Saturday 23 December 2017

MAKALAH PERATURAN DAERAH PROVINSI

PERATURAN DAERAH PROVINSI




 















Makalah  Diajukan  Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Hukum Tata Negara
Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri
(STAIN) Watampone



Oleh :
Kelompok 6

v  Rosihan Bahar
v  Ayu Andira
v  Rafli








SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
WATAMPONE

 
2017/2018


KATA PENGANTAR


   Puji syukur kehadirat Allah SWT, atas segala berkat dan karuniaNya sehingga kami berhasil menyelesaikan Makalah ini, dengan judul "Peraturan Daerah Provinsi".
Makalah ini dapat digunakan sebagai wahana untuk menambah pengetahuan, sebagai teman belajar, dan sebagai referensi tambahan dalam belajar khususnya tentang Peraturan Daerah Provinsi. Makalah ini dibuat sedemikian rupa agar pembaca dapat dengan mudah mempelajari dan memahami isi makalah secara lebih lanjut.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu kami harapkan demi kesempurnaan makalah ini.
Akhir kata, kami sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah berperan serta dalam penyusunan makalah ini dari awal sampai akhir.




Watampone,  07  Desember  2017


                                                                               Penulis







DAFTAR ISI

Halaman
KATA PENGANTAR .............................................................................               i
DAFTAR ISI .............................................................................................               ii
BAB I..... PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang.....................................................................               1
B.       Rumusan Masalah.................................................................               3
C.       Tujuan Penulisan...................................................................               3
BAB II... PEMBAHASAN
A.       Pengertian Peraturan Daerah Provinsi..................................               4
B.       Fungsi Peraturan Daerah Provinsi........................................               5
C.       Prosedur Penyusunan Perda Provinsi...................................               6
D.       Asas Pembentukan Perda Provinsi ......................................               11
BAB III.. PENUTUP
A.       Kesimpulan...........................................................................               15
B.       Saran.....................................................................................               16
DAFTAR PUSTAKA









BAB I
PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang
Menurut Undang- Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang dimaksud dengan Peraturan Daerah (Perda) adalah peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dengan persetujuan bersama Kepala Daerah.Definisi lain adalah peraturan perundang- undangan yang  dibentuk  bersama oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dengan Kepala Daerah baik di Propinsi maupun di Kabupaten/KotaDalam  Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda), Perda dibentuk dalam rangka penyelenggaraan otonomi  daerah Propinsi/Kabupaten/Kota dan tugas pembantuan serta merupakan penjabaran lebih lanjut dari peraturan   perundang-undangan yang lebih tinggi dengan memperhatikan ciri khas masing- masing daerah.Sesuai ketentuan Pasal 12 Undang- Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan,  materi muatan Perda adalah seluruh materi muatan dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas  pembantuan dan menampung kondisi khusus daerah serta penjabaran lebih lanjut Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi.Rancangan Peraturan Daerah dapat berasal dari Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), Gubernur atau Bupati/Walikota.
Undang-Undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan didasarkan pada pemikiran bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum. Sebagai negara hukum, segala aspek kehidupan dalam bidang kemasyarakatan, kebangsaan, dan kenegaraan termasuk pemerintahan harus berdasarkan atas hukum yang sesuai dengan sistem hukum nasional. Sistem hukum nasional merupakan hukum yang berlaku di Indonesia dengan semua elemennya yang saling menunjang satu dengan yang lain dalam rangka mengantisipasi dan mengatasi permasalahan yang timbul dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Secara umum dapat dikemukakan adanya empat kemungkinan faktor yang menyebabkan norma hukum dalam undang-undang atau peraturan perundang-undangan dikatakan berlaku[1]
Peraturan perundang-undangan dalam konteks negara Indonesia, adalah peraturan tertulis yang dibentuk oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang dan mengikat secara umum. Hierarki maksudnya peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
Kedudukan dan fungsi perda berbeda antara yang satu dengan lainnya sejalan dengan sistem ketatanegaraan yang termuat dalam UUD/Konstitusi dan UU Pemerintahan Daerahnya. Perbedaan tersebut juga terjadi pada penataan materi muatan yang disebabkan karena luas sempitnya urusan yang ada pada pemerintah daerah.
Demikian juga terhadap mekanisme pembentukan dan pengawasan terhadap pembentukan dan pelaksanaan perda pun mengalami perubahan seiring dengan perubahan pola hubungan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. Setiap perancang perda, terlebih dahulu harus mempelajari dan menguasai aturan hukum positip tentang UU Pemerintahan Daerah, UU tentang Perundang-undangan, Peraturan pelaksanaan yang secara khusus mengatur tentang perda.

