DAN
ABBASIYAH
![]() |
Di
Ajukan Untuk Memenuhi
Salah Satu Tugas Pada
Mata Kuliah Sistem Peradilan Islam
Oleh:
MUHAMMAD AIDIL AKBAR
NIM
: 01154240
LUKMAN
NIM
: 01154233
SEKOLAH
TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
W
A T A M P O N E
|
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum
Wr. Wb
Puji syukur kami penjatkan kehadirat Allah SWT, yang atas rahmat-Nya
sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah yang berjudul “Sejarah
Peradilan Pada Masa Dinasti Umayyah dan Abbasiyah”. Penulisan makalah ini
merupakan salah satu tugas yang diberikan dalam mata kuliah Sejarah
Peradilan Islam di Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Watampone.
Dalam Penulisan makalah ini penulis merasa masih banyak kekurangan baik
pada teknis penulisan maupun materi, mengingat akan kemampuan yang kami miliki.
Untuk itu, kritik dan saran dari semua pihak sangat kami harapkan demi
penyempurnaan pembuatan makalah ini.
Dalam penulisan makalah ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih
yang sebesar-besarnya kepada pihak-pihak yang membantu dalam menyelesaikan
makalah ini, khususnya kepada Dosen kami yang telah memberikan tugas dan
petunjuk kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan tugas ini.
Wassalamualaikum Wr. Wb
Watampone, 29 Desember 2017
Penyusun
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR ............................................................................. i
DAFTAR ISI ............................................................................................. ii
BAB I..... PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang..................................................................... 1
B.
Rumusan Masalah................................................................. 3
C.
Tujuan Penulisan................................................................... 3
BAB II... PEMBAHASAN
A.
Peradilan di masa Bani Umayyah........................................ 4
1.
Sekilas tentang Sejarah Bani
Umayah............................ 4
2.
Ciri khas peradilan Islam di masa Bani Umayah............. 5
3.
Bentuk Peradilan............................................................. 6
4.
Para Pembantu Hakim..................................................... 9
5.
Pengawasan Dan
Kontrol................................................ 10
6.
Sumber-Sumber
Keputusan Hukum Peradilan................ 10
7.
Hakim-hakim yang terkenal............................................. 10
B.
Peradilan di masa Bani Abbasiyah....................................... 12
1.
Sejarah Singkat Bani Abbasiyah...................................... 12
2.
Ciri khas peradilan Islam di masa Bani Abbasiyah.......... 13
3.
Awal mula Qadhi al-Qudha’ (Mahkamah Agung).......... 13
4.
Organisasi Kehakiman..................................................... 16
5.
Sumber hukum................................................................. 17
BAB III.. PENUTUP
A.
Kesimpulan........................................................................... 21
B.
Saran..................................................................................... 21
DAFTAR PUSTAKA
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam
sistem ketatanegaraan Islam, dikenal beberapa badan kekuasaan negara, yaitu
sulthah tanfiziyah (kekuasaan eksekutif), sulthah tasyri’iyyah (kekuasaan
legislatif) dan sulthah qadhaiyyah. Namun demikian, ketiganya belum dipisahkan
satu sama lainnya seperti halnya lembaga yang mandiri, dan bahkan dalam
praktiknya cenderung dipegang oleh satu tangan, yakni penguasa atau pemerintah.
Sulthah qadhaiyah sering disejajarkan dengan istilah kekuasaan kehakiman dalam
tradisi Islam. Istilah ini diartikan sebagai kekuasaan untuk mengawasi dan
menjamin jalannya proses perundang-undangan sejak penyusunannya sampai
pelaksanaannya serta mengadili perkara perselisihan, baik yang menyangkut
perkara perdata maupun pidana Sementara Tahir Azhari menyebutnya dengan istilah
nomokrasi Islam, yakni suatu sistem pemerintahan yang didasarkan pada asas-asas
dan kaidah-kaidah hukum Islam dan merupakan rule
of Islamic law.[1]
Kehadiran
lembaga yudikatif dalam sistem ketatanegaraan Islam merupakan sebuah
keniscayaan dan menjadi syarat mutlak yang harus dipenuhi. Hal tersebut
mengingat bahwa pemerintahan Islam yang dibangun Nabi Muhammad merupakan bentuk
negara hukum, maka tegaknya keadilan merupakan suatu kewajiban yang harus
diwujudkan dalam kehidupan bernegara. Melihat urgensi lembaga tersebut Muhammad
Salam Madkur berpandangan bahwa keberadaan lembaga yudikatif dipandang sebagai
lembaga yang suci, mengingat bahwa upaya menegakan peradilan juga dapat
diartikan sebagai upaya memerintahkan kebaikan dan mencegah bahaya kedzaliman,
menyampaikan hak kepada yang punya, mengusahakan islah diantara manusia, dan
menyelamatkan manusia dari kesewenang-wenangan.[2]
Pada
masa dinasti Umayyah, kekuasaan yudikatif semakin disempurna-kan, hanya saja
tidak ada perubahan yang cukup signifikan terhadap pembaharuan peradilan, sehingga tidak banyak informasi
tentang peradilan yang didapatkan pada
masa itu. Pemerintahan Bani Umayyah lebih banyak disibukan dalam urusan politik
kenegaraan, sehingga hampir segenap kekuasaan difokuskan pada upaya pembasmian
terhadap para-para pemberontak dan penentang pemerintahan. Hasbi Asshiddiqie
mencatat bahwa salah satu perkembangan yang dicapai Bani Umayyah dalam peradilan
adalah sudah mulai dibukukannya putusan-putusan hakim. Demikian juga sidang-sidang
sudah dilaksanakan digedung yang memang diperuntukan untuk proses peradilan.[3]
Pada
masa Dinasti Abbasiyah umat Islam mengalami perkembangan dalam berbagai bidang. Dinasti ini mengalami
masa kejayaan intelektual, seperti halnya
dinasti lain dalam sejarah Islam, tidak lama setelah dinasti itu berdiri. Kekhalifahan Baghdad mencapai masa kejayaannya
antara khalifah ketiga, al- Mahdi (775-785 M), dan kesembilan, al-Wathiq
(842-847 M), lebih khusus lagi pada masa
Harun al-Rasyid (786-809 M) dan al-Makmun (813-833 M), anaknya terutama, karena
dua khalifah yang hebat itulah Dinasti Abbasiyah memiliki kesan dalam ingatan publik, dan menjadi
dinasti hebat dalam sejarah Islam dan diidentikkan dengan istilah “The Golden Age Of Islam”[4]
Kemajuan
lain yang tak kala penting adalah dalam bidang peradilan di mana pada masa Abbasiyah sistem administrasi
peradilan pada masa ini sudah tersusun dengan rapi. Diferensiasi kemajuan
institusi hukum dan sistem peradilan itu terletak pada pemisahan kekuasaan,
lembaga peradilan yang dikepalai qadha al qadhi yang berkedudukan di ibukota,
dengan kewenangan mengawasi para qadhi yang berkedudukan di daerah kekuasaan
Islam.
