Saturday 23 December 2017

MAKALAH PEMILU NASIONAL SERENTAK

BAB I
PENDAHULUAN
A.  LATAR BELAKANG
Pemilu  serentak  (concurrent  electionssecara  sederhana  dapat  didefinisikan  sebagai  sistem pemilu yang melangsungkan beberapa pemilihan pada satu waktu secara bersamaan. Jenis-jenis pemilihan tersebut mencakup pemilihan eksekutif dan legislatif di beragam tingkat yang dikenal di negara yang bersangkutan, yang terentang dari tingkat nasional, regional hingga pemilihan di tingkat lokal. Di negara-negara anggota Uni Eropa, pemilu serentak bahkan termasuk menyelenggarakan  pemilu  untuk  tingkat  supra-nasional,  yakni  pemilihaanggota  parlemen Eropa  secara  berbarengan  dengan  pemilu  nasional,  regional  atau    lokal. Dengan  adanya beragam faktor yang mempengaruhi penyelenggaraan pemilu serentak, maka terdapat beberapa varian yang sebagian sudah diterapkan dan beberapa lagi masih sifatnya hipotetis.
Sistem pemilu serentak sudah diterapkan di banyak negara demokrasi. Sistem ini ditemukan tidak hanya di negara-negara yang telah lama menerapkan sistem demokrasi seperti Amerika Serikat dan negara-negara di kawasan Eropa Barat, melainkan juga ditemukan di banyak negara demokrasi yang relatif lebih muda seperti negara-negara demokrasi di kawasan Amerika Latin12, Eropa Timur dan Eropa Timur. Namun di Asia Tenggara, sistem pemilu serentak belum banyak dikenal. Dari lima negara yang menerapkan pemilu—meski tidak sepenuhnya demokratishanya Philipina yang menerapkan sistem pemilu serentak dalam memilih presiden dan anggota legislatif, sementara Indonesia, Malaysia, Singapore dan Thailand tidak menggunakan sistem pemilu serentak.
Dalam penggunaan sistem pemilu serentak, praktik umum yang banyak diterapkan adalah menggabungkan pemilihan eksekutif dengan pemilihan anggota legislatif. Di Amerika Latin, Jones (1995: 10) mencatat bahwa pemilihan presiden dan anggota legislatif dilakukan secara serentak di Bolivia, Columbia, Costa Rica, Guatemala, Guyana, Honduras, Nicaragua, Panama, Paraguay, Peru, Uruguay, Venezuela. Bukan hanya untuk tingkat nasional, di beberapa negara pemilu serentak juga dilakukan dengan menggabungan pelaksanaan pemilu nasional dan pemilu regional atau lokal. Di Amerika Serikat, misalnya, di beberapa negara bagian pemilu menggabungkan bukan hanya pemilihan presiden dan anggota Kongres serta Senat di tingkat pusat, melainkan pada waktu yang bersamaan juga menyelenggarakan pemilihan gubernur dan legislator di tingkat negara bagian.15  Di Amerika Latin, Brazil juga menerapkan model serupa. Pemilu dilakukan secara serentak dengan menggabungkan pemilihan presiden dan anggota parlemen di tingkat nasional, dan pemilihan gubernur dan legislator di tingkat negara bagian.


B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, penyusun merumuskan rumusan masalah sebagai berikut:
1.  Bagaimana sistem pemilihan pemilu nasional serentak?
2.  Apa itu daerah pemilihan?
3.  Siapa saja peserta pemilu dan bagaimana pola pencalonan?
4.  Apa itu kampaye?
C. TUJUAN PENULISAN
Sejalan dengan rumusan masalah di atas, makalah ini disusun dengan tujuan untuk mengetahui dan mendeskripsikan:
1.  Untuk mengetahui bagaimana sistem pemilihan pemilu nasional serentak;
2.  Untuk mengetahui apa itu daerah pemilihan;
3.  Untuk mengetahui siapa saja peserta pemilu dan bagaimana pola pencalonan;
4.  Untuk mengetahui apa itu kampaye.
D. MANFAAT PENULISAN
Makalah ini disusun dengan harapan dapat memberikan manfaat bagi penyusun maupun pembaca. Manfaat yang dapat dirasakan penyusun yaitu sebagai penambahan wawasan dan pengetahuan bagaimana sistem pemilihan pemilu nasional serentak. Sedangkan manfaat yang diharapkan kepada pembaca yaitu sebagai media informasi tentang sistem pemilihan pemilu nasional serentak.
BAB II
PEMBAHASAN
A.  SISTEM PEMILIHAN PEMILU NASIONAL SERENTAK
1.  Ruang Lingkup
Ruang lingkup Sistem pemilihan ini mengatur tata cara pemilu serentak nasional yang terdiri atas mekanisme dan tata cara pemilihan Presiden dan Wakil Presiden secara langsung dan  tata cara pemilihan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR); serta tata cara pemilihan Anggota Dewan Perwakilan Daerah. Sementara itu, tata cara pemilu serentak lokal tidak menjadi bagian pada ruang lingkup sistem pemilihan pemilu serentak nasional ini.[1]
2.  Sistem Pemilihan
Sistem pemilihan ini mengatur tata cara bagaimana calon presiden/wakil presiden, calon anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan calon anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dipilih oleh rakyat secara langsung.
