Friday, 5 January 2018

JURNAL : GAMBARAN FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB TERJADINYA ABORTUS DI RUMAH SAKIT DR. ACHMAD MUCHTAR BUKITTINGGI TAHUN 2012



GAMBARAN FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB TERJADINYA ABORTUS DI RUMAH SAKIT DR. ACHMAD MUCHTAR BUKITTINGGI TAHUN 2012



OLEH :

NAMA : SUKMAWATI
NIM : BT 11 071
KELAS : III B





AKADEMI KEPERAWATAN BATARI TOJA
W A T A M P O N E
2013

GAMBARAN FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB TERJADINYA ABORTUS DI RUMAH SAKIT DR. ACHMAD MUCHTAR BUKITTINGGI TAHUN 2012

Oleh :Nurhayati
ABSTRAK
Abortus didefenisikan sebagai keluarnya janin belum mencapai viabilitas (yang mampu hidup diluar kandungan). Dan masa gestasi mencapai 22 minggu atau lebih, berat janin 500 gr atau lebih. Abortus lebih sering terjadi pada wanita berusia 30 tahun dan meningkatnya angka graviditas 6% kehamilan pertama atau kedua berakhir dengan abortus, angka ini meningkat menjadi 16% pada kehamilan ke-3 dan seterusnya (Hipokrates, 2002).
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran faktor-faktor penyebab terjadinya abortus ditinjau dari segi umur dan paritas di Rumah Sakit Dr. Achmad muchtar bukittinggi Tahun 2010.
Metode penelitian ini adalah metode survey dengan pendekatan deskriptif. Populasi penelitian adalah kejadian abortus yang ada di Rumah sakit Dr. Achmad muchtar pada Januari-Maret Tahun 2010 sebanyak 80 kasus dan sampel penelitian ini adalah pasien yang dirawat dengan diagnosa abortus selama Januari-Maret Tahun 2010 sebanyak 80 kasus. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan sistem manual yaitu tabel dan kalkulator.
Dari hasil penelitian didapatkan angka kejadian abortus pada Januari-Maret tahun 2010 sebanyak 80 kasus (95,35%) . kasus abortus terbanyak di temukan pada umur >35 tahun sebanyak 44 kasus (55,00%), kasus abortus dengan paritas yang tinggi adalah sebanyak 42  kasus (52,5%). Melihat data tersebut maka di perlukan peran serta dari berbagai pihak dari institusi, petugas kesehatan, lingkungan keluarga maupun dari masyarakat umum dalam mencegah faktor-faktor penyebab kejadian abortus.
Dapat disimpulkan bahwa lebih dari separoh ibu yang mengalami abortus merupakan usia resiko tinggi dan paritas tinggi. Diharapkan kepada pihak Rumah Sakit, institusi dan peneliti agar dapat memberikan penyuluhan kepada ibu hamil sehubungan dengan kejadian abortus, sehingga dalam kehamilannya ibu lebih berhati-hati dan memeriksakan diri secara rutin agar resiko kehamilan dapat dideteksi sedini mungkin.


ABSTRACT
Abortion is defined as the release of the fetus has not reached viability (capable of living outside the womb). And gestation is 22 weeks or more, fetal weight 500 g or more. Abortion is more common in women aged 30 years and the increasing number of gravidity 6% of the first or second pregnancies ended in abortion, this figure increased to 16% of pregnancies in the 3rd and so on (Hippocrates, 2002). This study aimed to know the description of the factors causing the occurrence of abortion in terms of age and parity at the Hospital Dr. Achmad Mochtar Bukittinggi 2010.
The method of this research is survey method with the approach deskriptif. Populasi study was the incidence of abortion in hospital Dr. Achmad Mochtar in January-March of 2010 as many as 80 cases and samples of this study were patients who were treated with a diagnosis of abortion during the January-March of 2010 as many as 80 cases. The research was carried out using a manual system of tables and calculators.
From the result showed the incidence of abortion in January-March of 2010 as many as 80 cases (95.35%). abortion in most cases found at age> 35 years as many as 44 cases (55.00%), with the abortion cases that high parity is as many as 42 cases (52.5%). Looking at the data it is in need of participation of various stakeholders of the institutions, health workers, family environment and the general public in preventing the factors that cause the incidence of abortion.
We can conclude that more than half women who experienced abortion is a high risk age and high parity. Hospitals are expected to parties, institutions and researchers in order to provide counseling to pregnant women with respect to the incidence of abortion, resulting in her pregnancy the mother is more cautious and consult on a regular basis so that the risk of pregnancy can be detected as early as possible.

