GAMBARAN FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB TERJADINYA ABORTUS
DI RUMAH SAKIT DR. ACHMAD MUCHTAR BUKITTINGGI TAHUN 2012
OLEH :
NAMA : SUKMAWATI
NIM :
BT 11 071
KELAS
: III B
AKADEMI
KEPERAWATAN BATARI TOJA
W
A T A M P O N E
2013
GAMBARAN
FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB TERJADINYA ABORTUS DI RUMAH SAKIT DR. ACHMAD MUCHTAR
BUKITTINGGI TAHUN 2012
Oleh :Nurhayati
ABSTRAK
Abortus
didefenisikan sebagai keluarnya janin belum mencapai viabilitas (yang mampu
hidup diluar kandungan). Dan masa gestasi mencapai 22 minggu atau lebih, berat
janin 500 gr atau lebih. Abortus lebih sering terjadi pada wanita berusia 30
tahun dan meningkatnya angka graviditas 6% kehamilan pertama atau kedua
berakhir dengan abortus, angka ini meningkat menjadi 16% pada kehamilan ke-3
dan seterusnya (Hipokrates, 2002).
Penelitian
ini bertujuan untuk mengetahui gambaran faktor-faktor penyebab terjadinya abortus
ditinjau dari segi umur dan paritas di Rumah Sakit Dr. Achmad muchtar
bukittinggi Tahun 2010.
Metode
penelitian ini adalah metode survey dengan pendekatan deskriptif. Populasi
penelitian adalah kejadian abortus yang ada di Rumah sakit Dr. Achmad muchtar
pada Januari-Maret Tahun 2010 sebanyak 80 kasus dan sampel penelitian ini
adalah pasien yang dirawat dengan diagnosa abortus selama Januari-Maret Tahun
2010 sebanyak 80 kasus. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan sistem
manual yaitu tabel dan kalkulator.
Dari hasil
penelitian didapatkan angka kejadian abortus pada Januari-Maret tahun 2010
sebanyak 80 kasus (95,35%) . kasus abortus terbanyak di temukan pada umur
>35 tahun sebanyak 44 kasus (55,00%), kasus abortus dengan paritas yang
tinggi adalah sebanyak 42 kasus (52,5%). Melihat data tersebut maka di
perlukan peran serta dari berbagai pihak dari institusi, petugas kesehatan,
lingkungan keluarga maupun dari masyarakat umum dalam mencegah faktor-faktor
penyebab kejadian abortus.
Dapat
disimpulkan bahwa lebih dari separoh ibu yang mengalami abortus merupakan usia
resiko tinggi dan paritas tinggi. Diharapkan kepada pihak Rumah Sakit,
institusi dan peneliti agar dapat memberikan penyuluhan kepada ibu hamil
sehubungan dengan kejadian abortus, sehingga dalam kehamilannya ibu lebih
berhati-hati dan memeriksakan diri secara rutin agar resiko kehamilan dapat
dideteksi sedini mungkin.
ABSTRACT
Abortion is defined as the
release of the fetus has not reached viability (capable of living outside the
womb). And gestation is 22 weeks or more, fetal weight 500 g or more. Abortion
is more common in women aged 30 years and the increasing number of gravidity 6%
of the first or second pregnancies ended in abortion, this figure increased to
16% of pregnancies in the 3rd and so on (Hippocrates, 2002). This study aimed
to know the description of the factors causing the occurrence of abortion in
terms of age and parity at the Hospital Dr. Achmad Mochtar Bukittinggi 2010.
The method of this research is
survey method with the approach deskriptif. Populasi study was the incidence of
abortion in hospital Dr. Achmad Mochtar in January-March of 2010 as many as 80
cases and samples of this study were patients who were treated with a diagnosis
of abortion during the January-March of 2010 as many as 80 cases. The research
was carried out using a manual system of tables and calculators.
