HADITS DAN SUNNAH SEBAGAI SUMBER
DAN DALIL ISLAM
![]() |
Makalah Diajukan
Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Ushul Fiqih
Sekolah
Tinggi Agama Islam Negeri
(STAIN)
Watampone
Oleh :
Kelompok 3
1.
Firda Sinta
2.
Yuliana
3.
Supra
SEKOLAH TINGGI AGAMA
ISLAM NEGERI
(STAIN) WATAMPONE
|
2016
KATA PENGANTAR

Puji syukur Kehadhirat Allah SWT atas segala perkenaannya sehingga penyusunan
Makalah ini dapat diselesaikan dengan baik. Makalah ini disusun untuk memenuhi
tugas mata kuliah Ushul
Fiqih.
Makalah ini merupakan laporan yang dibuat sebagai
bagian dalam memenuhi kriteria mata kuliah. Salam dan salawat kami kirimkan
kepada junjungan kita tercinta Rasulullah Muhammad SAW, keluarga, para
sahabatnya serta seluruh kaum muslimin yang tetap teguh dalam ajaran beliau.
Penulis mengharapkan semoga Makalah ini dapat bermanfaat bagi semua pembaca,
baik dikalangan Mahasiswa maupun dikalangan masyarakat nantinya yang diajukan
sebagai bahan diskusi pada tatap muka
perkuliahan.
Penulis menyadari bahwa dalam proses
penyusunan Makalah ini masih banyak terdapat kesalahan, oleh karena itu penulis
mengharapkan kritik dan saran dari semua pihak khususnya kepada Dosen
pembimbing guna untuk menyempurnakan Makalah ini dan pada akhirnya bisa
bermanfaat bagi semua pembaca.
Demikianlah makalah ini kami buat, apabila
ada kesalahan dalam penulisan, kami mohon maaf. Semoga makalah ini dapat memberikan wawasan yang
lebih luas kepada pembaca. Terima kasih.
Watampone, 23 Oktober 2016
Penyusun
Kelompok 3
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR ............................................................................. i
DAFTAR ISI ............................................................................................. ii
BAB I..... PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang..................................................................... 1
B.
Rumusan Masalah................................................................. 2
C.
Tujuan Penulisan................................................................... 2
BAB II... PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Hadits dan Sunnah............................................. 3
B.
Macam-macam
Hadits dan Sunnah...................................... 4
C.
Hadits
Sebagai Penjelasan Al-Qur’an.................................. 7
D.
Kehujjahan
Hadits................................................................ 12
E.
Hadits
Sebagai Sumber dan Dalil Islam............................... 16
BAB III.. PENUTUP
A.
Kesimpulan........................................................................... 19
B.
Saran..................................................................................... 19
DAFTAR PUSTAKA
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Allah SWT
mengutus para Nabi dan Rosul-Nya kepada ummat manusia untuk memberi petunjuk
kepada jalan yang lurus dan benar agar mereka bahagia dunia dan akhirat.
Rosululloh lahir ke dunia ini dengan membawa risalah Islam, petunjuk yang
benar. Hukum Syara’ adalah khitab Syari’(seruan Alloh
sebagai pembuat hukum) baik yang sumbernya pasti (qath’i tsubut) seperti
Al-Qur’an dan Hadis, maupun ketetapan yang sumbernya masih dugaan kuat (zanni
tsubut) seperti hadits yang bukan tergolong mutawatir.
Islam
adalah agama yang sempurna di muka bumi ini, semua sisi kehidupan manusia dan
makhluk Allah telah digariskan oleh Islam melalui Kalam Allah swt (Al-Qur’an)
dan Al Hadits. Al Qur’an sudah jelas di tanggung keasliannya oleh Allah swt
sampai akhir nanti, bagaimana dengan Al Hadits.