Pada
era ini perkembangan diberbagai bidang sangatlah maju, dan banyak permasalahan
hukum yang sangat komplek sehingga penulis tertarik membahas bagaimana sistem
peradilan Islam pada masa ini yang sangat berkembang pesat sekali. Pada masa
Rasulullah adanya lembaga pengawasan terhadap peradilan. Rasulullah melakukan
pengawasan serta evaluasi terhadap para sahabat yang ditunjuknya untuk
menjalankan peradila. Jika putusan sahabat salah Nabi akan mengoreksinya. Namun
pada masa Abbasiyah awalnya khalifah berusaha mengendalikan setiap putusan yang
dijatuhkan oleh peradilan untuk maksud-maksud tertentu.
Munculnya
kejumudan berfikir karena hilangnya semangat ijtihad. Ulama mengalami
frigiditas (dingin, tidak sensitif) akibat kelesuhan berfikir sehingga tidak mampu
menghadapi perkembangan zaman dengan mengguna-kan akal fikiran yang sehat dan
merdeka sera bertanggung jawab. Pada makalah ini penulis membandingkan akan mendeskripsikan
praktik peradilan era Umayyah dan Abbasiyah.
B. Rumusan Masalah
1.
Bagaimana
sejarah masa Pemerintahan Dinasti Umayyah dan Abbasiah?
2.
Bagaimana
ciri khas peradilan pada masa Dinasti Umayyah dan Abbasiah?
3.
Apa
saja landasan di masa Pemerintahan Dinasti Umayyah dan Abbasiah?
4.
Siapa
saja Hakim-hakim yang terkenal dalam menyelesaikan masalah di masa Pemerintahan
Dinasti Umayyah dan Abbasiah?
C. Tujuan Penulisan
1.
Untuk
mengetahui sejarah peradilan masa Pemerintahan Dinasti Umayyah dan Abbasiah.
2.
Untuk
mengetahui ciri khas peradilan pada masa Dinasti Umayyah dan Abbasiah.
3.
Untuk
mengetahui landasan di masa Pemerintahan Dinasti Umayyah dan Abbasiah.
4.
Untuk
mengetahui Hakim-hakim yang terkenal dalam menyelesaikan masalah di masa
Pemerintahan Dinasti Umayyah dan Abbasiah.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Peradilan di masa Bani Umayyah
1.
Sekilas tentang Sejarah Bani Umayah
Sepeninggalan
Ali Ibnu Abi Thalib, gubernur Syam tampil sebagai pengguasa Islam yang kuat.
Masa kekuasaannya merupakan awal ke daulatan Bani Umaiyah. Muawiyah Ibn Abu
Sufyan Ibn Harb adalah pembangun Dinasti Umaiyyah dan sekaligus menjadi
khalifah. Ia memindahkan ibu kota kekuasaan Islam dari Kufah ke Damaskus.
Pada
umumnya sejarawan memandang negatif terhadap Mu’awiyah. Keberhasilannya
memperoleh legalitas atas kekuasaan dalam perang saudara (siffin) dicapai
melalui cara arbitrasi yang curang. Lebih dari itu, Mu’awiyah juga di tuduh
sebagai pengkhianat prinsip-prinsip demokrasi yang di ajarkan Islam, karena
dialah yang mula-mula mengubah pimpinan negara dari seorang yang dipilih oleh
rakyat menjadi kekuasaan raja yang di wariskan turun-temurun.
Mu’awiyah
tumbuh sebagai pemimpin karier. Pengalaman politik telah memperkaya dirinya
dengan kebijasanaan-kebijasanaan dalam memerintah, mulai dari menjadi salah
seorang pemimpin pasukan dibawah pasukan komando panglima besar Abu Ubaidah Ibn
Jarrah yang berhasil merebut negara Palestina, Suriah dan Mesir dari tanggan
imperium romawi yang telah mengguasai ketiga daerah itu sejak tahun 63 SM. Lalu
menjabat sebagai kepala wilayah di Syam yang dibawahi Suriah dan Palestina yang
berkedudukan di Damaskus selama kira-kira 20 tahun semenjak diangkat oleh
Khalifah Umar. Khalifah Usman telah menobatkannya sebagai ”amir al-bahr” yang
memimpin armada besar dalam penyerbuan kekota konstantinopel walau gagal.[5]
Keberhasilan
Mu’awiyah medirikan Dinasti Umaiyyah bukan hanya akibat dari kemenangan
diplomasi di Siffin yang terbunuhnya khalifah Ali saja, dari sejarah semula
gubernur Suriah itu memiliki ”basis rasional” yang solid bagi landasan
pembangunan politiknya di masa depan. Petama adalah berupa dukungan yang kuat
dari rakyat Suriah dan dari keluarga Bani Umaiyyah sendiri. Penduduk Suriah
yang lama diperintahkan oleh Mu’awiyah mempunyai ketentaraan yang kokoh,
terlatih dan disiplin di garis depan dalam peperangan melawan romawi. Mereka
bersama-sama dengan kelompok bangsa karya Makkah dari keturunan Umaiyyah berada
sepenuhnya di belakang Mu’awiyah dan memasukkannya sumber-sumber kekuatan yang
tidak habis-habisnya, baik morenal, tenaga manusia maupun kekayaan. Negeri
Suriah sendiri terkenal makmur dan menyimpan sumber alam yang berlimpah. Di
tambah lagi bumi mesir yang berhasil dirampas, maka sumber-sumber kemakmuran
dan suplai bertambah bagi Mu’awiyah.