Dari segi sistem pemilihannya, untuk memilih calon presiden/wakil presiden tidak mengalami perubahan sistem. Sistem pemilihan yang digunakan dalam memilih presiden dan wakil presiden adalah sistem plurality bukan majority atau 50% + 1, sebagaimana diatur pada UUD 1945. Sementara itu, sistem pemilihan yang digunakan untuk memilih anggota DPD adalah sistem distrik berwakil banyak. Sistem distrik berwakil banyak adalah sebuah sistem pemilihan yang digunakan untuk memilih anggota DPD, di mana para pemenangnya didasarkan atas urutan suara terbanyak di suatu daerah pemilihan yang telah ditentukan.
Sedangkan untuk sistem pemilihan calon anggota DPR, secara teori dikenal dua rumpun besar sistem pemilihan yaitu sistem proporsional dan sistem mayoritarian. Dari dua rumpun besar itu di beberapa negara dikembangkan sistem campuran (mixed system) yang menggunakan mekanisme kedua sistem (proporsional dan mayoritarian) bekerja secara bersamaan. Dalam konteks pemilu serentak pada hakikatnya pilihan tersebut menghendaki agar ada efek penyelenggaraan pemilu yang diserentakkan waktu pelaksanaannya yang disebut sebagai presidential coattail dan kecerdasan berpolitik (political efficacy) bahwa pilihan terhadap calon presiden/wakil presiden akan berdampak pada pilihan terhadap partai politiknya atau calon-calon anggota DPR yang dicalonkan oleh partai politik.
Pilihan untuk mendorong agar ada pengaruh presidential coattail dan political efficacy, antara lain dapat dipengaruhi oleh apakah pilihan calon presiden/wakil presiden dengan anggota DPR/partai—dalam satu kertas suara atau pada kertas suara yang berbeda. Meski ada alasan- alasan  mandat  yang  berbeda dari  keduanya  sehingga  tidak  mungkin  bisa disatukan,  namun beberapa negara tetap saja menyatukan proses pemilihan dalam satu kertas suara. Alasannya selain karena faktor efisiensi, juga dalam kontek pemilu serentak diyakini dapat memperbesar efek pilihan terhadap calon presiden/wakil presiden terhadap partai/calon anggota DPR manakala satu kertas suara ketimbang beda kertas suara.
Walau demikian, perlu penghitungan secara teknis penyelenggaraan, sistem pemilu manakah yang paling mudah untuk proses tersebut. Selain alasan teknis penyelenggaraan, pilihan terhadap sistem pemilu yang digunakan juga perlu disesuaikan dengan tujuan penggunaannya, khususnya upaya untuk mendorong multipartai sederhana (moderat) dapat diwujudkan.
Terhadap  kebutuhan tersebut,  ada beberapa pilihan  kombinasi  pilihan sistem  dengan teknis penyelenggaraanya sebagai cara memperoleh efek yang diharapkan.. Pertama, tetap mempertahankan sistem proporsional terbuka (PR terbuka) untuk memilih anggota DPR. Keuntungan menggunakan PR terbuka, antara lain dapat mengurangi oligarkhi partai dalam proses  rekrutmen  dan  pencalonan  anggota  DPR  dan  pemilih  dapat  langsung  memberikan suaranya  kepada  wakil  yang  dituju.  Akan  tetapi  kekurangannya,  partai  politik  memang kehilangan kontrol terhadap calon-calon wakil rakyatnya, maraknya penggunaan politik uang dalam mencari dukungan, terjadinya kompetisi intra partai dan antar partai yang tidak sehat dan terjadinya pencurian suara antarkandidat. Secara teknis pemilihan, pemilih diberi dua peluang memilih  partai  dan/atau  memilih  calon  daftar  terbuka.  Dalam  praktik  pelaksanaan  pemilu pemilih seringkali mengalami kebingungan untuk menentukan calon mana yang ingin dipilih karena begitu banyak calon yang harus mereka pilih. Acapkali banyak pemilih yang tidak memiliki preferensi sehingga akhirnya memilih partai politik ketimbang memilih calon daftar terbuka.
Dalam pemilu serentak, apabila sistem pemilihan anggota DPR-nya menggunakan sistem proporsional terbuka, secara teknis sangat sulit untuk menyatukan dalam satu kerta suara antara calon presiden/wakil presiden dengan calon daftar terbuka dan partai politik. Kertas suaranya akan sangat lebar. Konsekuensinya kalau sistem PR terbuka yang digunakan maka tetap akan ada 3 kotak dalam penyelenggaraan pemilu serentak, kotak 1 untuk memilih calon presiden/wakil presiden; kotak 2 untuk memilih anggota DPR/partai politik; dan kotak 3 untuk memilih anggota DPD.