B.  Rumusan Masalah
1.    Apa yang dimaksud dengan peraturan daerah Provinsi?
2.    Apa fungsi dari peraturan daerah provinsi?
3.    Bagaimanakah Prosedur penyusunan peraturan daerah provinsi?
4.    Bagaimanakah asas-asas peraturan daerah?

C.  Tujuan Penulisan
        1.     Untuk mengetahui pengertian peraturan daerah Provinsi.
        2.     Untuk mengetahui fungsi dari peraturan daerah provinsi.
        3.     Untuk mengetahui Prosedur penyusunan peraturan daerah provinsi.
        4.     Untuk mengetahui asas-asas peraturan daerah.





BAB II
PEMBAHASAN

A.  Pengertian Peraturan Daerah Provinsi
Peraturan Daerah adalah Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dengan persetujuan bersama Kepala Daerah (gubernur atau bupati/walikota). Materi muatan Peraturan Daerah adalah seluruh materi muatan dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan, dan menampung kondisi khusus daerah serta penjabaran lebih lanjut Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi.
Menurut UU Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, dan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor  87  Tahun  2014 Tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Pengertian  Peraturan  Daerah  Provinsi  adalah  Peraturan Perundang-undangan  yang  dibentuk  oleh  Dewan Perwakilan  Rakyat  Daerah  Provinsi  dengan persetujuan bersama Gubernur.[2]
Perda Provinsi merupakan salah satu jenis peraturan perundang-undangan berdasarkan Pasal 7 ayat (1) huruf f UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UU 12/2011). Pengertian Perda Provinsi adalah Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi dengan persetujuan bersama Gubernur (Pasal 1 angka 7 UU 12/2011). Materi muatan Perda Provinsi berisi materi muatan dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan serta menampung kondisi khusus daerah dan/atau penjabaran lebih lanjut Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi (Pasal 14 UU 12/2011).[3]
Peraturan daerah provinsi adalah peraturan yang dibentuk oleh gubernur/kepala daerah provinsi bersama-sama dengan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) provinsi, dalam melaksanakan otonomi daerah yang diberikan kepada pemerintah daerah provinsi. Menurut undang-undang no.12 tahun 2011 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan, yang dimaksud degan peraturan daearah adalah peraturan perundangan-undangan yang dibentul oleh dewan perwakilan rakyat daerah dengan persetujuan kepala daerah.[4]
Kewenangan pembentukan peraturan daerah provinsi ini merupakan sautu kewenangan (atribusian) untuk mengatur daerahnya sesuai pasal 136 undang-undang no.32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah, namun demikian pembentukan suatu peraturan daerah ini dapat juga merupakan pelimpahan wewenang (delegasi) dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi[5]
B.  Fungsi Peraturan Daerah Provinsi
Fungsi Peraturan Daerah Provinsi adalah untuk menyelenggarakan otonomi daerah di tingkat propinsi dan tugas pembantuan (medebewind) serta dekonsentrasi dalam rangka mengurus kepentingan rakyat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sebagaimana ditentukan dalam Pasal 7, Pasal 9, dan Pasal 13(tugas pembantuan) dari UU No. 22/1999 yang kemudian dijabarkan lebih lanjut dalam PP No. 25/2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propini Sebagai Daerah Otonom (vide Pasal 3 PP No. 25/2000). Disamping itu fungsi Peraturan Daerah Propinsi juga untuk menyelenggarakan ketentuan tentang fungsi anggaran dari DPRD Propinsi dalam rangka menetapkan APBD, Perubahan dan Perhitungan APBD, dan pengelolaan keuangan daerah Propinsi sesuai dengan Pasal 19 ayat (3) dan Pasal 23 ayat (1) UU No. 25/1999tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah.
Fungsi Peraturan Daerah diatur dalam BAB IV khususnya pada pasal 69 dan pasal 70. UU no. 22 Tahun 1999. Fungsi Keputusan Kepala Daerah Adalah menyelenggarakan pengaturan dalam rangka pelaksanaan Peraturan Daerah yang bersangkutan dan tugas-tugas pemerintahan.[6]
C.  Prosedur Penyusunan Perda Provinsi
1.    Perumusan
Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) dapat berasal dari DPRD atau kepala daerah (gubernur, bupati, atau walikota). Raperda yang disiapkan oleh Kepala Daerah disampaikan kepada DPRD. Draf Raperda pada dasarnya adalah kerangka awal yang dipersiapkan untuk mengatasi masalah sosial yang hendak diselesaikan.
Apapun jenis peraturan daerah yang akan dibentuk, maka rancangan perda tersebut harus secara jelas mendiskripsikan tentang penataan wewenang (regulation of authority) bagi lembaga pelaksana (law implementing agency) dan penataan perilaku (rule of conduct /rule of behavior) bagi masyarakat yang harus mematuhinya (rule occupant). Secara sederhana harus dapat dijelaskan : siapa lembaga pelaksana aturan, kewenangan apa yang diberikan padanya, perlu tidaknya dipisahkan antara organ pelaksana peraturan dengan organ yang menetapkan sanksi atas ketidak patuhan, persyaratan apa yang mengikat lembaga pelaksana, apa sanksi yang dapat dijatuhkan kepada aparat pelaksana jika menyalahgunakan wewenang.[7]