PENDAHULUAN
Masalah kesehatan merupakan masalah penting yang tengah dihadapi oleh masyarakat saat ini, apalagi yang tengah menimpa kaum wanita. Kesehatan reproduksi wanita adalah hal yang sangat perlu diperhatikan menimbang bahwa wanita adalah makhluk yang unik. Disini wanita ini, dalam siklus hidupnya mengalami tahap-tahap kehidupan, diantaranya dapat hamil dan melahirkan.
Menurut data WHO persentase kemungkinan terjadinya abortus cukup tinggi. Sekitar 15–40% angka kejadian, diketahui pada ibu yang sudah dinyatakan positif hamil, dan 60–75% angka abortus terjadi sebelum usia kehamilan mencapai 12 minggu (Lestariningsih, 2008).
Menurut ACOG - American College of Obstetricians and Gynecologists, abortus spontan adalah jenis kegagalan kehamilan yang sering dijumpai. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa 10 - 25% kehamilan akan berakhir dengan abortus spontan. Dari seluruh peristiwa abortus spontan,  50 - 75% adalah peristiwa kehamilan yang tergolong dalam " Chemical Pregnancies". Kejadian ini terjadi dimana kehamilan segera berakhir setelah implantasi dan terjadi kehamilan sekitar waktu perkiraan haid yang akan datang. Pasien dengan " chemical pregnancy" tak menyadari bila dirinya hamil.
Di Zimbabwe, Afrika, dilaporkan bahwa sekitar 28% seluruh kematian ibu berhubungan dengan abortus. Sementara di Tanzania dan Adis Ababa masing-masing-masing sebesar 21% dan 54%. Hal ini diperkirakan merupakan bagian kecil dari kejadian yang sebenarnya, sebagai akibat ketidakterjangkauan pelayanan kedokteran modern yang ditandai oleh kesenjangan informasi.
Berdasarkan Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) 2002/2003, Angka Kematian Ibu (AKI) di Indonesia masih berada pada 307 per 100.000 kelahiran hidup atau setiap jam terdapat 2 orang ibu bersalin yang meninggal dunia karena berbagai sebab. Penatalaksanaan MPS (Making Pregnancy Safer), target yang diharapkan dapat dicapai tahun 2010 adalah angka kematian ibu menjadi 125 per 100.000 kelahiran hidup.
Beberapa kehamilan berakhir dengan kelahiran tetapi beberapa diantaranya diakhiri dengan abortus. Abortus adalah ancaman atau pengeluaran hasil konsepsi sebelum janin dapat hidup di luar kandungan dan sebagai batasan digunakan kehamilan kurang dari 20 minggu atau berat janin kurang dari 500 gram, sedangkan menurut WHO batasan usia kehamilan adalah sebelum 22 minggu.
Abortus didefenisikan sebagai keluarnya janin belum mencapai viabilitas (yang mampu hidup diluar kandungan). Dan masa gestasi mencapai 22 minggu atau lebih, berat janin 500 gr atau lebih. Abortus lebih sering terjadi pada wanita berusia 30 tahun dan meningkatnya angka graviditas 6% kehamilan pertama atau kedua berakhir dengan abortus, angka ini meningkat menjadi 16% pada kehamilan ke-3 dan seterusnya (Hipokrates, 2002).
Kejadian abortus sulit diketahui, karena sebagian besar tidak dilaporkan dan banyak dilakukan atas permintaan. Keguguran spontan diperkirakan sebesar 10% sampai 15% (Manuaba, 1998 p:214).
Insiden kehamilan diketahui secara klinis sebanyak 15%-25% diantara kehamilan ini mengalami komplikasi perdarahan pada trimester pertama, 50% dari ini mengalami abortus. Tidak ada bukti yang meyakinkan pengobatan manapun mempengaruhi hasil akhir. 95% kehamilan berlangsung lewat trimester pertama. Bila pada pemeriksaan USG terlihat aktivitas jantung janin (Indra, 2007).
Biasanya kejadian keguguran dilaporkan dalam angka keguguran (abortion rate). Angka keguguran ialah jumlah keguguran dalam setiap 1000 kelahiran hidup. Dilaporkan besar angka keguguran berkisar antara 8,3 sampai 15 %. Angka ini diperkirakan lebih kecil daripada yang sebenarnya berdasarkan alasan-alasan di atas. Angka keguguran ini bersifat umum dan tidak memperhitungkan semua keguguran yang terjadi sejak kehamilan yang pertama. Angka keguguran yang spesifik jumlah keguguran dalam setiap 1000 kehamilan dihitung sejak kehamilan yang pertama pada setiap wanita yang pernah hamil pada satu populasi tertentu (dr. TMA Chalik 1997 p:2).