Kedua,
sebagai seorang administrator, Mu’awiyah sangat bijaksana dalam menempatkan
para pembantunya pada jabatan-jabatan penting. Tiga orang patutlah mendapat
perhatian khusus, yaitu ‘Amir Ibn As, Mugirah Ibn Syu’bah dan Ziyad Ibn Abihi.
Ketiga pembantu ini dengan Mu’awiyah merupakan empat politikus yang sangat
menggagumkan di kalangan muslimin arab.[6]
2.
Ciri khas peradilan
Islam di masa Bani Umayah
Pada
zaman Dinasti Umayah, al-qadha
dikenal dengan al-Nizham al-Qadhaaiy
(organisasi kehakiman), dimana kekuasaan pengadilan telah dipisahkan dari
kekuasaan politik. ada dua ciri khas peradilan pada masa Bani Umayah, yaitu :[7]
a. Hakim memutuskan perkara menurut hasil ijtihadnya
sendiri, dalam hal-halyang tidak ada nash
atau ijma’. Ketika itu mazhab belum lahir dan belum menjadi pengikat bagi
putusan-putusan hakim. Para hakim pada masa itu berpedoman kepada Al-Qur’an dan
As-Sunnah.
b. Lembaga peradilan pada masa itu belum dipengaruhi oleh
penguasa. Hakim-hakim pada masa itu mempunyai hak otonom yang sempurna, tidak
dipengaruhi oleh keinginan-keinginan penguasa. Putusan-putusan mereka tidak
saja berlaku atas rakyat biasa, bahkan juga berlaku atas penguasa-penguasa
sendiri. Dari sudut yang lain, Khalifah selalu mengawasi gerak-gerik hakim dan
mencatat yang menyeleweng dari garis-garis yang sudah ditentukan.
Pada zaman Bani Umayah ini,
pengangkatan qadhi-qadhi yang
bertugas di ibukota pemerintahan adalah Khalifah, sementara qadhi yang bertugas di daerah diserahkan
pengangkatannya kepada kepala daerah. Sedangkan wewenang seorang hakim hanyalah
memutuskan hukum suatu perkara,namun yang melaksanakan hasil putusan tersebut
adalah Khalifah atau orang yang diperintahkan untuk melaksanakannya. Contoh:
Hakim memutuskan hukuan terdakwa adalah qishash,
sementara yang menjalankan hukum qishash
tersebut adalah Khalifah sendiri.[8]
Hukuman yang biasanya diputuskan
dalam pengadilan pada masa ini adalah dalam bentuk denda, skorsing, penjara,
pemotongan anggota tubuh dan dalam beberapa kasus khusus seperti bid’ah dan
murtad hukuman mati menjadi hukuman final.
3.
Bentuk Peradilan
Adapun
instansi dan tugas kekuasaan kehakiman dimasa Bani Umayah ini dapat
dikategorikan menjadi tiga badan, yaitu:[9]
a. al-Qadhaa’ merupakan tugas qadhi dalam menyelesaikan
perkara-perkara yang berhubungan dengan agama. Disamping itu badan ini juga
mengatur institusi wakaf, harta anak yatim, dan orang yang cacat mental.
b. al-Hisbah merupakan tugas al-muhtasib
(kepala hisbah) dalam menyelesaikan perkara-perkara umum dan soal-soal pidana
yang memerlukan tindakan cepat. Selain itu al-muhtasib
juga bertindak sebagai pengawas perdagangan dan pasar, memeriksa takarandan
timbangan serta ikut mengawasi kasus-kasus perjudian, seks amoral, dan busana
yang tidak layak di depan umum. Kewengangan wilayah hisbah sesungguhnya merupakan kewenangan untuk menyuruh berbuat
baik dan melarang berbuat munkar, serta menjadikan kemaslahatan dalam
masyarakat. Upaya ini digolongkan pada usaha untuk memberikan penekanana
terhadap ketentuan-ketentuaun hukum agar dapat terealisasi dalam masyarakat
secara maksimal. Disamping itu wilayah hisbah
dapat memberikan tindakan secara langsung bagi pihak-pihak yang melakukan
pelanggaran.
c. al-Nadhar fi
al-Mazhalim merupakan mahkamah
tinggi atau mahkamah banding dari mahkamah di bawahnya (al-qadha dan al-Hisbah).
Lembaga ini juga dapat mengadili para hakim dan pembesar Negara yang berbuat
salah.
Dalam pengadilan kategori ini
dalam melakukan sidangnya langsung dibawah pimpinan Khalifah. Sebagaimana
Khalifah Abdul Malik bin Marwan yang pernah menjadi ketua mahkamah mazhalim dalam menjalankan tugasnya sebagai ketua mahkamah mazhalim saat itu Khalifah
Abdul Malik bin Marwan dibantu oleh orang pejabat penting lainnya, yaitu:
a. Pembela, kelompok ini dipilih dari orang-orang yang
mampu mengalahkan pihak terdakwah yang menggunakan kekerasan atau melarikan
diri dari pengejaran pengadilan.
b. Hakim, hakim yang berprofesi sebagai penasihat bagi
kepala mahkamah al-mazhalim, sehingga
dengan berbagai cara, apa yang menjadi hak pihak yang teraniaya dapat
dikembalikan. Kepada seluruh yang hadir dapat dijelaskan tentang kasus yang
terjadi dengan sesungguhnya.
c. Ahli fikih, sebagaitempat para hakim mahkamah al-mazhalim mengembalikan
perkara syariah yang sulit menentukan hukumnya. Ada beberapa catatan pada
peradilan di masa Umayah yang menggambarkan perlunya ahli fikih, yaitu: pertama, setiap kota memiliki kemampuan
untuk berijtihad dalam mengistimbatkan hukum, mereka inilah yang dijadikan qadhi untuk menyelesaikan perkara yang
masuk. Mereka ahli ijtihad dan bukan taqlid. Kedua,Qadha dan fatwa dipandang
sederajad. Fatwa dalam periode ini sama dengan qadha; yaitu fatwa qadhi
dipandang putusan. Fatwa yang dikeluarkan qadhi
menjadi hukum. Ketiga, putusan
seorang qadhi tidak bisa dibatalkan
oleh keputusan qadhi yang lain.