Pilihan kedua adalah dengan menggunakan proporsional tertutup. Memang bisa dianggap sebagai kemunduran, atau perubahayang tidak ideal. Akan tetapi tidak pernah ada satu evaluasi dengan penerapan sistem PR terbuka, seberapa banyak perbandingan pemilih memilih partai atau daftar orang. Secara sekilas hasil pilihan pemilih di setiap TPS cenderung menunjukkan masih besarnya pilihan pemilih kepada partai ketimbang kepada daftar calon terbuka. Efektifitas pengunaan PR terbuka selain karena kekurangan-kekurangan yang disebut di atas, juga antara lain belum sepenuhnya menjadi pilihan bagi pemilih. Hal itu juga terbuka kandidat yang lolos Bilangan Pembagi Pemilih (BPP) karena memperoleh suara yang melampui atau tertinggi, persentasenya juga kecil atau rendah. Kalau PR tertutup yang digunakan dalam pemilu serentak, secara teknis penyelenggaraan dapat lebih efisien dan mendorong pengaruh presidential coattail atau political efficacy yang jauh lebih tinggi karena pemilih secara langsung akan dapat membandingkan pilihan calon presiden/wakil presidennya dengan partai politik penggusungnya dalam satu lembar kertas suara. Tidak ada split atau jeda karena letak kotak untuk memilih calon presiden/wakil presiden dengan gambar/lambang partai berdekatan, tingkat kemungkinan presidential coattail-nya jauh akan lebih tinggi dibandingkan dengan kertas suara yang terpisah antara kertas suara calon presiden/wakil presiden dengan calon anggota DPR/partai politik.
Pilihan ketiga ialah penyelenggaraan pemilu serentak sekaligus dengan mengubah sistem pemilihan  anggota  DPR/Partai  dari  sistem  yang  berbasis  proporsional  ke  sistem  pemilu campuran, khususnya pemilu paralel. Mengapa ke pemilu paralel, karena Pusat Penelitian Politik LIPI telah melakukan beberapa adaptasi dan ujicoba mengenai efektivitas sistem pemilu paralel dalam  rangka  menghasilkan  multipartai  moderat.  Hasil  simulasi  atau  ujicoba  yang  telah dilakukan oleh Pusat Penelitian Politik (P2P-LIPI) berbasis pada data Pemilu 2009 dan 2014 memperlihatkan adanya percepatan dalam menghasilkan komposisi partai politik yang sederhana (moderat)  di  parlemen tanpa  parliamentary  thresholdSistem  pemilu  paralel  adalah  sebuah sistem  di  mana  anggota  DPR  sebagian  dipilih  melalui  sistem  proporsional  (tertutup)  dan sebagian lainnya dipilih melalui sistem mayoritarian.
Dalam  konteks  teknis  penyelenggaraan  pemilu  serentak presiden  dan  wakil  presiden dengan sistem pemilu paralel, secara teknis lebih memungkinkan dilakukan dengan satu kertas suara ketimbang dengan sistem PR terbuka. Tingkat kemungkinan teknis penyelenggaraanya hampir  sama  dengan  kombinasi  pemilu  serentak  antara  sistem  plurality  dengan  sistem  PR tertutup dan/atau sistem plurality dengan sistem pemilu paralel, karena setiap partai hanya mengajukan lambang partai dan 1 nama untuk dipilih pada sistem mayoritarian. Jadi secara teknis lebih mudah menerapkannya ketimbang dengan sistem PR terbuka yang konsekuensinya harus 3 kertas suara, sementara kalau PR tertutup dan Paralel hanya akan ada 2 kertas suara, yaitu 1 kertas suara untuk memilih presiden/wakil presiden dan Partai/Calon Mayoritarian; dan 1 kertas suara untuk memilih calon anggota DPD.
Sedangkan dari segi sistem, keuntungan-keuntungan sistem pemilu paralel di antaranya akan memperbaiki kelemahan yang paling utama dari sistem proporsional yakni menyebarnya hasil pemilu karena multipartai yang dihasilkan adalah multipartai yang terfragmentasi. Dari tiga varian sistem pemilihan tersebut, position paper ini merekomendasikan penggunaan sistem pemilihan untuk anggota DPRnya dilakukan perubahan sistem agar tujuan penyederhanaan partai dari multipartai ekstrem ke yang sederhana dapat diwujudkan.[2]
B. DAERAH PEMILIHAN
1.  Pengertian dan Cakupannya
District Magnitude (besaran daerah pemilihan) selanjutnya disingkat DM adalah jumlah wakil yang akan dipilih dari satu daerah pemilihan. Besaran daerah pemilihan adalah jumlah alokasi kursi buat satu daerah pemilihan, atau dengan kata lain, penetapan jumlah wakil rakyat untuk mewakili sejumlah penduduk/pemilih dalam satu daerah pemilihan.
Oleh karena itu, district magnitude adalah suatu konsep yang menjelaskan bukan berapa banyak pemilih tinggal di suatu daerah pemilihan, melainkan berapa banyak wakil yang dicalonkan untuk dipilih di suatu daerah pemilihan. Dengan demikian, district magnitude mengacu pada jumlah wakil yang akan dipilih dari suatu daerah pemilihan (number of representatives elected from the district). Wakil yang akan dipilih tersebut dapat berjumlah tunggal/satu (single member constituency) atau berjumlah banyak (multi member constituency).
Atas  dasar  itu,  district  magnitude  dalam  sistem  pemilihan  ini  terdiri  atas  tiga  yaitu besaran Daerah Pemilihan Anggota DPR; besaran Daerah Pemilihan Anggota DPD; dan besaran Daerah Pemilihan Presiden/Wakil Presiden. Ketiganya menyesuaikan dengan prinsip-prinsip sistem pemilihan yang dianut. Pada district magnitude anggota DPR, sistem pemilihan yang digunakan adalah Sistem Proporsional (terbuka). Karena itu, district magnitude-nya menganut prinsip berwakil banyak (multi member constituency), bukan berwakil tunggal. Sedangkan untuk memilih anggota DPD, sistem pemilihan yang digunakan adalah sistem majoritarian berwakil banyak yang berbasis di provinsi. Sementara dalam memilih presiden dan wakil presiden, sistem yang digunakan adalah plurality (50% + 1) bukan majority, dengan district magnitude wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam prinsip single member constituency.