Diperkirakan frekuensi keguguran spontan berkisar antara 10-15 %. Namun demikian, frekuensi seluruh keguguran yang pasti sukar ditentukan, karena abortus buatan banyak yang tidak dilaporkan, kecuali bila telah terjadi komplikasi. Juga karena sebagian keguguran spontan hanya disertai gejala dan tanda ringan, sehingga wanita tidak datang ke dokter atau rumah sakit (Rustam Muchtar, 1998 p: 211).
Sekitar 1 dari 100 hingga 200 wanita akan mengalami abortus 3 kali berturut-turut, yang disebut abortus habitual atau abortus berulang. Jika abortus berturut-turut ini merupakan abortus dengan kegagalan pembentukan janin, hal ini biasanya tidak memerlukan penangan yang terlalu rumit, dan kemungkinan kehamilan yang baik pada kehamilan berikutnya adalah 62%. Namun jika yang terjadi adalah kematian janin, maka diperlukan pemeriksaan yang lebih mendalam untuk mencari adanya kelainan-kelainan yang mungkin menjadi penyebab dan mengatasinya, agar abortus tidak terulang kembali.
Di dalam rencana strategi nasional Making Pregnancy Safer (MPS) di Indonesia  2001-2010 disebut bahwa dalam konteks rencana pembangunan menuju Indonesia sehat 2010, Visi MPS adalah “kehamilan dan persalinan di Indonesia berlangsung aman, serta bayi yang dilahirkan hidup dan sehat.
Insiden abortus sulit ditentukan karena kadang-kadang seorang wanita mengalami abortus tanpa mengetahui bahwa ia hamil, dan tidak mempunyai gejala yang hebat sehingga hanya dianggap sebagai menstruasi yang terlambat (siklus memanjang). Terlebih lagi abortus kriminalis, sangat sulit ditentukan karena biasanya tidak dilaporkan. Angka kejadian abortus dilaporkan oleh rumah sakit sebagai rasio dari jumlah abortus terhadap jumlah kelahiran hidup. Di USA, angka kejadian secara nasional berkisar antara 10-20%.
Di Indonesia, diperkirakan sekitar 2 – 2,5 % juga mengalami keguguran setiap tahun, sehingga secara nyata dapat menurunkan angka kelahiran menjadi 1,7 pertahunnya (Manuaba, 2010).
AKI di Indonesia masih di dominasi perdarahan 42 %, ekslamsi 13% & infeksi 10 % (BKKBN, 2005). Di Sumatera Barat AKI  juga mengalami penurunan dari 230 per 100.000 kelahiran hidup  pada tahun 2006 menjadi 229 per 100.000 kelahiran hidup pada tahun 2007, turun menjadi 228 per 100.000 kelahiran hidup pada tahun 2008. Sedangkan angka kematian bayi juga mengalami penurunan 36 per 1000 kelahiran hidup pada tahun 2006, menjadi 34 per 1000 kelahiran hidup  pada tahun 2007, turun menjadi 34 per 1000 kelahiran hidup pada tahun 2008 (Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Barat 2008).
Dalam pencatatan medical record Rumah Sakit Dr. Achmad Muchtar Bukittinggi, jumlah seluruh kasus abortus adalah 140 kasus pada tahun 2003. Menurut Malpas dan Eastman kemungkinan terjadinya abortus lagi pada seorang wanita ialah 73% dan 83,6% karena usia dan paritas. Sedangkan, Warton dan Fraser dan Llewellyn - Jones memberi prognosis yang lebih baik, yaitu 25,9% dan 39% (Wiknjosastro, 2007).
kejadian abortus dapat disebabkan oleh usia dan paritas.kejadian abortus diduga mempunyai efek terhadap kehamilan berikutnya, baik pada timbulnya penyulit kehamilan maupun pada hasil kehamilan itu sendiri. Wanita dengan riwayat abortus mempunyai risiko yang lebih tinggi untuk terjadinya persalinan prematur, abortus berulang, Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) (Cunningham, 2005).
Pada penelitian Thom terhadap 2.146 penderita dengan riwayat abortus satu kali, 94 orang (4,9%) menunjukkan adanya pertumbuhan janin yang terhambat pada kehamilan berikutnya, 174 orang (8,7%) melahirkan bayi prematur. Sedangkan dari 638 penderita dengan riwayat abortus 3 kali atau lebih, ternyata terjadi pertumbuhan janin yang terhambat pada 41 orang (6,4%), prematuritas pada 63 orang (10,8%) (Suryadi, 1994). Karena banyaknya kasus abortus ini terjadi, maka penulis berusaha untuk membahas masalah abortus ini dan faktor-faktor yang mempengaruhinya.