Karena ijtihad tidak bisa membatalkan ijtihad.
d. Sekretaris, bertugas mencatat perkara yang
diperselisihkan dan mencatat ketetapan apa yang menjadi hak dan kewajiban
pihak-pihak yang berselisih.
e. Saksi, bertugas memberian keasaksian terhadap ketetapan
hukum yang disampaikan oleh hakim yang tidak bertentangan dengan nilai-nilai
kebenaran dan keadilan. Suatu perkara yang diselesaikan melalui mahkamah mazhalim ini dinyatakan tidak
sah, apabila salah satu unsur yang lima tersebut tidak hadir.[10]
Jadi, sistem peradilan pada masa
Bani Umayah telah berjalan dengan detail dan kuatnya putusan yang diambil oleh
hakim dalam menetapkan suatu perkara. Penilaian ini jika dirujuk dalam kitab
fikih, maka dalam menetapkan suatu kasus harus ada hakim, hukum,mahkum bih, mahkum ‘alaih, mahkum lahu dan sumber hukum.
Salah satu kasus yang pernah terjadi pada masa Dinasti Umayah
adalah kasusnya Ibnu Futhais. Kasus ini terjadi pada masa kekhalifahan Al-Hakam
bin Hisyam. Seorang qadhi yang bernama yang bernama Muhammad bin Basyir
al-Mu’arifi menghukum Ibnun Futhais dengan tidak menghadirkan saksi. Ibnu
Fathais ketika itu berpangkat wazir (menteri). Karena tidak menerima putusan
tersebut Ibnu Fathais naik banding/mengajukan perkaranya ini kepada Khalifah
dengan alasan dia telah dianiaya. Kemudian al-Hakam mengirim surat kepada
Muhammad bin Basyir al-Mu’arifi dengan menerangkan keberatan Ibnu Futhais. Maka
surat Khalifah dibalas oleh Muhammad bin Basyir al-Mu’arifi dengan mengatakan :
“Ibnu Fathais tidak mengetahhui
siapa-siapa yang menjadi saksi atas kasusnya, karena jika dia tahu siapa yang
menjadi saksinya, maka dia akan mecari saksi tersebut dan tidak segan-segan
menyakitinya”[11]
4.
Para Pembantu Hakim
Biasanya
hakim membutuhkan orang-orang yang membantunya dalam proses peradilan dan
pengambilan keputusan, ada penulis hakim atau penulis mahkamah atau penulis
mahkamah atau penulis peneliti. Di zaman Bani Umayyah muncul pembantu-pembantu
hakim menurut tuntutan kebutuhan, perkembangan hidup dan luasnya tugas-tugas
hakim serta banyaknya perkara yang harus ditangani.
a. Juru panggil
Dia adalah orang yang duduk di majelis hakim untuk
menjelaskan kedudukan hakim dan mengenalkannya, dan memanggil pihak yang
berperkara. Orang ini disebut dengan orang yang ada diatas kepala hakim atau
pemilik majelis.
b. Pengawal
Dia adalah petugas yang berdiri di pintu hakim untuk
menahan orang-orang selama proses kajian terhadap perkara, menata masuknya
orang-orang yang berseteru manakala mereka berdesak-desakan karena jumlah
mereka yang banyak. Pengawal ini bisa sekaligus pemanggil yang berdiri
dibelakang kepala hakim, dia bertugas menjalankan dua pekerjaan sekaligus, bisa
jadi dia adalah petugas keamanan dari unsur tentara atau dia memang petugas
keamanan peradilan. Hakim terkadang menugasinya untuk melakukan sebagian
pekerjaan di mahkamah atau menunaikan sebagian tugas luar.
c. Penerjemah
Para hakim mengangkat penerjemah karena banyaknya
orang-orang bukan Arab yang masuk Islam. Orang-orang tersebut saling mengenal
sebagian dengan sebagian yang lain. Jika terjadi perselisihanatau gugatan atau
klaim, maka hakim meminta bantuan penerjemah yang tsiqah dan diterima untuk
menerjemahkan bahasa pihak yang berseteru ke dalam bahasa Arab.
5.
Pengawasan Dan Kontrol
Sesungguhnya
berlepasnya para khalifah dan para gubernur dan hanya membatasi pada
pengangkatan dan pemakzulan, tidak menutup kemungkinan para penguasa itu tetap
mengawasi tugas-tugas para hakim, menelaah keputusan-keputusan mereka,
memonitor gugatan-gugatan dan keputusan-keputusan yang mereka tetapkan.karena
khalifah adalah penanggung jawab terhadap peradilan dan segala perkara yang
khusus bagi umat dan pribadi dalam mengelola Agama dan dunia. Menyerahkan
peradilan kepada para hakim tidak membebaskan khalifah dari tanggung jawa dunia
dan akhirat. Dari sini maka para khalifah mengawasi kerja para hakim, memonitor
apa yang mereka putuskan, bila terjadi kekeliruan atau penyimpangan atau
keteledoran, maka mereka segera meluruskannya dan mengoreksinya.
6.
Sumber-Sumber Keputusan Hukum Peradilan
Para
hakim di zaman pemerintahan Bani Umayyah berpijak kepada apa yang dipijak oleg
para hakim di zaman Khulafaurrasyidin, yaitu berpegang kepada Al-Qur’an,
Hadits, ijma’, keputusan-keputusan hakim pendahulu, dan ijtihad dengan
musyawarah.
7.
Hakim-hakim yang terkenal
Hakim-hakim
yang terkenal pada masa ini cukup banyak yang tersebar di berbagai daerah,
diantaranya adalah:[12]
a. Al-Qadhi Suraih bin al-Harits al-Kindi
Suraih merupakan seorang qadhi yang cerdas dan cepat dalam menyelesaikan suatu perkara
dengan tepat. Suraih juga adalah hakim yang berwibawa, karena beliau
menyamaratakan antara rakyat dan penguasa dalam siding pengadilan. Seperti yang
pernah ia lakukan kepada Asy’ats bin Qais yang datang menemuinya di pengadilan
dan disambut ramah dan dipersilahkan duduk di sampingnya. Tidak lama kemudian
datanglah seorang laki-laki yang mengadukan tentang Asy’ats bin Qais ini. Maka
suraih memerintahkan kepada Asy’ats bin Qais untuk berdiri dari sampingnya dan
duduk di tempat terdakwa, akan tetapi Asy’ats menolaknya dan mengatakan akan
menjawab pertanyaan dari tempat duduk suraih saja. Lalu hakim menjawab: “kamu berdiri dari tempat duduk ini dan
duduk ditempat di tempat terdakwa atau saya perintahkan orang lain menegakkan
mu dan memaksamu pindah”. Mendengar hal ini Asy’ats bin Qais berdiri dan
pindah ke tempat duduk terdakwa.
b. Al-Qadhi Asisabi
Nama lengkapnya adalah Amir bin Surah bin asy-Sya’bi.