C. PESERTA PEMILU DAN POLA PENCALONAN
1.  Peserta Pemilu
Dalam  pemilu  serentak  ini,  karena  pemilu  serentak  dibagi  dalam  opsi  pemilu  serentak nasional lokal, maka pemilu serentak nasional yang dapat menjadi peserta pemilu adalah pertama, peserta pemilu anggota DPR adalah partai politik yang telah menenuhi persyaratan yang telah ditentukan. Kedua, peserta pemilu anggota DPD adalah perseorangan yang telah memenuhi persyaratan. Dan, ketiga peserta pemilu presiden dan wakil presiden adalah partai politik dan/atau gabungan partai politik sebagaimana telah di atur dalam UUD 1945.[3]
Ketentuan mengenai peserta pemilu serentak diatur menurut kepersertaan masing- masing.  Bagi  peserta  pemilu  Anggota  DPR,  beberapa  persyaratan  yanharus  dipenuhi, antara lain:
a.  Partai  politik  yang  memenuhi  syarat  sebagai  peserta  pemilihan  umum  secara serentak;
b.  Syarat partai politik sebagai peserta pemilu dalam Naskah Akademik ini adalah sebuah syarat yang diperketat, meliputi beberapa syarat sebagai berikut;
1)  Berstatus badan hukum sesuai dengan Undang-undang tentang partai politik;
2)  Memiliki kepengurusan di seluruh provinsi;
3)  Memiliki   kepengurusa di   75%   (tujuh   puluh   lima   persen)   jumlah kabupaten/kota di provinsi bersangkutan;
4)  Memiliki kepengurusan di 60% (enam puluh lima persen) jumlah kecamatan di kabupaten/kota yang bersangkutan;
5)  Memiliki   kepengurusan   sekurang-kurangny 30%   (tiga   puluh   persen) pewakilan perempuan pada kepengurusan partai politik  tingkat pusat;
6)  Memiliki anggota sekurang-kurangnya 1.500 (seribu lima ratus) orang atau 1/1500 (satu perseribu lima ratus) dari jumlah penduduk pada kepengurusan partai politik sebagaimana di maksud pada poin 3;
7)  Memiliki  kantor  tetap  untuk  kepengurusan  di  tingkat  pusat,  provinsi,  dan kabupaten/kota;
8)  Memiliki nama, lambang, dan tanda gambar partai politik; dan
9)  Memiliki deposit (dana tabungan) sebagai syarat pendirian partai politik.[4]
Dalam konteks persyaratan partai politik peserta pemilu di atas, karena sifat dari pemilu serentak yang dirancang pada dua tingkatan (nasional lokal) dengan jarak pemilu serentak nasional 2 hingga 2,5 tahun dengan pemilu serentak lokal, maka partai politik yang telah lolos sebagai peserta pemilu serentak nasional secara otomatis menjadi partai politik peserta pemilu serentak lokal. Adapun partai lokal,‖ seperti di Aceh, harus mengikuti prosedur dan persyaratan untuk dapat mengikuti pemilu serentak lokal.
Dalam   konteks   keserentakan,   pencalonan   calon   presiden   dan   waki presiden dilakukan oleh partai atau gabungan partai politik yang telah dinyatakan sebagai peserta pemilu serentak yang telah menggabungkan dengan partai lainnya. Artinya, partai politik yang tidak menjadi peserta pemilu serentak tidak diperbolehkan menjadi bagian dari proses pencalonan calon presiden dan wakil presiden. Sedangkan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD), pesertanya adalah individu dan/atau perseorangan.
2.  Pola Pencalonan
a.  Presiden dan Wakil Presiden
Proses pencalonan presiden/wakil presiden dalam pemilu serentak dilakukan dengan beberapa tahapan sebagai berikut:
1)  Presiden dan wakil presiden dicalonkan dalam satu paket yang utuh;
2)  Partai politik yang berhak mengajukan calon presiden adalah partai politik dan/atau gabungan yang telah lolos sebagai partai peserta pemilu;
3)  Sebelum proses pencalonan calon presiden dan wakil presiden dilakukan oleh partai politik kepada Komisi Pemilihan Umum, partai politik diwajibkan melakukan proses pemilihan pendahuluan untuk menentukan calon presiden/wakil presiden yang akan diusung oleh masing-masing partai. Pemilihan pendahuluan (konvensi) dilakukan dengan mengelar proses pemilihan calon presiden/wakil presiden minimal melibatkan beberapa unsur internal partai antara lain unsur pengurus partai mulai dari DPP, DPD, DPC dan ranting dan unsur anggota DPR, DPRD Provinsi, Kabupaten/Kota dari partai yang bersangkutan. Selain itu, unsur-unsur anggota partai juga dapat dilibatkan dalam pemilu pendahuluan oleh masing-masing partai politik.
4)  Proses pemilu pendahuluan dalam menentukan calon presiden/wakil presiden ini dilakukan secara akuntabel, disupervisi oleh KPU, dan diawasi oleh Bawaslu; dan
5)  Partai politik yang tidak melakukan pemilihan awal (pra-pemilu) dalam menentukan  calon  presiden/wakil  presiden,  calonnya  akan  ditolak  oleh Komisi Pemilihan Umum.