From the result showed the
incidence of abortion in January-March of 2010 as many as 80 cases (95.35%).
abortion in most cases found at age> 35 years as many as 44 cases (55.00%),
with the abortion cases that high parity is as many as 42 cases (52.5%).
Looking at the data it is in need of participation of various stakeholders of
the institutions, health workers, family environment and the general public in
preventing the factors that cause the incidence of abortion.
We can conclude that more than
half women who experienced abortion is a high risk age and high parity.
Hospitals are expected to parties, institutions and researchers in order to
provide counseling to pregnant women with respect to the incidence of abortion,
resulting in her pregnancy the mother is more cautious and consult on a regular
basis so that the risk of pregnancy can be detected as early as possible.
PENDAHULUAN
Masalah kesehatan merupakan masalah penting yang tengah dihadapi oleh
masyarakat saat ini, apalagi yang tengah menimpa kaum wanita. Kesehatan
reproduksi wanita adalah hal yang sangat perlu diperhatikan menimbang bahwa
wanita adalah makhluk yang unik. Disini wanita ini, dalam siklus hidupnya
mengalami tahap-tahap kehidupan, diantaranya dapat hamil dan melahirkan.
Menurut data WHO persentase kemungkinan terjadinya abortus cukup tinggi.
Sekitar 15–40% angka kejadian, diketahui pada ibu yang sudah dinyatakan positif
hamil, dan 60–75% angka abortus terjadi sebelum usia kehamilan mencapai 12
minggu (Lestariningsih, 2008).
Menurut ACOG - American College of Obstetricians and
Gynecologists, abortus spontan adalah jenis kegagalan kehamilan yang
sering dijumpai. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa 10 - 25% kehamilan akan
berakhir dengan abortus spontan. Dari seluruh peristiwa abortus spontan,
50 - 75% adalah peristiwa kehamilan yang tergolong dalam " Chemical Pregnancies". Kejadian ini terjadi dimana
kehamilan segera berakhir setelah implantasi dan terjadi kehamilan sekitar
waktu perkiraan haid yang akan datang. Pasien dengan " chemical pregnancy" tak
menyadari bila dirinya hamil.
Di Zimbabwe, Afrika, dilaporkan bahwa
sekitar 28% seluruh kematian ibu berhubungan dengan abortus. Sementara di
Tanzania dan Adis Ababa masing-masing-masing sebesar 21% dan 54%. Hal ini
diperkirakan merupakan bagian kecil dari
kejadian yang sebenarnya, sebagai akibat ketidakterjangkauan pelayanan
kedokteran modern yang ditandai oleh kesenjangan informasi.
Berdasarkan
Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) 2002/2003, Angka Kematian Ibu
(AKI) di Indonesia masih berada pada 307 per 100.000 kelahiran hidup atau
setiap jam terdapat 2 orang ibu bersalin yang meninggal dunia karena berbagai
sebab. Penatalaksanaan MPS (Making Pregnancy Safer), target yang
diharapkan dapat dicapai tahun 2010 adalah angka kematian ibu menjadi 125 per
100.000 kelahiran hidup.
Beberapa kehamilan berakhir dengan kelahiran tetapi beberapa diantaranya
diakhiri dengan abortus. Abortus adalah ancaman atau pengeluaran hasil konsepsi
sebelum janin dapat hidup di luar kandungan dan sebagai batasan digunakan
kehamilan kurang dari 20 minggu atau berat janin kurang dari 500 gram,
sedangkan menurut WHO batasan usia kehamilan adalah sebelum 22 minggu.
Abortus didefenisikan sebagai keluarnya janin belum mencapai viabilitas
(yang mampu hidup diluar kandungan). Dan masa gestasi mencapai 22 minggu atau
lebih, berat janin 500 gr atau lebih. Abortus lebih sering terjadi pada wanita
berusia 30 tahun dan meningkatnya angka graviditas 6% kehamilan pertama atau
kedua berakhir dengan abortus, angka ini meningkat menjadi 16% pada kehamilan
ke-3 dan seterusnya (Hipokrates, 2002).