Beliau merupakan seorang ulama tabi’in yang terkenal, lahir tahun 17 H. beliau
adalah seoranghakim di Kufah menggantikan Suraih. Beliau juga banyak menerima
hadits darin abu Hurairah, Ibnu Abbas, Aisyah, dan Ibnu Umar. Beliau juga
adalah ahli fikih termasuk guru tertua Imam Abu Hanifah.
c. Al-Qadhi Ijas
Nama lengkapnya adlah Abu Wailah Ijas bin Muawiyah bin
Qurrah, merupakan qadhi dari Kahlifah Bani Umayah yang paling adil, cerdas, dan
paling tepat firasatnya. Beliau hidup di masa pemerintahan Khalifah Umar bin
Abdul Aziz.
d. Salim bin Atas
Merupakan hakim di daerah Mesir yang terkenal piawai
dalam menyelesaikan perkara-perkara dan dialah permulaan hakim yang mencatat
putusannya, dan menyusun yurisprudensi pada masa pemerintahan Muawiyah.
B. Peradilan di masa Bani Abbasiyah
1.
Sejarah Singkat Bani
Abbasiyah
Dinasti
Abbasiyah merupakan kelanjutan dari Dinasti Bani Umayyah. Dinamakan Abbasiyah
karena pendiri Dinasti ini adalah keturunan dari al-Abbas.[13]
Sebelum
runtuhnya Daulah umawiyah muncul gerakan Ahlul Bait. Ahlul bait itu gabungan
gerakan Ahlu Syi‟ah dengan keturunan-keturunan Nabi.Dan mereka masih bersekutu
karena Bani Umayyah itu bukan dari keturunan Sebelum runtuhnya Daulah umawiyah
muncul gerakan Ahlul Bait. Ahlul bait itu gabungan gerakan Ahlu Syi‟ah dengan
keturunan-keturunan Nabi. Dan mereka masih bersekutu karena Bani Umayyah itu
bukan dari keturunan Nabi. Muawiyah dari Bait Umawi sementara Nabi dari Bait
Hasyimi. Jadi ada dua keluarga besar, sebenarnya mereka bersaudara tapi mereka
menjadi bersaing untuk memperebutkan kekuasaan di Mekkah. Bait Hasyimi
keturunan-keturunannya nasabnya menyambung ke Nabi Muhammad SAW sedangkan Bait
Umawi keturunan-keturunannya nasabnya bersambung ke Abu Sofyan kemudian
Muawiyah. Bait Hasyimi di sebut dengan Ahlul Bait, karena dari keluarga
merekalah muncul kenabian. Timbul pertanyaan mengapa Abu Sofyan tidak mau masuk
Islam padahal sahabat-sahabat yang lain masuk Islam dan mengapa Muawiyah itu
belum masuk Islam kecuali sampai Mekkah di taklukkan, karena mereka merasa
gengsi dan sakit hati karena kenabian munculnya di Bait Hasyimi bukan dari Bait
Umawi. Dan ketika Daulah Muawiyah ini mulai lemah akhirnya orang-orang Bait
Hasyimi keturunan paman-paman Nabi bersekongkol untuk merebut kekuasaan.Semula
yang menjadi calon Khalifah adalah orang‘ alawi orang-orang keturunan dari Ali
bin Abi Thalib kemudian pindah kekuasaan dan kepemimpinannya ke keturunan Abbas
paman Nabi. Daulah Abbasiyah tadinya gerakan bawah tanah kemudian setiap
pemimpinnya yang wafat, ia menunjuk pengganti supaya menjadi penerusnya merebut
kekuasaan dari Daulah Umawiyyah. Sebelumnya yang memimpin adalah orang-orang
‘alawi dari keturunannya Ali terus menerus, suatu ketika ia menunjuk
penggantinya itu dari keturunan Abbas bukan keturunan Ali. Pada saat ia
memimpin berkembanglah kekuasaannya. Kemudian Daulah umawi melemah dan beliau
berhasil menguasai pos-pos penting akhirnya menang.12
Kekuasaan
Bani Abbasiyah ini berlangsung dalam rentang waktu yang panjang dari tahun 132
H/ 750 M sampai 656 H/ 1258 M. Dinasti ini mampu bertahan lebih dari lima abad
hingga datangnya serangan pasukan Mongol pada tahun 656/1258.[14]
2.
Ciri khas peradilan Islam
di masa Bani Abbasiyah
Jika
pada masa Khulafa’ al-rasyidin dan Umayah Khalifah memegang kekuasaan
yudikatif dan eksekutif, maka pada masa ini khalifah tidak lagi terlibat dalam
urusan peradilan. Setiap perkara yang masuk ke pengadilan para hakim yang
ditunjuk oleh khalifahlah yang akan mengusut perkara tersebut. Hal ini
mengingat bahwa pada saat itu khalifah Abbasiyah sedang giat-giatnya memikirkan
persoaan politik baik dalam negri maupun luar negri.
Putusan-putusan
para qadhi pada masa ini dipengaruhi mazhab-mazhab yang telah muncul
pada saat itu. Seorang qadhi di Irak memutuskan perkara yang berpedoman
pada mazhab Syafi’i, di syam dan Maghribi hakim memutuskan perkara berdasarkan
pada mazhab Maliki, dan di Mesir hakim memutuskan perkara berpedoman pada
mazhab Syafi’i.[15]
3.
