Mesir dan Sha’id.
Inilah sebagian dari qadhi-qadhi besar yang banyak mendapat perhatian umum terkenal dalam masyarakat fiqih dan dipandang sebagai pembimbing ilmu al-furu’ dalam periode kedua dari Bani Abbasiyah.[23]
Disamping qadhi-qadhi yang disebutkan di atas, masih terdapat beberapa orang qadhi yang dikenal pernah menjabat pada masa Abbasiyah, yaitu:
a.    Al-Harits bin Miskin, salah seorang murid kenamaan imam malik sebagai hakim agung di Mesir, yang diangkat oleh khalifah al-Mutawakkil al ‘ala allah (232 H-247 H), menggantikan seorang hakim agung bernama abu bakir bin al-laits.
b.    Ibnu abi syiawarib, menjabat sebagai hakim pada masa ke khalifahan al-mu’taz billah, Muhammad (252 H-255 H).
c.    Pada masa ke khalifahan al qohir billah, abu manshur (320 H-322 H) dikenal beberapa orang hakim, abu al-hasan (hakim) abu umar, al hasan bin abdulloh, ibnu abu al-syawarib dan abu tholib bin al bahlul.
d.   Abu al hasan Muhammad bin ummu syaiba al hasyimi diangkat sebagai hakim agung pada 363 H,  oleh khalifah al muthi’ lillah, abu al qosim (334 H-363 H).
e.    Al syarif abu ahmad al husain bin musa al-musawi pada 394 H, ditugaskan oleh baha’ al daulah (gelar bagi abu nashr) untuk menjabat jabatan di pengadilan dalam masalah masalah haji, tindakan kedholiman dan pengaduan pengaduan orang yang menuntut pada masa ke khalifahan al qadir billah, abu al abbas (381 H-422 H).
f.     Abu thahir bin al karkhi, seorang hakim wilayah mushil  menjabat pada masa ke khalifahan al rasyid billah (529 H-530 H).[24]
BAB III
PENUTUP

A.  Kesimpulan
Dari uraian di atas dapat penulis ambil kesimpulan bahwa pada masa kekuasaan Bana Umayyah, ketatalaksanaan peradilan makin disempurnakan, badan peradilan mulai berkembang menjadi lembaga yang mandiri dan terpisah dari kekuasaan politik. Pada masa Bani Umayyah belum ada hakim yang khusus yang memutuskan perkara pidana dan hukuman penjara karena kekuasaan ini dipegang oleh Khalifah sendiri. Ciri-ciri menonjol peradilan pada masa Bani Umayyah, yaitu : Pertama, Hakim memutuskan perkara menurut hasil ijtihadnya sendiri, Kedua, Lembaga peradilan pada masa itu belum lagi dipengaruhi oleh penguasa. Putusan-putusan hakim pada masa mulai disususun dan dibukukan meskipun belum sempurna.
Peradilan pada masa Bani Abbasiyah sesungguhnya meneruskan tradisi dan kebijakan yang telah dijalankan oleh Bani Umayyah. Pada masa ini khalifah tidak lagi terlibat dalam urusan peradilan, akan tetapi hakim yang ditunjuk oleh khalifahlah yang akan mengusut perkara tersebut. Instansi diwan qadhi al-qudhah beserta penuntut umum (kejaksaan) disamping telah dibentuk. Disamping al-Qur’an dan Hadits, yang menjadi sumber hukum kala itu adalah Yurisprudensi atau Preseden hukum yang ditinggalkan oleh hakim-hakim sebelumnya dan putusan-putusan para qadhi pada masa ini juga dipengaruhi mazhab-mazhab yang telah muncul pada saat itu.

B.  Saran
Demikian makalah ini kami susun. Apabila terdapat kekurangan dan kesalahan dalam penulisan maupun pembahasannya kami mohon maaf serta tetap mengharapkan saran dan kritik yang konstruktif, meskipun sudah dilakukan upaya revisi. Semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua. Amin!
DAFTAR PUSTAKA


Ali Mufrodi, Islam Dikawasan kebudayaan Arab, Jakarta: Perpustakan Nasional, 1997.

Ash Shiddieqy , Teungku Muhammad Hasbi. Peradilan dan Hukum Acara Islam. Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra. 2001

Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam: Dirasah Islamiyah II, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2000.

Cyril Glasse, Ensiklopedia Islam (ringkas). Penerjemah Ghufron A. Mas‟adi. Cet. 2. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1999.

Jaenal Aripin, Peradilan Agama dalam Bingkai Reformasi Hukum di Indonesia, Jakarta : Kencana Prenada   Media Group, 2008.

Koto, Alaidin. Sejarah Peradilan Islam. Jakarta: PT. Grafindo. 2011.

Muhammad Salam Madkur, Peradilan Dalam Islam, terj. Imron AM, (Surabaya : PT. Bina Ilmu, 1993.

Teungku Muhammad Hasbi ash Shiddieqy, Peradilan dan Hukum Acara Islam, Semarang, PT. Pustaka Rizki Putra, 2001.





No comments:

Post a Comment

MAKALAHKU

MAKALAH TATANIAGA HASIL PERIKANAN

Tugas Individu MAKALAH TATANIAGA HASIL PERIKANAN Oleh ASRIANI 213095 2006 SEKOLAH TINGGI ILMU P...