Kejadian abortus sulit diketahui, karena sebagian besar tidak dilaporkan
dan banyak dilakukan atas permintaan. Keguguran spontan diperkirakan sebesar
10% sampai 15% (Manuaba, 1998 p:214).
Insiden kehamilan diketahui secara klinis sebanyak 15%-25% diantara
kehamilan ini mengalami komplikasi perdarahan pada trimester pertama, 50% dari
ini mengalami abortus. Tidak ada bukti yang meyakinkan pengobatan manapun
mempengaruhi hasil akhir. 95% kehamilan berlangsung lewat trimester pertama. Bila
pada pemeriksaan USG terlihat aktivitas jantung janin (Indra, 2007).
Biasanya kejadian keguguran dilaporkan dalam angka keguguran (abortion
rate). Angka keguguran ialah jumlah keguguran dalam setiap 1000 kelahiran
hidup. Dilaporkan besar angka keguguran berkisar antara 8,3 sampai 15 %. Angka
ini diperkirakan lebih kecil daripada yang sebenarnya berdasarkan alasan-alasan
di atas. Angka keguguran ini bersifat umum dan tidak memperhitungkan semua
keguguran yang terjadi sejak kehamilan yang pertama. Angka keguguran yang
spesifik jumlah keguguran dalam setiap 1000 kehamilan dihitung sejak kehamilan
yang pertama pada setiap wanita yang pernah hamil pada satu populasi tertentu (dr. TMA Chalik
1997 p:2).
Diperkirakan frekuensi keguguran spontan berkisar antara 10-15 %. Namun
demikian, frekuensi seluruh keguguran yang pasti sukar ditentukan, karena
abortus buatan banyak yang tidak dilaporkan, kecuali bila telah terjadi
komplikasi. Juga karena sebagian keguguran spontan hanya disertai gejala dan
tanda ringan, sehingga wanita tidak datang ke dokter atau rumah sakit (Rustam
Muchtar, 1998 p: 211).
Sekitar 1 dari 100 hingga 200 wanita akan mengalami abortus 3 kali
berturut-turut, yang disebut abortus habitual atau abortus berulang. Jika
abortus berturut-turut ini merupakan abortus dengan kegagalan pembentukan
janin, hal ini biasanya tidak memerlukan penangan yang terlalu rumit, dan
kemungkinan kehamilan yang baik pada kehamilan berikutnya adalah 62%. Namun
jika yang terjadi adalah kematian janin, maka diperlukan pemeriksaan yang lebih
mendalam untuk mencari adanya kelainan-kelainan yang mungkin menjadi penyebab
dan mengatasinya, agar abortus tidak terulang kembali.
Di
dalam rencana strategi nasional Making Pregnancy Safer (MPS) di Indonesia 2001-2010 disebut bahwa
dalam konteks rencana pembangunan menuju Indonesia sehat 2010, Visi MPS adalah
“kehamilan dan persalinan di Indonesia berlangsung aman, serta bayi yang
dilahirkan hidup dan sehat.
Insiden
abortus sulit ditentukan karena kadang-kadang seorang wanita mengalami abortus
tanpa mengetahui bahwa ia hamil, dan tidak mempunyai gejala yang hebat sehingga
hanya dianggap sebagai menstruasi yang terlambat (siklus memanjang). Terlebih
lagi abortus kriminalis, sangat sulit ditentukan karena biasanya tidak
dilaporkan. Angka kejadian abortus dilaporkan oleh rumah sakit sebagai rasio
dari jumlah abortus terhadap jumlah kelahiran hidup. Di USA, angka kejadian
secara nasional berkisar antara 10-20%.
Di Indonesia, diperkirakan sekitar 2 – 2,5 % juga mengalami keguguran
setiap tahun, sehingga secara nyata dapat menurunkan angka kelahiran menjadi
1,7 pertahunnya (Manuaba, 2010).