Awal mula Qadhi
al-Qudha’ (Mahkamah Agung)
Pada
saat kendali pemerintahan dipegang oleh Dinasti Abbasiyah , kemajuan peradaban
telah semakin meluas. Agama islam telah berkembang ke berbagai daerah, para fuqaha’ telah berpencar ke berbagai
negeri serta bermacam-macam kasus dan hal ihwal umat Islam telah banyak pula
yang terjadi dan berkembang. Karena itu maka terjadiah perbedaan pendapat
diantara ahli-ahli fiqh, sehingga muncullah istilahaat
fiqhiyyah (istilah-istilah fiqh) yang melahirkan ulama-ulama fiqh dan
mazhabnya.
Fokus
perhatian ulama fikih dan mazhab pada masa ini adalah masalah kehakiman
(peradilan). Diantaranya adalah:[16]
a. Hukum membentuk lembaga peradilan dan mengangkat qadhi.
b. Hukum mewilayahi peradilan (hak menjabat jabatan qadhi).
c. Hukum berusaha supaya dijadikan qadhi dan mengendalikan kehakiman.
d. Menentukan keahlian para qadhi.
e. Menetapkan sifat-sifat qadhi.
f. Pekerjaan-pekerjaan qadhi (keweajiban-kewajiban qadhi)
dalam persidangan.
g. Pengangan qadhi
dalam menetapkan hukum.
h. Masalah yang berkaitan dengan kehakiman dan qadhi (hakim).
Untuk menjadi hakim atau qadhi dalam Islam, ada beberapa syarat
yang harus dimiliki, yaitu:[17]
a. Memiliki sifat-sifat seperti yang digambarkan oleh Ali
binAbi Thalib, yakni: tidak mempersempit perkataan, tidak memeperluas
perselisihan, tidak larut dalam permasalahan, tidak berat kembali kepada
kebenaran jika mengetahuinya, tidak mengarahkan dirinya kepada ketamakan, tidak
menganggap cukup dengan pemahaman yang minimal dengan mengabaikan yang optimal,
paling tegar sifatnya, paling bagus hujjahnya, paling sedikit kebosanannya
dalam mengoreksi, paling sabar dalam memaparkan perkara, paling tegas ketika
menjelaskan keputusan, bukan orangmudah tertarik sanjungan dan tiadak condong
kepada permusuhan. Selanjutnya amat cermat dalam mengambil keputusan, senang
menginfakkan hartana dijalan Allah SWT sehingga terhindar dari penyakit butuh
pemberian manusia.
b. Memiliki sifat tegar, bersih, iffah (menghindari syubhat), santun, dan mengetahui peradilan dan
tradisi yang telah berlaku sebelumnya.
Sementara itu dalam pandangan fikih Islam secara umum,
hakim mesti memeiliki sifat-sifat: pertama,
harus orang dewasa; kedua, seorang
yang berakat; ketiga, muslim; keempat, adil yaitu benar sikapnya,
jelas amanatnya, menjaga diri dari hal-hal yng haram, dan amandari ridha ketika
marah; kelima,mengetahui hukum-hukum
syariah, baik dasar-dasar syariah maupun cabang-cabangnya; keenam, sehat pendengaran, penglihatan dan ucapan.
Pada masa pemerintahan Abbasiyah, qadhi diangkat oleh Khalifah dari kalangan ulama yang memiliki
sifat-sifat sebagaimana digambarkan di atas dengan gelar qadhi al-qudha’. Orang yang pertama menjabat dan mendapat sebutan ini adalah Abu
Yusuf, seorang murid yang juga sahabat
dari Imam Abu Hanifah.[18]
Secara umum kewenangan
badan-badan peradilan yang berada dibawah naungan Mahkamah Agung sebagai
kekuasaan yudikatif adalah:[19]
a. Al-Qadha’
Al-Qadha’
adalah lembaga yang berfungsi member penerangan dan pembinaan hukum,
menyelesaikan perkara sengketa, perselisihan dan maslah wakaf. Lembaga ini
telah dirintis sejak zaman Rasulallah Saw., dan disempurnakan pada msa
sesudahnya, terutama Dinasti Umayah dan Abbasiyah. Pada masa Dinasti Abbasiyah
setiap perkara diselesaikan dengan berpedoman pada mazhab masing-masing yang
dianut oleh masyarakat.
b. Al-Hisbah
Al-Hisbah
adalah salah satu badan pelaksana kekusasaan kehakiman dalam Islam yang
bertugas untuk menegakkan kebaikan dan mencegah kezaliman. Pejabat yang Hisbah
disebut muhtasib. Tugasnya menangani kasus kriminal yang penyelesaiannya
perlu segera, mengawasi hukum, menhatur ketertiban umum, mencegah terjadinya
pelanggaran hak tetangga serta menghukum orang yang mempermainkan hukum syara’.
c. Al-Mazhalim
Al-Mazhalim
adalah salah satu komponen peradilan yang berdiri sendiri dan merupakan
peradilan untuk mengurusi penyelesaian erkara perselisihan yang terjadi antara
rakyat dan negara. Selain itu ia juaga menangani menangani kasus-kasus
penganiayaan yang dilakukan oeh pejabat tinggi, bangsawan, hartawan, atau
keluarga sultan terhadap rakyat biasa. Secara operasional qadhi al-mazhalim
bertugas menyelesaikan masalah yang tidak dapat diputuskan oleh diwan
al-qadha’ dan diwan al-muhtasib, serta meninjau kembali putusan yang
dibuat oleh kedua hakim tersebut atau menyelesaikan perkara banding.
d. Al-Mahkamah Al-‘Askariyah
Selain tiga peradilan diatas, pada masa pemerintahan
Bani Abbasiyah juga dibentuk mahkamah/peradilan militer (al-Mahkamah
al-Askariyah) dengan hakimnya adalah qadhi al-‘askar atau qadhi
al-jund. Posisi ini sudah ada sejak zaman sultan Shalahuddin Yusuf bin
Ayub. Tugasnya adalah menghadiri sidang-sidang di Dar al-Adl, terutama
ketika persidangan tersebut menyangkut anggota militer atau tentara.
4.
Organisasi Kehakiman
Perubahan
lain yang terjadi pada masa Daulah Abbasiyah adalah para hakim tidak lgi
berijtihad dalam memutuskan perkara, tetapi mereka berpedoman pada kitab-kitab
mazhab yang empat atau mazhab lainnya. Dengan demikian, syarat hakim harus
mujtahid sudah ditiadakan. Kemudian oragnisasi kehakiman juga mengalami
perubahan, antara lain telah diadakan jabatan penuntut umum (kejaksaan)
disamping telah dibentuk instansi diwan qadhi al-qudhah, sebagai
berikut:[20]
a. Diwan Qadhi al-Qudhah (fungsi dan tugasnya mirip dengan Departemen
Kehakiman) yang dipimpin oleh qadhi al-qudha’ (ketua Mahkamah Agung).