6)  Koalisi yang dibangun pada proses pencalonan putaran pertama masih diberi kesempatan untuk mengalami perubahan apabila terjadi pemilihan presiden dan wakil presiden putaran kedua. Partai dan/atau gabungan partai politik membentuk  koalisi  permanen  yang  tetap  dan  tidak  dapat  diubah  diubah setelah hasil pemilihan presiden/wakil presiden putaran kedua diputuskan.[5]
b.  Pencalonan Anggota DPR
Rekruitmen calon-calon anggota DPR oleh partai politik merupakan salah satu faktor yang menentukan dalam menghasilkan kualitas dan kapabilitas wakil-wakil rakyat. Dalam rangka mendorong kualitas calon-calon yang diajukan oleh partai politik, setiap partai politik perlu mempersiapkan proses rekrutmen secara transparan, adil, berkualitas dan demokratis. Proses rekrutmen anggota DPR selain memiliki rekam jejak yang pasti, juga mempertimbangkan indikator pengalaman politik, pendidikan, pengalaman organisasi di dalam dan di luar partai, dedikasi dan loyalitas kepada partai, rekam jejak sebagai kader partai politik, integritas, dan beberapa persyaratan-persyaratan lainnya.
Oleh karena itu, persyaratan calon-calon anggota DPR tidak hanya mengatur syarat- syarat yang sifatnya abstrak, tidak dapat diukur, dan syarat yang  menimbulkan penafsiran yang jamak atau berbeda-beda. Pengaturan persyaratan calon-calon anggota DPR perlu didorong pada persyaratan yang berbasis kualitas dan kapabilitas calon-calon anggota DPR yang dapat diukur.
Dalam proses awal pencalonan, partai politik wajib mendorong proses rekrutmen berlandaskan prinsip-prinsip demokrasi internal partai. Salah satu cara yang dapat digunakan oleh partai politik adalah sistem scoring dalam proses rekrutmen calon-calon anggota DPR. Partai juga dapat melakukan proses penentuan scoring tersebut secara terbuka dan akuntabel. Selain cara itu, proses rekrutmen calon anggota DPR yang akan mewakili partai politik, dapat dilakukan dengan cara mempersiapkan calon-calon yang memiliki kualitas dengan cara pemilu pendahuluan internal partai secara terbatas. Partai-partai politik juga perlu mempersiapkan diri untuk melakukan proses kaderisasi secara berjenjang sehingga partai politik  sebagai  instrumen  produksi  kepemimpinan  dalam  mengisi  jabatan-jabatan  publik tidak mengalami kemandekan. Dalam menjamin adanya keterwakilan perempuan, pemberlakukan  sistem  ziper dabeberapa  aturan  yang telah  diterapkan  oleh KPU pada Pemilu 2014 di mana setiap partai politik wajib memenuhi 30 persen calon perempuan di setiap daerah pemilihan yang diajukan patut menjadi salah satu persyaratan yang dituangkan pada Undang-Undang pemilihan umum.[6]
c.   Pencalonan Anggota DPD
Pola pencalonan anggota DPD tidak terlalu banyak mengalami perubahan seperti yang telah digunakan pada Pemilu 2014. Pada dasarnya pola pencalonan anggota DPD ditentukan atas dasar pengajuan calon oleh perseorangan dengan syarat-syarat tertentu yang telah ditetapkan. Adapun tahapan dan syarat-syarat tersebut dilakukan melalui beberapa perbaikan untuk melakukan penataan persyaratan sebagaimana telah diatur pada Psal 11, 12, dan 13 UU No.
Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Di antara perbaikan-perbaikan itu ialah syarat domisili calon anggota DPD.
Perlu  batasan  minimal  syarat  domisili  ini  karena  DPD  adalah  perwakilan  ruang (bukan orang), oleh karena itu setiap calon wajib memiliki pengetahuan mengenai wilayah yang akan diwakili. Batasan domisili antara 5-6 tahun di wilayah tersebut dapat menjadi salah satu persyaratan yang mewajibkan bahwa setiap orang yang akan mencalonkan sebagai calon anggota DPD memiliki pengetahuan minimal mengenai wilayah yang akan diwakili. Perbaikan lain yang dapat dilakukan ialah memasukkan proses minimal verifikasi dukungan yang telah diatur pada Pasal 13 UU No. 8 Tahun 2012 dalam pasal undang-undang agar mengikat semua pihak. Dalam konteks jaminan dukungan tersebut, perlu ada tambahan persyaratan yang khususnya adalah sebaran dukungan dari 50 persen menjadi lima puluh persen lebih. Angka yang diusulkan menyebar lebih dari 65 persen wilayah provinsi, agar kualitas perwakilan ruang calon anggota DPD dapat diperbaiki.