 Rumusan permasalahan pada masyarakat akan berkisar pada siapa yang berperilaku bermasalah, jenis pengaturan apa yang proporsional untuk mengendalikan perilaku bermasalah tersebut, jenis sanksi yang akan dipergunakan untuk memaksakan kepatuhan. Kerangka berfikir di atas, akan menghasilkan sebuah draf tentang penataan kelembagaan yang menjadi pelaksana. Pada tingkat Kab/Kota, harus sudah dapat dijelaskan, dinas/kantor mana yang akan bertanggungjawab melaksanakan perda tersebut sesuai dengan tugas pokok dan fungsi. Penataan wewenang juga akan menghasilkan herarkhi kewenangan lembaga pelaksana dan lingkup tanggungjawab yang melekat padanya.
Misalnya Wewenang menandatangani ijin ada pada Bupati, tetapi lembaga yang memproses adalah Dinas, atau Kepala Dinas berwenang mengeluarkan ijin atas nama Bupati dsb. Penataan jenis perilaku akan menghasilkan, perda tentang larangan atau ijin dan perda tentang kewajiban melakukan hal tertentu atau dispensasi.
Drafter harus menjelaskan pilihan tentang norma kelakuan yang dipilihnya dengan tujuan yang hendak dicapai. Norma larangan akan menghasilkan bentuk pengaturan yang rinci tentang perbuatan yang dilarang. Jika menginginkan ada perkecualian, maka dirumuskan pula norma ijin. Konsekwensinya adalah merumuskan sistem dan syarat perijinannya.
Sistem dan syarat perijinan ini dirumuskan dengan kreteria ijin perorangan atau ijin kebendaan. Demikian juga, syarat-syarat permohonan ijin yang secara proporsional dapat dipenuhi oleh oleh pemohon.Jika norma kelakuan dirumuskan dengan norma perintah, maka eksepsinya adalah dengan merumuskan norma dispensasi.
2.    Pembahasan
Pembahasan Raperda di DPRD dilakukan oleh DPRD bersama gubernur atau bupati/walikota. Pembahasan bersama tersebut melalui tingkat-tingkat pembicaraan, dalam rapat komisi/panitia/alat kelengkapan DPRD yang khusus menangani legislasi, dan dalam rapat paripurna. Terdapat dua tahap penting pembahasan draf raperda, yaitu pada lingkup tim teknis eksekutif dan pembahasan bersama dengan DPRD.
Pembahasan pada tim teknis, adalah pembahasan yang lebih merepresentasi pada kepentingan eksekutif. Oleh UU tentang perundang-undangan, diwajibkan bagi pemerintah untuk memberi kesempatan kepada semua masyarakat berpartisipasi aktif baik secara lisan maupun tulisan (Pasal 53). Pembahasan pada lingkup DPRD sangat sarat dengan kepentingan politis masing-masing fraksi.
Tim kerja di lembaga legislative dilakukan oleh komisi ( A s/d E) yang menjadi counterpart eksekutif. Pembahasan di DPRD biasanya diformat dengan tahapan, Pengantar Eksekutif pada sidang Paripurna Dewan, Pemandangan Umum Fraksi, Pembahasan dalam PANSUS (jika diperlukan), Catatan akhir Fraksi, Persetujuan anggota DPRD terhadap draf raperda. [8]
3.    Pengesahan
Perjalanan akhir dari perancangan sebuah draf perda adalah tahap pengesahan yang dilakukan dalam bentuk penandatangan naskah oleh pihak pemerintah daerah dengan DPRD. Dalam konsep hukum, perda tersebut telah mempunyai kekuatan hukum materiil (materiele rechtskrach) terhadap pihak yang menyetujuinya.
Sejak ditandatangani, maka rumusan hukum yang ada dalam raperda tersebut sudah tidak dapat diganti secara sepihak. Pengundangan dalam Lembaran Daerah adalah tahapan yang harus dilalui agar raperda mempunyai kekuatan hukum mengikat kepada publik. Dalam konsep hukum, maka draf raperda sudah menjadi perda yang berkekuatan hukum formal (formele-rechtskrach). Secara teoritik, “semua orang dianggap tahu adanya perda” mulai diberlakukan dan seluruh isi/muatan perda dapat diterapkan.
Pandangan sosiologi hukum dan psikologi hukum, menganjurkan agar tahapan penyebarluasan (sosialisasi) perda harus dilakukan. Hal ini diperlukan agar terjadi komunikasi hukum antara perda dengan masyarakat yang harus patuh. Pola ini diperlukan agar terjadi internalisasi nilai atau norma yang diatur dalam perda sehingga ada tahap pemahaman dan kesadaran untuk mematuhinya.
Raperda yang telah disetujui bersama oleh DPRD dan Gubernur atau Bupati/Walikota disampaikan oleh Pimpinan DPRD kepada Gubernur atau Bupati/Walikota untuk disahkan menjadi Perda, dalam jangka waktu palinglambat 7 hari sejak tanggal persetujuan bersama. Raperda tersebut disahkan oleh Gubernur atau Bupati/Walikota dengan menandatangani dalam jangka waktu 30 hari sejak Raperda tersebut disetujui oleh DPRD dan Gubernur atau Bupati/Walikota.
Jika dalam waktu 30 hari sejak Raperda tersebut disetujui bersama tidak ditandangani oleh Gubernur atau Bupati/Walikota, maka Raperda tersebut sah menjadi Perda dan wajib diundangkan.[9]