Semua badan-badan pengadilan dan badan-badan lain yang ada hubungannya dengan
kehakiman berada dibawah diwan qadhi al-qudhah
b. Qudhah al-Aqaali (hakim
provinsi yang menegetuai Pengadilan Tinggi).
c. Qudhah al-Amsaar
(hakim kota yang mengetuai Pengadilan Negeri; al-Qadhau atau al-Hisbah).
d. Al-sulthah al-Qadhaiyah, yaitu jabatan kejaksaan di ibukota negara dipimpin
oleh al-Mudda’il Ummy (Jaksa Agung), dan tiap-tiap kota oleh Naib
Ummy (jaksa).
5.
Sumber hukum
Jika
pada masa Nabi Muhammad SAW. Perkata itu dengan mudah bisa diputuskan oleh
beliau karena memang sumber hukum berasal dari beliau, baik Al-Qur’an maupun
Hadits, maka pada masa Dinasti Abbasiyah sumber hukum lebih bervariasi. Disampin
al-Qur’an dan Hadits, sumber hukum yang banyak digunakan oleh hakim kala itu
adalah Yurisprudensi atau Preseden hukum yang ditinggalkan oleh hakim-hakim
sebelumnya, yaitu putusan-putusan yang ditinggalkan oleh hakim-hakim Umayah
yang dijadikan rujukan oleh hakim-hakim Abbasiyah.
Disamping
itu, perkembangan pemikiran hukum yang digagas oleh para imam mazhab, semakin
memperkuat rujukan hakim dalam memeriksa dan memutuskan perkara di
sidang-sidang pengadilan yang mereka jalani.[21]
Lebaga ini dipisahkan dari wilayah
peradilan. Awalnya, penanganan masalah segala bentuk penyelewengan dan
penganiayaan yang dilakukan oleh lembaga pemerintah yang masuk perkara al-mazalim waktu
itu ditangani langsung oleh khalifah. Ketika dinasti Abbasiyah muncul, pada
mulanya lembaga tersebut dipegang langsung oleh khalifah. Tapi kemudian
khalifah menunjuk seorang wakil yang disebut Qadi al-Mazalim atau Sahib
al-Mazalim.
Kedudukan
badan ini lebih tinggi dari pada al-qadha dan al-hisbat,
karena disini qadhi al-madhalim bertugas menyelesaikan perkara
yang tidak dapat diputuskan oleh qadhi dan muhtasib,
meninjau kembali beberapa putusan yang dibuat oleh kedua hakim tersebut, atau
menyelesaikan perkara banding. Dapat dikatakan pula bahwa lembaga ini
memeriksa perkara-perkara yang tidak masuk ke dalam wewenang hakim biasa.
Yaitu, memeriksa perkara-perkara penganiayaan yang dilakukan oleh para
penguasa dan hakim ataupun anak-anak dari orang yang berkuasa. Sebahagian dari
perkara-perkara yang diperiksa dalam lembaga ini adalah perkara-perkara yang
diajukan oleh seseorang yang teraniaya.
Badan ini
memiliki mahkamat al-madhalim. Sidangnya selalu dihadiri oleh lima unsur
sebagai anggota sidang:
a.
Para pembela dan pembantu sebagai juri yang berusaha
sekuat tenaga meluruskan penyimpangan-penyimpangan hukum.
b.
Para hakim yang mempertahankan wibawa hukum dan
mengembalikan hak kepada yang berhak.
c.
Para fuqaha’ tempat rujukan qadhi
al-madhalim bila menghadapi kesulitan dalam menyelesaikan masalah yang
musykil dari hukum syari’at.
d.
Para katib yang mencatat pertanyaan-pertanyaan dalam
sidang dan keputusan sidang
e.
Para saksi memberi kesaksian pada masalah yang
diperkarakan dan menyaksikan bahwa keputusan yang diambil hakim adalah benar
dan adil.
Pemegang
jabatan ini sendiri tidak mesti seorang hakim, memang hakim lebih didahulukan
karena pemahamannya terhadap masalah-masalah yang berkaitan dengan hukum. Namun
khalifah seringkali menunjuk pejabat lain yang lebih berwibawa, amanah, dan
mampu memberikan perlindungan terhadap masyarakat sehingga kebobrokan dalam
tubuh negara bisa dihentikan. Karena itu pejabat lembaga ini
kadang kala adalah seorang menteri peperangan. Selain itu, tugas Nazar
al-Mazalim adalah:[22]
a.
Mengawasi
penegakan hukum yang dijalankan oleh khalifah/wali terhadap warga negara,
pegawai perpajakan/departemen tertentu, jika mereka menyalahgunakan
wewenangnya.
b.
Mengawasi
terhadap distribusi bantuan pemerintah terhadap orang miskin dari pengurangan,
keterlambatan atau mungkin tidak sampainya bantuan tersebut.
c.
Membantu qadhi
melaksanakan keputusan-keputusan yang dibuat di pengadilan.
d.
Mengawasi atau
menjaga keberlangsungan praktik-praktik ibadah dan akhirnya mengembalikan barang
hasil curian pada orang yang berhak.
Pada masa Abbasiyah juga ditentukan syarat-syarat qadhi al-mazalim yang
menangani persoalan al-siyasat al-syari’at. Adapun para ahli dibidang itu
mengemukakan syarat-syarat qadhi al-mazalim sebagai berikut:
a.
Berkemampuan
tinggi (jalil al-qadr).
b.
Berkemampuan
melaksanakan keputusan (nafiz al-amr).
c.
Memiliki
wibawah dan pengaruh besar (‘azhim al-haibat).
d.
Terkenal bersih
dan lurus (zhahir al-iffat).
e.
Tidak serakah (qalil al-thama’).
f.
Sangat wara’.
Beberapa qadhi yang terkenal pada masa Abbasiyah
adalah sebagai berikut:
a.