Selain itu, pada UU mendatang juga perlu dimasukkan prinsip akuntabilitas yang lebih pasti anggota DPD sebagai perwakilan ruang, dengan adanya mosi tidak percaya daerah apabila anggota DPD tidak menjalankan fungsi-fungsinya. Kepada Anggota DPD yang mencalonkan   diri   jug diber kewajiba untuk   memberika deposi uang   jaminan sebagaimana  diberalkukan  kepada  partai  politik.  Besaran  uang  jaminan  ini  diusulkan sebanyak 100 juta.  Apabila yang bersangkutan tidak berhasil lolos, maka uang jaminan tersebut  akan  dipergunakan  untuk  membangun  dan  membiaya  dana  operasional  rumah aspirasi di provinsi yang bersangkutan.[7]
D. KAMPANYE
1.  Waktu Kampanye
Pemilu serentak diasumsikan akan dapat memunculkan efek calon presiden terhadap pilihan konstituen ke partai politik penggusungnya (presidential coattail). Selain itu, pemilu serentak juga ditengari akan melahirkan political eficacy, kecerdasan politik pemilih, karena pemilih didorong untuk rasional menentukan pilihan baik kepada calon presiden/wakil presiden dan kepada partai politik peserta pemilu. Dalam rangka mewujudkan adanya presidential coattail dan political eficacy serta efektivitas pemilu serentak dalam mendorong terjadinya mulipartai moderat, diperlukan suatu proses kampanye yang lebih panjang atau tidak dibatasi.
Oleh karena itu agar setiap calon presiden/wakil presiden dan partai-partai politik dapat secara maksimal mensosialisasikan visi, misi dan program-program mereka kepada pemilih, waktu kampanye memerlukan waktu yang lebih panjang. Diusulkan bahwa kampanye mulai dapat dilakukan oleh partai politik dan calon presiden atau wakil presiden setelah KPU mengumumkan tahapan hasil verifikasi partai politik peserta pemilu. Sehari setelah  KPU  menetapkan partai  politik  peserta  pemilu  serentak, partai-partai  yang lolos tersebut secara otomatis dapat melakukan kampanye hingga masa hari tenang seminggu menjelang pemberian suara dengan mentaati aturan kampanye yang meliputi bentuk atau cara kampanye, larangan kampanye dan pengaturan dana kampanye serta pengaturan- pengaturan lainnya yang berkaitan dengan kampanye.[8]
2.  Bentuk dan cara kampanye
Pemilihan umum bukan semata-mata cara untuk mengejar kekuasaan atau jabatan publik. Pemilihan umum juga memiliki fungsi lain sebagai instrumen pendidikan politik kepada para pemilih. Salah satunya diwujudkan melalui kampanye yang digunakan. Sebagai konsekuensi dari pemberian waktu kampanye yang relatif panjang, bisa lebih dari satu (1) tahun, maka calon presiden/wakil presiden; partai-partai politik/calon anggota DPR; dan calon anggota DPD diberi batasan terhadap bentuk atau cara kampanye. Kampanye model arak-arakan atau pengerahan massa hanya diberikan kepada calon/presiden wakil presiden dan partai politik/calon anggota DPR dan DPD masing-masing 1 kali di setiap provinsi. Selebihny adalah kampanye selain pengeran massa, yang merupakan bentuk kampanye secara lebih cerdas dan mendidik.
Khusus untuk calon presiden/wakil presiden diberikan kesempatan melakukan debat calon presiden/wakil presiden selama 10 kali sepanjang waktu kampanye yang akan diselenggarakan oleh Komisi Pemilihan Umum. Selain mengatur bentuk dan cara kampanye, pengaturan lain yang perlu dipertegas adalah pengaturan mengenai tim sukses/tim kampanye, yang diantaranya harus mencakup semua pihak yang mendukung calon tersebut. Pengaturan tim sukses/kampanye hanya pada tim yang didaftarkan kepada KPU menyebabkan banyak pihak di luar itu seperti sukarelawan dan tim suskses yang dibentuk mandiri oleh masyarakat tidak hanya tidak dapat diatur, tetapi juga tidak terjangkau oleh aturan perundang-undangan. Oleh karena itu, pengaturan mengenai tim sukses, tim kampanye, sukarelawan, dan tim-tim lainnyagar  mendaftarkan  ke  KPU  agaada  tanggungjawabnya  dalam  proses  pemilu menjadi sebuah keharusan agar tidak menimbulkan penyimpangan-penyimpangan. Salah satu contoh penyimpangan ialah bagi-bagi uang dan sembako yang dilakukan oleh simpatisan karena tidak tercatat dan bukan sebagai tim sukses/kampanye maka tidak bisa dijangkau oleh larangan kampanye atau larangan pemilu atau bentuk pidana lainnya.[9]
3.  Dana Kampanye
Salah satu persoalan pengaturan dana kampanye dari pemilu ke pemilu adalah audit dan pelaporan dana kampanye. Sistem PR terbuka telah membawa satu konsekuensi yang agak keliru,di  mana  peserta  pemilu  adalah  partai  politik,  tetapi  dalam  pelaporan  dana kampanye, yang didorong di antaranya adalah partai politik dan perorangan. Padahal peserta pemilu adalah partai politik.
Konsisten pengaturan mengenai dana kampanye ini diperlukan agar lebih memudahkan bagi KPU untuk melakukan verifikasi dan pengaturannya berbasis pada siapa yang menjadi peserta pemilu. Perubahan-perubahan pengaturan dana kampanye yang perlu dilakukan adalah mendorong semua transaksi melalui perbankan. Tanpa ada kewajiban itu, kontrol akan sulit dilakukan. Termasuk perbaikan yang dibutuhkan adalah mekanisme palaporan yang memiliki implikasi pada sanksi bagi peserta pemilu yang melakukan pelanggaran, apakah pada saat tahapan sedang berjalan dengan kewajiban-kewajiban laporan dana kampanye yang menjadi syarat sah atau tidaknya keikutsertaan partai politik pada setiap tahapan pemilu. Oleh karena itu, tahapan laporan dana kampanye, perlu didorong menjadi syarat bagi sah tidaknya perolehan suara partai dan suara calon presiden/wakil presiden serta anggota  DPD  sebelum  proses  pengumuman  pemenang  dan  suara  dilakukan  oleh  KPU, terlebih dahulu didahului oleh laporan audit dana kampanye oleh akuntan publik yang terpercaya.