AKI di Indonesia masih di dominasi perdarahan 42 %, ekslamsi 13% &
infeksi 10 % (BKKBN, 2005). Di Sumatera Barat AKI juga
mengalami penurunan dari 230 per 100.000 kelahiran hidup pada tahun 2006 menjadi 229 per 100.000
kelahiran hidup pada tahun 2007, turun menjadi 228 per 100.000 kelahiran hidup
pada tahun 2008. Sedangkan angka kematian bayi juga mengalami penurunan 36 per
1000 kelahiran hidup pada tahun 2006, menjadi 34 per 1000 kelahiran hidup pada tahun 2007, turun menjadi 34 per 1000
kelahiran hidup pada tahun 2008 (Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Barat 2008).
Dalam pencatatan medical record Rumah Sakit Dr. Achmad Muchtar Bukittinggi,
jumlah seluruh kasus abortus adalah 140 kasus pada tahun 2003. Menurut Malpas dan Eastman
kemungkinan terjadinya abortus lagi pada seorang wanita ialah 73% dan 83,6%
karena usia dan paritas. Sedangkan, Warton dan Fraser dan Llewellyn - Jones
memberi prognosis yang lebih baik, yaitu 25,9% dan 39% (Wiknjosastro, 2007).
kejadian abortus dapat disebabkan oleh usia dan paritas.kejadian abortus
diduga mempunyai efek terhadap kehamilan berikutnya, baik pada timbulnya
penyulit kehamilan maupun pada hasil kehamilan itu sendiri. Wanita dengan
riwayat abortus mempunyai risiko yang lebih tinggi untuk terjadinya persalinan
prematur, abortus berulang, Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) (Cunningham, 2005).
Pada penelitian Thom terhadap 2.146 penderita dengan riwayat abortus satu
kali, 94 orang (4,9%) menunjukkan adanya pertumbuhan janin yang terhambat pada
kehamilan berikutnya, 174 orang (8,7%) melahirkan bayi prematur. Sedangkan dari
638 penderita dengan riwayat abortus 3 kali atau lebih, ternyata terjadi
pertumbuhan janin yang terhambat pada 41 orang (6,4%), prematuritas pada 63
orang (10,8%) (Suryadi, 1994). Karena banyaknya kasus abortus ini terjadi, maka
penulis berusaha untuk membahas masalah abortus ini dan faktor-faktor yang
mempengaruhinya.
METODE PENELITIAN
Jenis
penelitian yang digunakan adalah metode deskriptif.
Metode penelitian deskriptif adalah suatu metode penelitian yang dilakukan dengan
tujuan utama untuk melihat gambaran tentang suatu keadaan secara objektif
(Notoatmodjo, 2005 p: 138). Dalam penelitian ini penulis hanya mengambarkan
apakah umur dan paritas ibu merupakan penyebab terjadinya abortus di Rumah
Sakit dr. Achmad Muchtar Bukittinggi. Penelitian dilakukan di Medical Record Rumah Sakit Dr. Achmad
Muchtar Bukittinggi. Penelitian ini
dilaksanakan di mulai pada bulan April-Mei tahun 2011.
Populasi adalah keseluruhan
subjek penelitian (Arikunto, 2002:108). Populasi pada penelitian ini adalah
seluruh Ibu yang abortus pada Januari-Maret 2010 yang terdapat di Rumah Sakit Dr. Achmad Muchtar yaitu sebanyak
80 orang. Sampelnya adalah semua
rekam medis kejadian abortus di RSUD Dr. Achmad Muchtar Bukittinggi periode
Januari-Maret 2010. Jadi, sampel yang digunakan adalah seluruh data catatan
rekam medis kejadian abortus pada Januari-Maret 2010 (total sampling). Sampel dalam penelitian ini yaitu
menjadikan seluruh rekam medis kejadian abortus di Rumah Sakit Dr. Achmad
Muchtar Bukittinggi yaitu sebanyak 80 orang.