METODE PENELITIAN
            Jenis penelitian yang digunakan adalah metode deskriptif. Metode penelitian deskriptif adalah suatu metode penelitian yang dilakukan dengan tujuan utama untuk melihat gambaran tentang suatu keadaan secara objektif (Notoatmodjo, 2005 p: 138). Dalam penelitian ini penulis hanya mengambarkan apakah umur dan paritas ibu merupakan penyebab terjadinya abortus di Rumah Sakit dr. Achmad Muchtar Bukittinggi. Penelitian dilakukan di Medical Record Rumah Sakit Dr. Achmad Muchtar Bukittinggi. Penelitian ini dilaksanakan di mulai pada bulan April-Mei tahun 2011.
            Populasi adalah keseluruhan subjek penelitian (Arikunto, 2002:108). Populasi pada penelitian ini adalah seluruh Ibu yang abortus pada Januari-Maret 2010 yang terdapat di  Rumah Sakit Dr. Achmad Muchtar yaitu sebanyak 80 orang. Sampelnya adalah semua rekam medis kejadian abortus di RSUD Dr. Achmad Muchtar Bukittinggi periode Januari-Maret 2010. Jadi, sampel yang digunakan adalah seluruh data catatan rekam medis kejadian abortus pada Januari-Maret 2010 (total sampling). Sampel dalam penelitian ini yaitu menjadikan seluruh rekam medis kejadian abortus di Rumah Sakit Dr. Achmad Muchtar Bukittinggi yaitu sebanyak 80 orang.
            Pengumpulan data yang dilakukan dengan melihat catatan rekam medik ( data sekunder ) di RSUD Dr. Achmad Muchtar Bukittinggi dengan menggunakan alat pengumpulan data dalam bentuk check list, ibu hamil yang mengalami abortus dari periode Januari–Maret 2010. Data yang sudah dikumpulkan, kemudian dapat diolah dengan bantuan komputer. Beberapa kegiatan yang harus dilakukan dalam pengolahan data yaitu :
a.      Editing (Pemeriksaan Data)
Kegiatan mengecek kembali terhadap jawaban pada lembar checklist apakah sudah lengkap, jelas dan sudah relevan untuk menjaga kualitas data, kebenaran data dan kelengkapan data agar dapat di proses ke tahap berikutnya.
b.      Coding (Pengkodean Data)
Memberikan kode pada lembar checklist sehingga informasi dari data yang telah terkumpul dan mempermudah dalam mengklasifikasikan data secara teratur.
c.       Entry (Memasukkan Data)
Memasukkan coding ke dalam program pengolahan data
d.      Cleaning (Pembersihan Data)
Sebelum analisis data terhadap data yang dimasukkan, perlu dilakukan pengecekan, jika ditemukan kesalahan dalam memasukkan kode dapat diperbaiki kembali
e.       Tabulating (Tabulasi Data)
Pekerjaan tabulasi data adalah pekerjaan membuat tabel checklist kemudian dimasukkan kedalam tabel distribusi frekuensi (Hastono 2006, p.1).
Analisa data dilakukan untuk melihat distribusi frekuensi masing-masing variabel dalam bentuk persentase yang ditampilkan dalam bentuk tabel. dengan menggunakan rumus P = F / N