Sumber hukum
adalah segala sesuatu yang melahirkan atau menimbulkan aturan yang mempunyai
kekuatan yang bersifat mengikut yaitu peraturan yang apabila dilanggar akan
menimbulkan sangsi yang tegas. Al-Qur’an dan As-sunnah merupakan sumber hukum
islam, sebagaimana para ulama juga bersepakat bahwa Al-qur’an dan As-sunnah
merupakan sumber hukum islam. Al-Quran
adalah sumber hukum islam atau dasar hukum islam yang utama dari semua ajaran
dan Syariat islam, oleh karena itu Tidak dibenarkan
jika seorang mujtahid menggunakan dalil lain sebagai landasan sebelum meneliti
ayat-ayat al-Qur’an. As-sunnah adalah sebagai sumber kedua setelah
Al-Qur’an, keduanya saling melengkapi antara satu dengan yang lain, dan
mentaatinya wajib bagi kaum muslimin sebagaimana wajibnya mentaati Al-Qur’an.
Hadits
atau yang lebih dikenal dengan sunnah adalah segala sesuatu yang bersumber atau
disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW, baik berupa perkataan, perbuatan. Dan
peran hadits sebagai salah satu sumber ajaran Islam yang diakui oleh masyarakat
mahdzab tidak dapat dinafikan.
Hadits merupakan sumber syari’at islam yang
kedua setelah Al Qur’an. Hadis memiliki fungsi yang sangat penting terhadap Al
qur’an. Dalam fungsi tersebut hadis menjelaskan ayat-ayat Al Qur’an yang tidak
ada penjelasan yang dapat dimengerti di dalamnya.
Oleh
karena itu, dalam makalah ini akan dijelaskan tentang fungsi hadis terhadap Al
Qur’an dan dalil - dalil kehujahan hadis.
B. Rumusan Masalah
Dari penjelasan sebagaimana latar belakang
permasalahan di atas, maka rumusan masalah dalam penulisan makalah ini adalah :
1. Apakah
yang dimaksud Hadits dan Sunnah?
2. Bagaimana pembagian Hadits dan Sunnah?
3.
Bagaimana
kedudukan Hadits dan Sinnah sebagai penjelas Al-Qur’an?
4.
Bagaimana
Kehujjahan Hadits?
5.
Apa yang mendasari Hadits sehingga dijadikan sumber dan
dalil Islam?
C. Tujuan Penulisan
1.
Untuk menjelaskan pengertian Hadits dan Sunnah .
2. Untuk mengetahui pembagian Hadits dan Sunnah.
3. Untuk mengetahui kedudukan Hadits dan Sinnah
sebagai penjelas Al-Qur’an
4. Untuk mengetahui Kehujjahan Hadits
5. Untuk mengetahui apa yang mendasari Hadits
sehingga dijadikan sumber dan dalil Islam.
BAB
II
PEMBAHASAN
Kata sunnah secara bahasa berarti “perilaku seseorang tertentu,
baik perilaku yang baik maupun perilaku yang buruk”.[1] Sedangkan As-Sunnah menurut ulama ushul fiqh adalah
segala sesuatu yang diriwayatkan Nabi SAW yang bukan Al-Qur’an, baik berupa
segala perkataan, perbuatan, dan pengakuan yang patut dijadikan dalil hukum
syara’.[2]
Ditinjau dari segi etimologi, makna kata
as-sunnah adalah perbuatan yang semula belum pernah dilakukan kemudian diikuti
oleh orang lain, baik perbuatan tersebut terpuji maupun tercela.[3] Sementara secara terminologi, makna kata
as-sunnah dapat ditinjau dari tiga disiplin ilmu sebagai berikut.[4]
1.
Menurut para ahli hadits, as-sunnah sama dengan hadits,
yaitu: sesuatu yang dinisbahkan kepada Rasulullah, baik perkataan, perbuatan,
maupun sikap beliau tentang suatu peristiwa.
2.
Menurut para ahli Ushul Fiqh, as-sunnah ialah: semua
yang berkaitan dengan masalah hukum yang dinisbahkan kepada Rasulullah, baik
perkataan, perbuatan, maupun sikap beliau terhadap suatu peristiwa.
3.
Menurut ahli Fiqh, makna as-sunnah mengandung dua
pengertian; yang pertama sama dengan yang disebut ahli Ushul Fiqh. Sedangkan
pengertian yang kedua ialah: suatu perbuatan yang jika dikerjakan mendapat
pahala, tetapi jika ditinggalkan tidak berdosa.