Pengumpulan data yang
dilakukan dengan melihat catatan rekam medik ( data sekunder ) di RSUD Dr.
Achmad Muchtar Bukittinggi dengan menggunakan alat pengumpulan data dalam
bentuk check list, ibu hamil yang mengalami abortus dari periode Januari–Maret
2010. Data
yang sudah dikumpulkan, kemudian dapat diolah dengan bantuan komputer. Beberapa
kegiatan yang harus dilakukan dalam pengolahan data yaitu :
a. Editing (Pemeriksaan Data)
Kegiatan mengecek kembali terhadap jawaban pada
lembar checklist apakah sudah lengkap, jelas dan sudah relevan untuk menjaga
kualitas data, kebenaran data dan kelengkapan data agar dapat di proses ke tahap
berikutnya.
b. Coding (Pengkodean Data)
Memberikan kode pada lembar checklist sehingga
informasi dari data yang telah terkumpul dan mempermudah dalam
mengklasifikasikan data secara teratur.
c. Entry (Memasukkan Data)
Memasukkan coding ke dalam program pengolahan data
d. Cleaning (Pembersihan Data)
Sebelum analisis data terhadap data yang
dimasukkan, perlu dilakukan pengecekan, jika ditemukan kesalahan dalam
memasukkan kode dapat diperbaiki kembali
e. Tabulating (Tabulasi Data)
Pekerjaan tabulasi data adalah pekerjaan
membuat tabel checklist kemudian dimasukkan kedalam tabel distribusi frekuensi
(Hastono 2006, p.1).
Analisa data dilakukan untuk melihat distribusi frekuensi
masing-masing variabel dalam bentuk persentase yang ditampilkan dalam bentuk
tabel. dengan menggunakan rumus P = F / N
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Analisa univariat
1.
Gambaran usia ibu
Untuk lebih jelasnya distribusi frekuensi usia
ibu yang mengalami abortus tergambar pada tabel berikut ini :
Distribusi Frekuensi Usia
Ibu Hamil yang Mengalami Abortus di
Rumah
Sakit Dr. Achmad Mochtar Bukittinggi
Tahun
2010
Kategori
Usia
|
F
|
(%)
|
Resiko tinggi
Tidak resiko tinggi
|
44
36
|
55,0
45,0
|
Jumlah
|
80
|
100
|
Dari tabel dari 80
responden yang mengalami abortus terdapat sebanyak 44 orang (55,0%) dengan usia
resiko tinggi.
Dari tabel dapat
diketahui bahwa distribusi usia ibu yang mengalami abortus pada Rumah Sakit Dr.
Achmad Mochtar Bukittinggi tahun 2010 terdiri dari 44 orang (55,0 %) ibu dengan
usia resiko tinggi (< 20 tahun dan > 35 tahun), dan 36 orang (45,0 %) ibu
dengan usia tidak resiko tinggi (20 – 35 tahun).
Rata-rata usia ibu yang mengalami
abortus adalah 33.34 tahun, dengan usia terendah 16 tahun dan usia tertinggi 50
tahun. Usia yang terbanyak mengalami abortus adalah ibu yang berusia 36 tahun.
Usia responden yang mengalami abortus ini dikategorikan menjadi beresiko jika
usia < 20 tahun dan > 35 tahun, serta usia tidak beresiko jika usia 20 –
35 tahun adalah usia individu yang terhitung mulai saat dilahirkan sampai saat beberapa
tahun.