Adapun batasan-batasan besaran dana sumbangan yang diperolehkan kepada setiap orang dapat mempertahakan prinsip pengaturan dana kampanye yang telah diatur pada UU No. 8 Tahun 2012 dan UU No. 42 Tahun 2008.[10]
















BAB III
PENUTUP
A.  SIMPULAN
1.  Ruang lingkup Sistem pemilihan ini mengatur tata cara pemilu serentak nasional yang terdiri atas mekanisme dan tata cara pemilihan Presiden dan Wakil Presiden secara langsung dan  tata cara pemilihan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR); serta tata cara pemilihan Anggota Dewan Perwakilan Daerah. Sementara itu, tata cara pemilu serentak lokal tidak menjadi bagian pada ruang lingkup sistem pemilihan pemilu serentak nasional ini.
2.  Sistem pemilihan ini mengatur tata cara bagaimana calon presiden/wakil presiden, calon anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan calon anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dipilih oleh rakyat secara langsung.
3.  District Magnitude (besaran daerah pemilihan) selanjutnya disingkat DM adalah jumlah wakil yang akan dipilih dari satu daerah pemilihan. Besaran daerah pemilihan adalah jumlah alokasi kursi buat satu daerah pemilihan, atau dengan kata lain, penetapan jumlah wakil rakyat untuk mewakili sejumlah penduduk/pemilih dalam satu daerah pemilihan.
4.  Bagi  peserta  pemilu  Anggota  DPR,  beberapa  persyaratan  yanharus  dipenuhi, antara lain: Partai  politik  yang  memenuhi  syarat  sebagai  peserta  pemilihan  umum  secara serentak; Syarat partai politik sebagai peserta pemilu dalam Naskah Akademik ini adalah sebuah syarat yang diperketat, meliputi beberapa syarat sebagai berikut; Berstatus badan hukum sesuai dengan Undang-undang tentang partai politik; Memiliki kepengurusan di seluruh provinsi; Memiliki   kepengurusa di   75%   (tujuh   puluh   lima   persen)   jumlah kabupaten/kota di provinsi bersangkutan; Memiliki kepengurusan di 60% (enam puluh lima persen) jumlah kecamatan di kabupaten/kota yang bersangkutan; Memiliki   kepengurusan   sekurang-kurangny 30%   (tiga   puluh   persen) pewakilan perempuan pada kepengurusan partai politik  tingkat pusat; Memiliki anggota sekurang-kurangnya 1.500 (seribu lima ratus) orang atau 1/1500 (satu perseribu lima ratus) dari jumlah penduduk pada kepengurusan partai politik sebagaimana di maksud pada poin 3; Memiliki  kantor  tetap  untuk  kepengurusan  di  tingkat  pusat,  provinsi,  dan kabupaten/kota; Memiliki nama, lambang, dan tanda gambar partai politik; dan Memiliki deposit (dana tabungan) sebagai syarat pendirian partai politik.
5.  Proses pencalonan presiden/wakil presiden dalam pemilu serentak dilakukan dengan beberapa tahapan sebagai berikut: Presiden dan wakil presiden dicalonkan dalam satu paket yang utuh; Partai politik yang berhak mengajukan calon presiden adalah partai politik dan/atau gabungan yang telah lolos sebagai partai peserta pemilu; Sebelum proses pencalonan calon presiden dan wakil presiden dilakukan oleh partai politik kepada Komisi Pemilihan Umum, partai politik diwajibkan melakukan proses pemilihan pendahuluan untuk menentukan calon presiden/wakil presiden yang akan diusung oleh masing-masing partai. Pemilihan pendahuluan (konvensi) dilakukan dengan mengelar proses pemilihan calon presiden/wakil presiden minimal melibatkan beberapa unsur internal partai antara lain unsur pengurus partai mulai dari DPP, DPD, DPC dan ranting dan unsur anggota DPR, DPRD Provinsi, Kabupaten/Kota dari partai yang bersangkutan. Selain itu, unsur-unsur anggota partai juga dapat dilibatkan dalam pemilu pendahuluan oleh masing-masing partai politik. Proses pemilu pendahuluan dalam menentukan calon presiden/wakil presiden ini dilakukan secara akuntabel, disupervisi oleh KPU, dan diawasi oleh Bawaslu; dan Partai politik yang tidak melakukan pemilihan awal (pra-pemilu) dalam menentukan  calon  presiden/wakil  presiden,  calonnya  akan  ditolak  oleh Komisi Pemilihan Umum; Koalisi yang dibangun pada proses pencalonan putaran pertama masih diberi kesempatan untuk mengalami perubahan apabila terjadi pemilihan presiden dan wakil presiden putaran kedua. Partai dan/atau gabungan partai politik membentuk  koalisi  permanen  yang  tetap  dan  tidak  dapat  diubah  diubah setelah hasil pemilihan presiden/wakil presiden putaran kedua diputuskan.