4.
Menurut ahli
hadits, pengertian hadits dan sunnah mengandung makna yang sama yakni sama-sama
semua perbuatan, ucapan dan taqrir nabi. Akan tetapi, pada hakikatnya ada
perbedaan antara hadits dan sunnah. Hadits ialah semua peristiwa yang
disandarkan kepada nabi, walaupun hanya sekali saja terjadi disepanjang
hayatnya. Sedangkan sunnah adalah Amaliyah nabi yang mutawatir, khususnya dari
segi maknanya, karena walaupun dari segi lafal penukilannya tidak muatawatir
yang menyebabkan sanad nya pun menjadi tidak mutawatir pula namun karena
pelaksanaannya mutawatir maka dia dinamakan sunnah.[5]
5.
Sedangkan as-sunnah menurut istilah syara’ adalah
ucapan, perbuatan atau pengakuan Rasulullah.[6]
B.
Macam-macam Hadits dan Sunnah
Dalam menyampaikan
sebuah hadits terkadang Nabi berhadapan dengan orang yang jumlahnya amat
banyak, terkadang dengan beberapa orang, terkadang pula hanya satu atau dua orang
saja. Begitu juga halnya dengan para sahabat Nabi, untuk menyampaikan hadits
tertentu ada yang didengar oleh banyak murid, tetapi hadits yang lainnya lagi
didengar oleh beberapa orang, bahkan ada yang hanya didengar oleh satu orang
saja. Hadits yang dibawa oleh banyak orang lebih meyakinkan daripada yang hanya
disampaikan oleh satu ataupun dua orang. Sehingga, ada pembagian hadits dari
segi jumlah periwayat, yaitu:
a.
Hadits
Mutawattir
Hadits
mutawattir yaitu, hadits yang diriwayatkan oleh banyak orang di setiap generasi
sahabat hingga generasi akhir (penulis kitab); orang yang banyak tersebut
layaknya mustahil sepakat untuk bohong.[7]
Contohnya
seperti nukilan-nukilan yang mengenai shalat lima waktu, bilangan rakaat, kadar
zakat dan yang sepertinya. Ulama membagi hadits mutawattir menjadi dua, yaitu:
1)
Mutawattir lafdzi, yaitu mutawattir redaksinya. Contoh.[8]
...من كدب على
متكدافليتبوأمقعجه من النار...
...orang yang berdusta atas nama saya
hendaknya bersiap-siap menduduki api neraka.
2)
Mutawattir ma’na, yaitu beberapa riwayat yang
berlainan, mengandung satu hal atau satu sifat atau satu perbuatan.[9] Contoh:[10]
انماالأعمال بالنيات
Bahwasannya segala amalan itu
menurut niat.
Sesuatu dapat
dikatakan hadits mutawatir apabila memenuhi syarat-syarat yaitu;[11]pertama, diriwayatkan oleh sejumlah besar
perawi. Kedua, adanya keseimbangan antara perawi pada thobaqot pertama dengan
thobaqot berikutnya. Ketiga, berdasarkan tanggapan pancaindra.
b. Hadits Masyhur
Hadits masyhur yaitu, hadits yang
diriwayatkan dari Nabi oleh beberapa orang sahabat tetapi tidak mencapai
tingkat mutawatir.[12] Di antara
as-sunnah ini adalah sebagian hadits Rasulullah yang diriwayatkan dari Umar bin
Khatab, Abdullah bin Mas’ud, atau Abu Bakar ash-Shiddiq, kemudian diriwayatkan
oleh kelompok yang tidak mungkin sepakat untuk berdusta; seperti hadits:
لاضررولاضرار
Tidak boleh berbuat sesuatu yang
membahayakan juga tidak boleh membalas sesuatu yang membahayakan.