Semakin cukup umur tingkat kematangan
dan kekuatan seseorang akan lebih matang dalam berfikir dan bekerja dari segi
kepercayaan masyarakat yang lebih dewasa akan lebih percaya dari pada orang
belum cukup tinggi kedewasaannya. Hal ini sebagai akibat dari pengalaman jiwa
(Nursalam, 2001). Menurut Hanafi (2002) umur dibedakan menjadi :
a. Umur resiko tinggi adalah usia kurang dari 20
tahun dan lebih dari 35 tahun
b. Usia tidak beresiko adalah usia sama dengan 20
tahun sampai 35 tahun
Usia
ibu yang baik untuk masa kehamilan dan persalinan antara umur 20 tahun – 35
tahun. Ini disebut juga dengan reproduksi sehat. Wanita yang melahirkan dibawah
usia 20 tahun atau lebih dari 35 tahun mempunyai resiko yang tinggi baik pada
ibu maupun bayinya (Prawirohardjo, 2005, P.23).
Usia
yang beresiko ini juga disebabkan karena kurangnya pengetahuan ibu tentang
batasan usia reproduksi yang sehat, sehingga dalam usia > 35 tahun mereka
tidak berusaha untuk menghentikan kehamilan melalui program keluarga berencana.
Selain itu, juga disebabkan karena usia perkawinan yang terlalu tua sebagai
akibat kesibukan bekerja yang membuat mereka kurang memikirkan tentang
pernikahan dan menikah dalam usia lanjut. Hal ini berdampak pada masih adanya
keinginan untuk memiliki anak pada usia > 35 tahun disebabkan karena belum
punya anak sama sekali ataupun karena belum merasa cukup dengan jumlah anak
yang ada.
Sementara bagi ibu dengan usia 20 – 35 tahun (masa reproduksi sehat)
menunjukkan bahwa mereka mengetahui batasan usia kehamilan dan persalinan yang
baik dan kurang mengandung resiko.
Banyaknya ibu dengan usia beresiko yang mengalami abortus disebabkan karena
pada usia < 20 tahun, endometrium masih belum sempurna. Sedangkan pada usia
> 35 tahun merupakan usia yang banyak mengalami masalah medis karena kondisi ibu yang tidak
prima lagi, terutama jika paritas ibu sudah lebih dari 3. Dalam kurun reproduksi sehat dikenal bahwa usia aman untuk kehamilan dan
persalinan adalah 20-30 tahun. Kematian maternal pada wanita hamil dan
melahirkan pada usia di bawah 20 tahun ternyata 2-5 kali lebih tinggi daripada
kematian maternal yang terjadi pada usia 20-29 tahun. Kematian maternal
meningkat kembali sesudah usia 30-35 tahun. Ibu-ibu yang terlalu muda
seringkali secara emosional dan fisik belum matang, selain pendidikan pada
umumnya rendah, ibu yang masih muda masih tergantung pada orang lain. Keguguran
sebagian dilakukan dengan sengaja untuk menghilangkan kehamilan remaja yang
tidak dikehendaki.
Sedangkan ibu yang berusia tidak beresiko dan mengalami abortus dapat
disebabkan karena adanya faktor lain yang menjadi pencetus terjadinya abortus,
seperti kelainan
endokrin (hormonal) misalnya kekurangan tiroid, kencing manis; faktor kekebalan
(imunologi), misalnya pada penyakit lupus, Anti phospholipid syndrome; infeksi,
diduga akibat beberapa virus seperti cacar air, campak jerman, toksoplasma ,
herpes, klamidia; kelemahan otot leher rahim dan kelainan bentuk rahim.
Abortus lebih sering terjadi pada
wanita berusia 30 tahun dan meningkatnya angka graviditas 6% kehamilan pertama
atau kedua berakhir dengan abortus, angka ini meningkat menjadi 16% pada
kehamilan ke-3 dan seterusnya (Hipokrates, 2002).
Menurut Yulita Timi Pasa‘bi mahasiswa akademi kebidanan Bina Sejahtera
dengan judul gambaran faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya abortus
inkomplet di rumah sakit ellim rantepao toraja tahun 2010 , kejadian abortus
terjadi karena faktor usia adalah dari umur
> 35 tahun yaitu sebanyak 93 kasus ( 56,71 % ) dari 164 kasus ( 95,35% ) di rumah sakit Ellim rantepao
Toraja Utara.