HASIL DAN PEMBAHASAN
A.    Analisa univariat
1.        Gambaran usia ibu
Untuk lebih jelasnya distribusi frekuensi usia ibu yang mengalami abortus tergambar pada tabel berikut ini :

Distribusi Frekuensi Usia Ibu Hamil yang Mengalami Abortus di
Rumah Sakit Dr. Achmad Mochtar Bukittinggi
Tahun 2010

Kategori Usia
F
 (%)
Resiko tinggi
Tidak resiko tinggi
44
36
55,0
45,0
Jumlah
80
100

Dari tabel dari 80 responden yang mengalami abortus terdapat sebanyak 44 orang (55,0%) dengan usia resiko tinggi.
Dari tabel dapat diketahui bahwa distribusi usia ibu yang mengalami abortus pada Rumah Sakit Dr. Achmad Mochtar Bukittinggi tahun 2010 terdiri dari 44 orang (55,0 %) ibu dengan usia resiko tinggi (< 20 tahun dan > 35 tahun), dan 36 orang (45,0 %) ibu dengan usia tidak resiko tinggi (20 – 35 tahun).
Rata-rata usia ibu yang mengalami abortus adalah 33.34 tahun, dengan usia terendah 16 tahun dan usia tertinggi 50 tahun. Usia yang terbanyak mengalami abortus adalah ibu yang berusia 36 tahun. Usia responden yang mengalami abortus ini dikategorikan menjadi beresiko jika usia < 20 tahun dan > 35 tahun, serta usia tidak beresiko jika usia 20 – 35 tahun adalah usia individu yang terhitung mulai saat dilahirkan sampai saat beberapa tahun.
Semakin cukup umur tingkat kematangan dan kekuatan seseorang akan lebih matang dalam berfikir dan bekerja dari segi kepercayaan masyarakat yang lebih dewasa akan lebih percaya dari pada orang belum cukup tinggi kedewasaannya. Hal ini sebagai akibat dari pengalaman jiwa (Nursalam, 2001). Menurut Hanafi (2002) umur dibedakan menjadi :
a.    Umur resiko tinggi adalah usia kurang dari 20 tahun dan lebih dari 35 tahun
b.    Usia tidak beresiko adalah usia sama dengan 20 tahun sampai 35 tahun
Usia ibu yang baik untuk masa kehamilan dan persalinan antara umur 20 tahun – 35 tahun. Ini disebut juga dengan reproduksi sehat. Wanita yang melahirkan dibawah usia 20 tahun atau lebih dari 35 tahun mempunyai resiko yang tinggi baik pada ibu maupun bayinya (Prawirohardjo, 2005, P.23).
Usia yang beresiko ini juga disebabkan karena kurangnya pengetahuan ibu tentang batasan usia reproduksi yang sehat, sehingga dalam usia > 35 tahun mereka tidak berusaha untuk menghentikan kehamilan melalui program keluarga berencana. Selain itu, juga disebabkan karena usia perkawinan yang terlalu tua sebagai akibat kesibukan bekerja yang membuat mereka kurang memikirkan tentang pernikahan dan menikah dalam usia lanjut. Hal ini berdampak pada masih adanya keinginan untuk memiliki anak pada usia > 35 tahun disebabkan karena belum punya anak sama sekali ataupun karena belum merasa cukup dengan jumlah anak yang ada.
Sementara bagi ibu dengan usia 20 – 35 tahun (masa reproduksi sehat) menunjukkan bahwa mereka mengetahui batasan usia kehamilan dan persalinan yang baik dan kurang mengandung resiko.
Banyaknya ibu dengan usia beresiko yang mengalami abortus disebabkan karena pada usia < 20 tahun, endometrium masih belum sempurna. Sedangkan pada usia > 35 tahun merupakan usia yang banyak mengalami  masalah medis karena kondisi ibu yang tidak prima lagi, terutama jika paritas ibu sudah lebih dari 3. Dalam kurun reproduksi sehat dikenal bahwa usia aman untuk kehamilan dan persalinan adalah 20-30 tahun. Kematian maternal pada wanita hamil dan melahirkan pada usia di bawah 20 tahun ternyata 2-5 kali lebih tinggi daripada kematian maternal yang terjadi pada usia 20-29 tahun. Kematian maternal meningkat kembali sesudah usia 30-35 tahun. Ibu-ibu yang terlalu muda seringkali secara emosional dan fisik belum matang, selain pendidikan pada umumnya rendah, ibu yang masih muda masih tergantung pada orang lain. Keguguran sebagian dilakukan dengan sengaja untuk menghilangkan kehamilan remaja yang tidak dikehendaki.
Sedangkan ibu yang berusia tidak beresiko dan mengalami abortus dapat disebabkan karena adanya faktor lain yang menjadi pencetus terjadinya abortus, seperti kelainan endokrin (hormonal) misalnya kekurangan tiroid, kencing manis; faktor kekebalan (imunologi), misalnya pada penyakit lupus, Anti phospholipid syndrome; infeksi, diduga akibat beberapa virus seperti cacar air, campak jerman, toksoplasma , herpes, klamidia; kelemahan otot leher rahim dan kelainan bentuk rahim.
Abortus lebih sering terjadi pada wanita berusia 30 tahun dan meningkatnya angka graviditas 6% kehamilan pertama atau kedua berakhir dengan abortus, angka ini meningkat menjadi 16% pada kehamilan ke-3 dan seterusnya (Hipokrates, 2002).
Menurut Yulita Timi Pasa‘bi mahasiswa akademi kebidanan Bina Sejahtera dengan judul gambaran faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya abortus inkomplet di rumah sakit ellim rantepao toraja tahun 2010 , kejadian abortus terjadi karena faktor usia adalah dari umur  > 35 tahun yaitu sebanyak 93 kasus ( 56,71 % ) dari 164 kasus  ( 95,35% ) di rumah sakit Ellim rantepao Toraja Utara.
Menurut asumsi peneliti, ibu yang memiliki usia beresiko tinggi disebabkan karena adanya usia perkawinan yang sangat muda (< 20 tahun) dan usia ibu sudah melewati batas normal untuk hamil ( ≥ 35 tahun ) sebagai akibat dari tingkat pendidikan dan pengetahuan yang rendah maupun sosial ekonomi yang rendah, sehingga mereka tidak mengetahui dampak yang lahir dari sebuah perkawinan usia muda.
2.      Gambaran Paritas Ibu
Untuk lebih jelasnya distribusi frekuensi paritas ibu yang mengalami abortus tergambar pada table berikut ini :