c. Hadits ahad
Adalah as-sunnah yang diriwayatkan
oleh perorangan yang tidak sampai pada hitungan mutawattir. Artinya, satu, dua
atau beberapa orang rawi meriwayatkan dari Rasulullah yang kemudian
diriwayatkan oleh sejumlah rawi yang sepadan dan demikian seterusnya sehingga
sampai kepada kita dengan sanad seperti itu. Yakni pada setiap tingkatannya
adalah perorangan, tidak sampai pada hitungan mutawatir.[13]
Perbedaan hadits dan atsar yaitu
terdapat beberapa istilah yang mengandung perbedaan makna dalam membicarakan
as-sunnah, hadits dan astar. Istilah sunnah bisa disandarkan kepada Nabi
Muhammad, sahabat, dan umat manusia pada umumnya. Istilah hadits biasanya
digunakan hanya terbatas terhadap apa yang datang dari Nabi Muhammad. Sedangkan
istilah atsar digunakan terhadap apa yang datang dari sahabat, tabi’in dan
orang-orang sesudahnya.[14]
Sunnah dapat dibedakan kepada tiga
macam, yaitu :
a. Sunnah Qauliyah
Sunnah Qauliyah
(ucapan), ialah hadits-hadits Rasulullah SAW yang berupa ucapan di dalam berbagai
tujuan dan permasalahan. Seperti sabda Rasulullah SAW :
لَا ضَرَرَ وَلَا ضِرَارَ. رواه مالك وابن ماجه.
“Tidak
diperkenankan berbuat madharat, dan tidak boleh mengadakan balasan dengan
madharat”. (H.R.
Malik dan Ibnu Majjah)
b. Sunnah Fi’liyah Sunnah Fi’liyah (perbuatan),
yaitu perbuatan Rasulullah SAW. Misalnya perbuatan melakukan shalat lima kali
lengkap dengan kaifiyahnya (cara melakukan) dan rukun-rukunnya serta perbuatan
Rasulullah SAW.
c. Sunnah Taqririyah (persetujuan)
Sunnah
Taqririyah, yaitu perbuatan beberapa sahabat nabi yang disetujui oleh rasulullah
saw. Baik mengenai ucapan sahabat atau perbuatannya. Taqrir disini, dengan cara
membiarkan atau tidak ada tanda-tanda menolak atau merestui atau menganggap
baik terhadap perbuatan itu.
C.
Hadits Sebagai Penjelasan Al-Qur’an
- Hadits sebagai bayan tafsil
Yang
dimaksud bayan tafsil adalah bahwa
kehadiran hadits berfungsi untuk memberikan rincian dan tafsiran terhadap
ayat-ayat Al Qur'an yang masih bersifat global (mujmal)[15].
Atau dengan kata lain adalah penjelasan hadith terhadap ayat-ayat yang memerlukan perincian atau
penjelasan lebih lanjut, seperti pada ayat-ayat mujmal, mutlaq, dan ‘aam. Maka
fungsi hadith dalam hal ini memberikan perincian (tafshil).
Diantara contoh ayat-ayat yang Al Qur'an yang masih
mujmal adalah perintah shalat, ayat Al Qur'an tentang shalat masih bersifat
mujmal, baik mengenai cara mengerjakan, syarat-syarat, atau
halangan-halangannya. Oleh karena itu Rasulullah SAW, melalui haditsnya
menafsilkan dan menjelaskan masalah tersebut. Sebagai contoh salah satu
haditsnya adalah bersumber dari Abu hurairah bahwa Rasulullah SAW bersabda
إِذَا قُمْتَ إِلَى الصَّلاَةِ
فَأَسْبِغِ الْوُضُوْءَ , ثُمَّ اسْتَقْبِلِ الْقِبْلَةَ فَكَبَّرْ , ثُمَّ
اقْرَأْ مَا تَيَسَّرَ مَعَكَ مِنَ الْقُرْآنِ, ثُمَّ ارْكَعْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ
رَاكِعًا, ثُمَّ ارْفَعْ حَتَّى تَعْتَدِلَ قَائِمًا, ثُمَّ اسْجُدْ حَتَّى
تَطْمَئِنَّ سّاجِدًا, ثُمَّ ارْفَعْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ جَالِسًا, ثُمَّ اسْجُدْ
حَتَّى تَطْمَئِنَّ سَاجِدًا, ثُمَّ افْعَلْ ذَلِكَ فِى صَلاَتِكَ كُلِّهَا (رواه
البجارى)
Arinya: Apa bila
kamu berdiri untuk shalat, maka sempurnakan wudhu, kemudian menghadaplah
kiblat, kemudian takbirlah, kemudian bacalah ayat yang ringan, kemudian
ruku'lah hingga tuma'nina dalam keadaan ruku', kemudian beririlah hingga i'tidal
dalam keadaan tegak, kemudian sujudlah hingga tuma'ninah dalam sujud, kemudian
bangunlah hingga tuma'ninah dalam keadaan duduk, kemudian sujudlah hingga
tuma'ninah dalam sujud, kemudian kerjakanlah hal tersebut disetiap kali kamu
shalat. (HR Buhori)
Hadits ini menjelaskan bagaimana mendirikan shalat.