Menurut asumsi peneliti, ibu yang memiliki usia
beresiko tinggi disebabkan karena adanya usia perkawinan yang sangat muda (<
20 tahun) dan
usia ibu sudah melewati batas normal untuk hamil ( ≥ 35 tahun ) sebagai
akibat dari tingkat pendidikan dan pengetahuan yang rendah maupun sosial
ekonomi yang rendah, sehingga mereka tidak mengetahui dampak yang lahir dari
sebuah perkawinan usia muda.
2.
Gambaran Paritas Ibu
Untuk lebih jelasnya distribusi
frekuensi paritas ibu yang mengalami abortus tergambar pada table berikut ini :
Distribusi
Frekuensi Paritas Ibu Hamil yang Mengalami Abortus di
Rumah
Sakit Dr. Achmad Mochtar Bukittinggi
Tahun 2010
Kategori
|
Frekuensi
|
Persentase
(%)
|
Paritas tinggi
Paritas rendah
|
42
38
|
52,5
47,5
|
Jumlah
|
80
|
100
|
Dari tabel dari 80 responden yang
mengalami abortus terdapat sebanyak 42 orang (52,5%) yaitu dengan paritas
tinggi ( ≥ 4 ).
Dari tabel dapat diketahui bahwa distribusi paritas ibu yang mengalami
abortus pada Rumah Sakit Dr. Achmad Mochtar Bukittinggi tahun 2010 terdiri dari
42 orang (52,5 %) ibu dengan paritas tinggi (> 4), dan 38 orang (47,5
%) ibu dengan paritas rendah (< 4).
Paritas merupakan
faktor yang sangat berpengaruh terhadap hasil konsepsi. Perlu diwaspadai karena
ibu pernah hamil atau melahirkan anak 4 kali atau lebih.
Paritas adalah
kelahiran setelah gestasi 20 minggu, tanpa
memperhatikan apakah bayi hidup atau mati (Patricia W, 2006). Paritas / para “pernah melahirkan”,
paritas ibu merupakan frekuensi ibu pernah melahirkan anak, hidup atau mati,
tetapi bukan aborsi (Salmah, 2006).
Sementara bagi
responden yang dengan paritas rendah disebabkan karena usia ibu yang relatif masih muda serta adanya pelaksanaan
program keluarga berencana yang gencar dipromosikan oleh petugas kesehatan.
Banyaknya responden
dengan paritas tinggi yang mengalami abortus disebabkan karena pada keadaan ini
uterus tidak mampu bekerja maksimal sehingga mengakibatkan terjadinya abortus,
apalagi jika diikuti oleh usia yang juga beresiko tinggi.
Sementara bagi ibu
dengan paritas rendah yang mengalami abortus dapat disebabkan karena abortus
buatan sebagai akibat adanya indikasi medis untuk kelainan bawaan berat serta
gangguan pertumbuhan dan perkembangan dalam rahim. Rata-rata paritas ibu yang
mengalami abortus adalah 3,26 tahun, dengan paritas terendah 0 dan paritas
tertinggi 9 tahun. paritas yang terbanyak mengalami abortus adalah paritas 4.
Paritas responden yang mengalami abortus ini dikategorikan menjadi paritas
tinggi jika > 4, serta dan paritas rendah jika < 4.
Paritas
1 – 3 merupakan paritas yang baik untuk kesehatan ibu maupun janin yang
dikandungnya. Bila ibu mempunyai anak lebih dari 4 orang dapat menimbulkan
resiko untuk terjadinya gangguan pertumbuhan janin dalam kandungan dan
menyebabkan bayi lahir dengan berat badan lahir rendah. Ibu yang mempunyai
banyak anak dengan jarak kehamilan yang pendek (kurang 24 bulan) akan beresiko
untuk menderita anemia dan terjadinya abortus. Ibu yang memiliki banyak anak akan lebih
disibukkan oleh kegiatan untuk mengurusi anak-anaknya dibandingkan untuk
mengurusi dirinya sendiri, yang berdampak pada kurangnya perhatian ibu terhadap
kecukupan gizi bagi dirinya juga kandungannya, sehingga kesehatan ibu menurun
dan janin mengalami gangguan pertumbuhan didalam kandungan (Prawirohardjo,
2004, P. 26).