D.  Asas Pembentukan Perda Provinsi
Pembentukan Perda Provinsi yang baik harus berdasarkan pada asas pembentukan peraturan perundang-undangan sebagai berikut:
        1.     Kejelasan tujuan, yaitu bahwa setiap pembentukan peraturan perundang-undangan harus mempunyai tujuan yang jelas yang hendak dicapai.
        2.     Kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat, yaitu setiap jenis peraturan perundang-undangan harus dibuat oleh lembaga/pejabat pembentuk peraturan perundang-undangan yang berwenang dan dapat dibatalkan atau batal demi hukum bila dibuat oleh lembaga/pejabat yang tidak berwenang.
        3.     Kesesuaian antara jenis dan materi muatan, yaitu dalam pembentukan peraturan perundang-undangan harus benar-benar memperhatikan materi muatan yang tepat dengan jenis peraturan perundang-undangan.
        4.     Dapat dilaksanakan, yaitu bahwa setiap pembentukan peraturan perundang-undangan harus memperhatikan efektifitas peraturan perundang-undangan tersebut di dalam masyarakat, baik secara filosofis, yuridis maupun sosiologis.
        5.     Kedayagunaan dan kehasilgunaan, yaitu setiap peraturan perundang-undangan dibuat karena memang benar-benar dibutuhkan dan bermanfaat dalam mengatur kehidupan bermasayarakat, berbangsa dan bernegara.
        6.     Kejelasan rumusan, yaitu setiap peraturan perundang-undangan harus memenuhi persyaratan teknis penyusunan, sistematika dan pilihan kata atau terminologi, serta bahasa hukumnya jelas dan mudah dimengerti sehingga tidak menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam pelaksanaannya.
        7.     Keterbukaan, yaitu dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan mulai dari perencanaan, persiapan, penyusunan dan pembahasan bersifat transparan dan terbuka. Dengan demikian seluruh lapisan masyarakat mempunyai kesempatan seluas-luasnya untuk memberikan masukan dalam proses pembuatan peraturan perundang-undangan.
Di samping itu materi muatan Perda harus mengandung asas-asassebagai berikut:[10]
        1.     Asas pengayoman, bahwa setiap materi muatan Perda harus berfungsi memberikan perlindungan dalam rangka menciptakan ketentraman masyarakat.
        2.     Asas kemanusiaan, bahwa setiap materi muatan Perda harus mencerminkan perlindungan dan penghormatan hak-hak asasi manusia serta harkat dan martabat setiap warga negara dan penduduk Indonesia secara proporsional.
        3.     Asas kebangsaan, bahwa setiap muatan Perda harus mencerminkan sifat dan watak bangsa Indonesia yang pluralistik (kebhinnekaan) dengan tetap menjaga prinsip negara kesatuan Republik Indonesia.
        4.     Asas kekeluargaan, bahwa setiap materi muatan Perda harus mencerminkan musyawarah untuk mencapai mufakat dalam setiap pengambilan keputusan.
        5.     Asas kenusantaraan, bahwa setiap materi muatan Perda senantiasa memperhatikan kepentingan seluruh wilayah Indonesia dan materi muatan Perda merupakan bagian dari sistem hukum nasional yang berdasarkan Pancasila.
        6.     Asas bhinneka tunggal ika, bahwa setiap materi muatan Perda harus memperhatikan keragaman penduduk, agama, suku dan golongan, kondisi daerah dan budaya khususnya yang menyangkut masalah masalah sensitif dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
        1.     asas keadilan, bahwa setiap materi muatan Perda harus mencerminkan keadilan secara proporsional bagi setiap warga negara tanpa kecuali.
        2.     asas kesamaan dalam hukum dan pemerintahan, bahwa setiap materi muatan Perda tidak boleh berisi hal-hal yang bersifat membedakan berdasarkan latar belakang, antara lain agama, suku, ras, golongan, gender atau status sosial.
        3.     asas ketertiban dan kepastian hukum, bahwa setiap materi muatan Perda harus dapat menimbulkan ketertiban dalam masyarakat melalui jaminan adanya kepastian hukum.
        4.     asas keseimbangan, keserasian dan keselarasan, bahwa setiap materi muatan Perda harus mencerminkan keseimbangan, keserasian dan keselarasan antara kepentingan individu dan masyarakat dengan kepentingan bangsa dan negara.
        5.     asas lain sesuai substansi Perda yang bersangkutan.
Selain asas dan materi muatan di atas, DPRD dan Pemerintah Daerah dalam menetapkan Perda harus mempertimbangkan keunggulan lokal /daerah, sehingga mempunyai daya saing dalam pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat daerahnya. Prinsip dalam menetapkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dalam menunjang Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) adalah bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui mekanisme APBD, namun demikian untuk mencapai tujuan kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat daerah bukan hanya melalui mekanisme tersebut tetapi juga dengan meningkatkan daya saing dengan memperhatikan potensi dan keunggulan lokal/daerah, memberikan insentif (kemudahan dalam perijinan, mengurangi beban Pajak Daerah), sehingga dunia usaha dapat tumbuh dan berkembang di daerahnya dan memberikan peluang menampung tenaga kerja dan meningkatkan PDRB masyarakat daerahnya.[11]















BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Peraturan daerah provinsi adalah peraturan yang dibentuk oleh gubernur/kepala daerah provinsi bersama-sama dengan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) provinsi, dalam melaksanakan otonomi daerah yang diberikan kepada pemerintah daerah provinsi.
Fungsi Peraturan Daerah Provinsi adalah untuk menyelenggarakan otonomi daerah di tingkat propinsi dan tugas pembantuan (medebewind) serta dekonsentrasi dalam rangka mengurus kepentingan rakyat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sebagaimana ditentukan dalam Pasal 7, Pasal 9, dan Pasal 13(tugas pembantuan) dari UU No. 22/1999 yang kemudian dijabarkan lebih lanjut dalam PP No. 25/2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propini Sebagai Daerah Otonom (vide Pasal 3 PP No. 25/2000). Disamping itu fungsi Peraturan Daerah Propinsi juga untuk menyelenggarakan ketentuan tentang fungsi anggaran dari DPRD Propinsi dalam rangka menetapkan APBD, Perubahan dan Perhitungan APBD, dan pengelolaan keuangan daerah Propinsi sesuai dengan Pasal 19 ayat (3) dan Pasal 23 ayat (1) UU No. 25/1999tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah.
Prosedur Penyusunan Perda Provinsi yaitu : Perumusan  Rancangan Peraturan Daerah (Raperda), Pembahasan Rancangan Peraturan Daerah (Raperda), Pengesahan Rancangan Peraturan Daerah (Raperda).
B.     Saran
Pemerintah dalam merancang dan membuat peraturan daerah provinsi hendaknya memperhatikan asas-asas pembuatan perda yang baik, serta sesuai dengan situasi dan kondisi yang sedang terjadi dalam kehidupan masyarakat. Peraturan Daerah dibuat untuk menciptakan suasana pemerintahan yang baik dan teratur, bukan malah membuat masalah baru dalam masyarakat. Untuk itu keprofesionalan dan kearifan pemerintah sangatlah dibutuhkan.
