Distribusi Frekuensi Paritas Ibu Hamil yang Mengalami Abortus di
Rumah Sakit Dr. Achmad Mochtar Bukittinggi
 Tahun 2010

Kategori
Frekuensi
Persentase (%)
Paritas tinggi
Paritas rendah
42
38
52,5
47,5
Jumlah
80
100

Dari tabel dari 80 responden yang mengalami abortus terdapat sebanyak 42 orang (52,5%) yaitu dengan paritas tinggi ( ≥ 4 ).
Dari tabel dapat diketahui bahwa distribusi paritas ibu yang mengalami abortus pada Rumah Sakit Dr. Achmad Mochtar Bukittinggi tahun 2010 terdiri dari 42 orang (52,5 %) ibu dengan paritas tinggi (> 4), dan 38 orang (47,5 %) ibu dengan paritas rendah (< 4).
Paritas merupakan faktor yang sangat berpengaruh terhadap hasil konsepsi. Perlu diwaspadai karena ibu pernah hamil atau melahirkan anak 4 kali atau lebih.
Paritas adalah kelahiran setelah gestasi 20 minggu, tanpa  memperhatikan apakah bayi hidup atau mati (Patricia W, 2006). Paritas / para “pernah melahirkan”, paritas ibu merupakan frekuensi ibu pernah melahirkan anak, hidup atau mati, tetapi bukan aborsi (Salmah, 2006).
Sementara bagi responden yang dengan paritas rendah disebabkan karena usia ibu yang relatif masih muda serta adanya pelaksanaan program keluarga berencana yang gencar dipromosikan oleh petugas kesehatan.
Banyaknya responden dengan paritas tinggi yang mengalami abortus disebabkan karena pada keadaan ini uterus tidak mampu bekerja maksimal sehingga mengakibatkan terjadinya abortus, apalagi jika diikuti oleh usia yang juga beresiko tinggi.
Sementara bagi ibu dengan paritas rendah yang mengalami abortus dapat disebabkan karena abortus buatan sebagai akibat adanya indikasi medis untuk kelainan bawaan berat serta gangguan pertumbuhan dan perkembangan dalam rahim. Rata-rata paritas ibu yang mengalami abortus adalah 3,26 tahun, dengan paritas terendah 0 dan paritas tertinggi 9 tahun. paritas yang terbanyak mengalami abortus adalah paritas 4. Paritas responden yang mengalami abortus ini dikategorikan menjadi paritas tinggi jika > 4, serta dan paritas rendah jika < 4.
Paritas 1 – 3 merupakan paritas yang baik untuk kesehatan ibu maupun janin yang dikandungnya. Bila ibu mempunyai anak lebih dari 4 orang dapat menimbulkan resiko untuk terjadinya gangguan pertumbuhan janin dalam kandungan dan menyebabkan bayi lahir dengan berat badan lahir rendah. Ibu yang mempunyai banyak anak dengan jarak kehamilan yang pendek (kurang 24 bulan) akan beresiko untuk menderita anemia dan terjadinya abortus. Ibu yang memiliki banyak anak akan lebih disibukkan oleh kegiatan untuk mengurusi anak-anaknya dibandingkan untuk mengurusi dirinya sendiri, yang berdampak pada kurangnya perhatian ibu terhadap kecukupan gizi bagi dirinya juga kandungannya, sehingga kesehatan ibu menurun dan janin mengalami gangguan pertumbuhan didalam kandungan (Prawirohardjo, 2004, P. 26).
Menurut Kusniati kejadian abortus yg terjadi karena faktor paritas adalah 70 kasus ( 51% ) dari 138 kasus karena rahim ibu sudah melemah Di Rumah Sakit Ibu Dan Anak An Ni'mah Kecamatan Wangon Kabupaten Banyumas Januari-Juni 2007.
Menurut asumsi peneliti, responden dengan paritas tinggi disebabkan karena masih adanya sosial budaya yang berkembang di masyarakat bahwa banyak anak banyak rezki, ataupun pemahaman agama yang mereka miliki tentang pelarangan program keluarga berencana. Paritas tinggi ini juga dapat disebabkan karena kurangnya pengetahuan ibu tentang resiko dari paritas tinggi yang dapat berdampak tidak baik terhadap janin maupun ibu.