6.  Pemilu serentak diasumsikan akan dapat memunculkan efek calon presiden terhadap pilihan konstituen ke partai politik penggusungnya (presidential coattail). Selain itu, pemilu serentak juga ditengari akan melahirkan political eficacy, kecerdasan politik pemilih, karena pemilih didorong untuk rasional menentukan pilihan baik kepada calon presiden/wakil presiden dan kepada partai politik peserta pemilu. Dalam rangka mewujudkan adanya presidential coattail dan political eficacy serta efektivitas pemilu serentak dalam mendorong terjadinya mulipartai moderat, diperlukan suatu proses kampanye yang lebih panjang atau tidak dibatasi.
B. SARAN
Harusnya skema penyelenggaraan pemilu terpisah antara pemilu nasional dan pemilu local/daerah di pihak lain. Agar penyelenggaraan pileg tidak mendahului pemilu presiden/wapres (pilpres), karena pada saat ini bangsa kita sepakat untuk semakin memperkuat bangunan sistem kepresidensial. Pileg yang mendahului pilpers dalam skema presidensial jelas suatu anomalia atau penyimpangan mengingat di dalam sistem presidensial, lembaga legislative terpisah dari eksekutif.
Paling tidak ada dua UU pemilu serentak yang harus dibuat, pertama UU Pemilu Serentak Nasional dan perubahan atas UU Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada) menjadi Pemilu Lokal Serentak pada tingkatan provinsi.

DAFTAR RUJUKAN
Tim Penyusun Naskah Komprehensif Proses dan Hasil Perubahan UUD 1945. Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Latar Belakang, Proses, dan Hasil Pembahasan, 1999-2002, Buku V Pemilihan Umum. Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2008.
Haris, Syamsuddin, dkk. Pemilu Nasional Serentak 2019. Cet. I; Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2016.




                [1] Syamsuddin Haris, dkk, Pemilu Nasional Serentak 2019, (Cet. I; Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2016), hal. 71.
              [2] Desain yang disusun oleh LIPI menggunakan komposisi PR dan Mayoritarian dengan perbandingan 70:30. Hasil silmulasi menunjukkan ada partai pemenang mayoritas minimal dimana simulasi dengan data pemilu 2009 partai pemenang pemilunya memperoleh 34 persen kursi di parlemen, sedangkan simulasi dengan data Pemilu 2014 menunjukkan partai pemenang pemilu memperoleh 26 persen kursi di parlemen. Secara desain sudah diuji oleh Pusat Penelitian Politik yang dapat mendorong percepatan terciptanya multipartai moderat di parlemen. Hasil tersebut dapat dilihat pada penelitian Pusat Penelitian Politik, Adaptasi Sistem Pemilu Paralel Bagi Indonesia, (Jakarta: P2P-LIPI, 2014).
                [3] Upaya untuk menghasilkan multipartai yang moderat (sederhana) dalam Naskah Akademik  Desain Pemilu Serentak 2019 ini dilakukan dengan beberapa cara, antara lain: pertama, penataan district magnitude¸melalui perubahan besaran daerah pemilihan dari 3-10 menjadi 3-6. Kedua, melakukan proses penyebaran quota kursi (560 kursi DPR) ke setiap daerah pemilihan dengan rumus Saint Leaque Divisor (1, 3, 5, 7, 9...dst). Ketiga, melakukan perbaikan rumus konversi suara menjadi kursi dari Bilangan Pembangi Pemilih (BPP) dengan menggunakan rumus Saint Leaque Divisor (1, 3, 5, 7, 9...dst).
                [4] Syarat dana deposit ini sebaiknya diatur pada UU Partai Politik, bahwa dalam proses pendirian partai politik ada kewajiban untuk menyetorkan dana kepada kas Negara. Besaran dana ini ditetapkan atas dasar kesepakatan dalam proses penyusunan UU Partai Politik. Di sarankan bahwa besaran dana ini minimal 10 miliar. Selain tujuannya untuk membatasi agar  tidak semua orang  secarmudah mendirikan partai politik, juga ada tanggungjawab dari badan atau perkumpulan yang ingin mendirikan partai politik dengan kewajiban menyetor dana deposit. Apabila partai yang didirikan tidak lolos dalam pemilu, dana tersebut dipergunakan oleh negara untuk melakukan kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan pendidikan politik kepada konstituen.
                [5] Syamsuddin Haris, dkk, Pemilu Nasional Serentak 2019, hal. 83-84.
                [6] Syamsuddin Haris, dkk, Pemilu Nasional Serentak 2019, hal. 85.
                [7] Syamsuddin Haris, dkk, Pemilu Nasional Serentak 2019, hal. 86.
                [8] Syamsuddin Haris, dkk, Pemilu Nasional Serentak 2019, hal. 87.
                [9] Syamsuddin Haris, dkk, Pemilu Nasional Serentak 2019, 87-88.
                [10] Syamsuddin Haris, dkk, Pemilu Nasional Serentak 2019, 88-89.

No comments:

Post a Comment

MAKALAHKU

MAKALAH TATANIAGA HASIL PERIKANAN

Tugas Individu MAKALAH TATANIAGA HASIL PERIKANAN Oleh ASRIANI 213095 2006 SEKOLAH TINGGI ILMU P...