Abu Yusuf , Ya’kub
bin Ibrahim (lahir tahun 131 H/731 M-wafat tahun 182 H/789 M) beliau adalah
qadhi al-qadha’ Harun al-Rasyid.
b.
Yahya bin Aksam
(lahir tahum 159 H/755 M-wafat tahun 242 H/857 M) beliau adalah qadhi al-qudha
al-makmun.
c.
Ahmad bin Abu Daud
(lahir tahun 160 H/777 M-wafat tahun 240 H/854 M) beliau adalah qadhi
al-Musta’sim.
d.
Sahnun al-Maliki
(lahir 160 H/777 M-wafat tahun 240H/854 M) beliau adalah qadhi Maghrib.
e.
Al-‘Izz bin Abd.
Al-Salam (lahir tahun 578 H/1181 M-wafat tahun 660 H/1262 M) beliau adalah
qadhi Mesir.
f.
Ibnu Khillikaan
(lahir tahun 608 H/1211 M-wafat tahun 660 H/1282 M) beliau adalah qadhi
Damaskus.
g.
Ibnu Daqiqi ‘led
(lahir tahun 625 H/1228 M-wafat tahun 702 H/1302 M) beliau adalah qadhi Mesir
dan Sha’id.
Inilah sebagian dari
qadhi-qadhi besar yang banyak mendapat perhatian umum terkenal dalam masyarakat
fiqih dan dipandang sebagai pembimbing ilmu al-furu’ dalam periode kedua dari
Bani Abbasiyah.[23]
Disamping qadhi-qadhi
yang disebutkan di atas, masih terdapat beberapa orang qadhi yang dikenal
pernah menjabat pada masa Abbasiyah, yaitu:
a.
Al-Harits bin Miskin,
salah seorang murid kenamaan imam malik sebagai hakim agung di Mesir, yang
diangkat oleh khalifah al-Mutawakkil al ‘ala allah (232 H-247 H), menggantikan
seorang hakim agung bernama abu bakir bin al-laits.
b.
Ibnu abi syiawarib,
menjabat sebagai hakim pada masa ke khalifahan al-mu’taz billah, Muhammad (252
H-255 H).
c.
Pada masa ke
khalifahan al qohir billah, abu manshur (320 H-322 H) dikenal beberapa orang
hakim, abu al-hasan (hakim) abu umar, al hasan bin abdulloh, ibnu abu
al-syawarib dan abu tholib bin al bahlul.
d.
Abu al hasan Muhammad
bin ummu syaiba al hasyimi diangkat sebagai hakim agung pada 363 H, oleh
khalifah al muthi’ lillah, abu al qosim (334 H-363 H).
e.
Al syarif abu ahmad
al husain bin musa al-musawi pada 394 H, ditugaskan oleh baha’ al daulah (gelar
bagi abu nashr) untuk menjabat jabatan di pengadilan dalam masalah masalah
haji, tindakan kedholiman dan pengaduan pengaduan orang yang menuntut pada masa
ke khalifahan al qadir billah, abu al abbas (381 H-422 H).
f.
Abu thahir bin al
karkhi, seorang hakim wilayah mushil menjabat pada masa ke khalifahan al
rasyid billah (529 H-530 H).[24]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari uraian di atas dapat penulis
ambil kesimpulan bahwa pada masa kekuasaan Bana Umayyah, ketatalaksanaan
peradilan makin disempurnakan, badan peradilan mulai berkembang menjadi lembaga
yang mandiri dan terpisah dari kekuasaan politik. Pada masa Bani Umayyah belum
ada hakim yang khusus yang memutuskan perkara pidana dan hukuman penjara karena
kekuasaan ini dipegang oleh Khalifah sendiri. Ciri-ciri menonjol peradilan pada
masa Bani Umayyah, yaitu : Pertama, Hakim memutuskan perkara menurut hasil
ijtihadnya sendiri, Kedua, Lembaga peradilan pada masa itu belum lagi
dipengaruhi oleh penguasa. Putusan-putusan hakim pada masa mulai disususun dan
dibukukan meskipun belum sempurna.
Peradilan pada masa Bani
Abbasiyah sesungguhnya meneruskan tradisi dan kebijakan yang telah dijalankan
oleh Bani Umayyah. Pada masa ini khalifah tidak lagi terlibat dalam urusan
peradilan, akan tetapi hakim yang ditunjuk oleh khalifahlah yang akan mengusut
perkara tersebut. Instansi diwan qadhi al-qudhah beserta penuntut umum
(kejaksaan) disamping telah dibentuk. Disamping al-Qur’an dan Hadits, yang
menjadi sumber hukum kala itu adalah Yurisprudensi atau Preseden hukum yang
ditinggalkan oleh hakim-hakim sebelumnya dan putusan-putusan para qadhi
pada masa ini juga dipengaruhi mazhab-mazhab yang telah muncul pada saat itu.
B. Saran
Demikian
makalah ini kami susun. Apabila terdapat kekurangan dan kesalahan dalam
penulisan maupun pembahasannya kami mohon maaf serta tetap mengharapkan saran
dan kritik yang konstruktif, meskipun sudah dilakukan upaya revisi. Semoga
makalah ini bermanfaat bagi kita semua. Amin!
DAFTAR PUSTAKA
Ali
Mufrodi, Islam Dikawasan kebudayaan Arab, Jakarta: Perpustakan Nasional,
1997.
Ash Shiddieqy , Teungku Muhammad Hasbi. Peradilan
dan Hukum Acara Islam. Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra. 2001
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam: Dirasah Islamiyah
II, Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 2000.
Cyril
Glasse, Ensiklopedia Islam (ringkas). Penerjemah Ghufron A. Mas‟adi.
Cet. 2. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1999.
Jaenal Aripin, Peradilan Agama dalam Bingkai Reformasi
Hukum di Indonesia, Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2008.
Koto,
Alaidin. Sejarah Peradilan Islam. Jakarta:
PT. Grafindo. 2011.
Muhammad Salam Madkur, Peradilan Dalam Islam, terj. Imron AM, (Surabaya : PT. Bina
Ilmu, 1993.
Teungku
Muhammad Hasbi ash Shiddieqy, Peradilan dan Hukum Acara Islam,
Semarang, PT. Pustaka Rizki Putra, 2001.
No comments:
Post a Comment