KESIMPULAN
Dari hasil penelitian tentang gambaran ibu yang mengalami kejadian abortus di Rumah Sakit Dr. Achmad Mochtar Bukittinggi tahun 2010, dapat disimpulkan bahwa :
1.      Lebih dari separoh (55,0 %) ibu yang mengalami abortus merupakan usia resiko tinggi (< 20 tahun dan > 35 tahun)
2.      Lebih dari separoh (52,5 %) ibu yang mengalami abortus merupakan paritas tinggi (> 4)
SARAN
1.      Diharapkan kepada pihak Rumah Sakit agar dapat memberikan penyuluhan kepada ibu hamil sehubungan dengan kejadian abortus, sehingga dalam kehamilannya ibu lebih berhati-hati dan memeriksakan diri secara rutin agar resiko kehamilan dapat dideteksi sedini mungkin.
2.      Diharapkan kepada institusi pendidikan agar dapat menambah bahan kepustakaan yang berhubungan dengan usia, paritas dan abortus.
3.      Diharapkan kepada peneliti selanjutnya untuk meneliti faktor lain yang menjadi penyebab terjadinya abortus
DAFTAR PUSTAKA
Arikunto, Suhasmi. 2006. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Rineka Cipta
Buku Pedoman Penulisan Karya Tulis Ilmiah Prodi Kebidanan Stikes Fort De Kock Bukittinggi
Boyle, Maureen. 2002. Kedaruratan Dalam Persalinan. Jakarta: EGC
Cuningham, Dkk. 1995. Obstetri William, Jakarta: EGC
Manuaba, I. B. G. 1998. Ilmu Kebidanan, Penyakit Kandungan Dan Keluarga Berencana Untuk Pendidikan Bidan. Jakarta: EGC
___________ 1994. Kapita Selekta Kedaruratan Obstetri Dan Ginekologi. Jakarta: EGC
___________ 2001. Kapita Selekta Penatalaksanaan Rutin Obstetri Dan Ginekologi KB. Jakarta: EGC
Hastanto, Sutanto Priyo. 2006. Basic Data Analysis For Health Research Training. FKM UI. Depok
Mochtar, Rustam. 1998. Sinopsis Obstetri Edisi 2. Jakarta: EGC
___________. 1989. Sinopsis Obstetri. Jakarta: EGC
Notoatmodjo, Soekidjo. 2005. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta. Indonesia

1 comment:

  1. mari gabung bersama kami di Aj0QQ*c0M
    BONUS CASHBACK 0.3% setiap senin
    BONUS REFERAL 20% seumur hidup.

    ReplyDelete

MAKALAHKU

MAKALAH TATANIAGA HASIL PERIKANAN

Tugas Individu MAKALAH TATANIAGA HASIL PERIKANAN Oleh ASRIANI 213095 2006 SEKOLAH TINGGI ILMU P...