DAFTAR PUSTAKA

Asshiddiqie, Jimly, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara (jilid I), Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006.

Boko, Ronny Sautma Hotma, Pengantar Pembentukan Undang-Undang Republik Indonesia, Bandung: Citra Adytia Bhakti, 1999.

C.S. T. Kansil dan Christine S. T, Hukum Tata Negara Republik Indonesia, Jakarta: Rineka Cipta, 2008.

Erni Setyowati, dkk, Bagaimana Undang-Undang dibuat, The Asia Foundation, Jakarta: Pusat Stusi Hukum & Kebijakan Indonesia, 2003.

Galery Ilmu, 2016. Pengertian Peraturan Daerah Provinsi. https://a-i-n-a.blogspot.com/2016/04/pengertian-peraturan-daerah-provinsi. html (Diakses 07 Desember 2017, jam 07.45)

Indrati S. Maria Farida, Ilmu Perundang-undangan2 Proses dan Teknik Pembentukannya. Penerbit : Kansius Yogyakarta, 2007.

Kinel Blog, 2016.Beda Peraturan Daerah (PERDA) dan Peraturan Gubernur (PERGUB) https://kinelblog.wordpress.com/2016/04/05/beda-peraturan-daerah-perda-dan-peraturan-gubernur-pergub/(Diakses 07 Desember 2017, jam 08.00)

Yuliandri, S.H.,M.H, Asas-Asas Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang Baik, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2011.




No comments:

Post a Comment

MAKALAHKU

MAKALAH TATANIAGA HASIL PERIKANAN

Tugas Individu MAKALAH TATANIAGA HASIL PERIKANAN Oleh ASRIANI 213095 2006 SEKOLAH TINGGI ILMU P...