Menurut Kusniati kejadian abortus yg terjadi karena
faktor paritas adalah 70 kasus ( 51% ) dari 138 kasus karena rahim ibu sudah
melemah Di Rumah Sakit Ibu Dan Anak An Ni'mah Kecamatan Wangon Kabupaten
Banyumas Januari-Juni 2007.
Menurut
asumsi peneliti, responden dengan paritas tinggi disebabkan karena masih adanya sosial budaya yang
berkembang di masyarakat bahwa banyak anak banyak rezki, ataupun pemahaman
agama yang mereka miliki tentang pelarangan program keluarga berencana. Paritas tinggi ini juga dapat disebabkan karena kurangnya
pengetahuan ibu tentang resiko dari paritas tinggi yang dapat berdampak tidak
baik terhadap janin maupun ibu.
KESIMPULAN
Dari hasil penelitian tentang gambaran
ibu yang mengalami kejadian abortus di Rumah Sakit Dr. Achmad Mochtar
Bukittinggi tahun 2010, dapat disimpulkan bahwa :
1.
Lebih dari separoh (55,0 %) ibu
yang mengalami abortus merupakan usia resiko tinggi (< 20 tahun dan > 35
tahun)
2.
Lebih dari separoh (52,5 %) ibu
yang mengalami abortus merupakan paritas tinggi (> 4)
SARAN
1.
Diharapkan kepada pihak Rumah
Sakit agar dapat memberikan penyuluhan kepada ibu hamil sehubungan dengan
kejadian abortus, sehingga dalam kehamilannya ibu lebih berhati-hati dan
memeriksakan diri secara rutin agar resiko kehamilan dapat dideteksi sedini
mungkin.
2.
Diharapkan kepada institusi
pendidikan agar dapat menambah bahan kepustakaan yang berhubungan dengan usia,
paritas dan abortus.
3.
Diharapkan kepada peneliti
selanjutnya untuk meneliti faktor lain yang menjadi penyebab terjadinya abortus
DAFTAR PUSTAKA
Arikunto, Suhasmi. 2006. Prosedur
Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Rineka Cipta
Buku Pedoman Penulisan
Karya Tulis Ilmiah Prodi Kebidanan Stikes Fort De
Kock Bukittinggi
Boyle, Maureen. 2002.
Kedaruratan Dalam Persalinan. Jakarta: EGC
Cuningham, Dkk. 1995. Obstetri
William, Jakarta: EGC
Manuaba, I. B. G. 1998. Ilmu Kebidanan,
Penyakit Kandungan Dan Keluarga Berencana Untuk Pendidikan Bidan. Jakarta:
EGC
___________ 1994. Kapita
Selekta Kedaruratan Obstetri Dan Ginekologi. Jakarta: EGC
___________ 2001. Kapita
Selekta Penatalaksanaan Rutin Obstetri Dan Ginekologi KB. Jakarta: EGC
Hastanto, Sutanto Priyo. 2006. Basic
Data Analysis For Health Research Training. FKM UI. Depok
Mochtar, Rustam. 1998.
Sinopsis Obstetri Edisi 2. Jakarta: EGC
___________. 1989. Sinopsis
Obstetri. Jakarta: EGC
Notoatmodjo, Soekidjo. 2005.
Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta. Indonesia
mari gabung bersama kami di Aj0QQ*c0M
ReplyDeleteBONUS CASHBACK 0.3% setiap senin
BONUS REFERAL 20% seumur hidup.