Sebab dalam Al Qur'an tidak menjelaskan secara rinci, salah satu ayat yang
memerintahkan shalat adalah:
(#qßJŠÏ%r&ur
no4qn=¢Á9$#
(#qè?#uäur no4qx.¨“9$#
(#qãèx.ö‘$#ur
yìtB tûüÏèÏ.º§9$#
ÇÍÌÈ
Artinya:
Dan Dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat
dan ruku'lah beserta orang-orang yang ruku' (QS. Al
Baqarah (3): 43)
- Hadits sebagai bayan takhsis
Bayan
takhsis, yaitu menghususkan Al Qur'an, maka yang 'amm kemudian dikhususkan.[16]
Berfungsi memberikan takhsis (penentuan khusus) ayat-ayat Al Qur'an yang
masih umum. Misalnya perintah mengerjakan
shalat, membayar zakat dan menunaikan ibadah haji di dalam Al Qur'an
tidak dijelaskan jumlah rakaat dan bagaimana cara-cara mendirikan shalat, tidak
diperincikan nisab-nisab zakat dan juga tidak dijelaskan cara-cara melakukan
ibadah haji. Tetapi semuanya itu telah diterangkan secara terperinci dan
ditafsirkan sejelas-jelasnya oleh Hadits.
Al
Qur'an juga telah mengharamkan bangkai dan darah secara mutlak dalam surat Al
Maidah ayat 3
ôMtBÌhãm ãNä3ø‹n=tæ èptGøŠyJø9$# ãP¤$!$#ur ãNøtm:ur ̓̓Yσø:$# !$tBur ¨@Ïdé& ÎŽötóÏ9 «!$# ¾ÏmÎ/ ...
Arinya: Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah],
daging babi .... (QS. Al Maidah (5):
3)
Kemudian
Hadits mentakhsiskan keharamannya, serta menjelaskan macam-macam bangkai dan
darah yakni dengan sabda Nabi SAW
أُحِلَّتْ لَنَا مَيْتَتَانِ وَدَمَانِ فَأَمَّاالْمَيْتَتَانِ
الْحُوْتُ وَالْجَرَادُ وَاَمَّاالدَّمَانِ
الْكَبِدُ وَالطَّحَال (رواه ابن ماجة و
حاكم)
Artinya
: “Dihalalkan bagi kita dua macam bangkai
dan dua macam darah. Adapun dua macam bangkai itu ialah bangkai ikan dan
bangkai belalang, sedangkan dua macam darah itu adalah hati dan limpa”. (HR. Ibnu Majah dan al-Hakim).
- Hadits sebagai bayan taqyid
Bayan
taqyid, ialah membatasi ayat-ayat mutlaq dengan sifat, keadaan, atau syarat-syarat tertentu. Sedangkan mutlaq artinya kata yang
menunjukkan pada hakekat kata itu sendiri apa adanya, dengan tanpa memandang
kepada jumlah maupun sifatnya. Sebagai contoh hadis Rasul SAW berikut:
لاتقطع يد السارق الا في ربع دينار فصاعدا (رواه
مسلم)[17]
Artinya: Tangan pencuri tidak boleh dipotong, melainkan pada
(pencurian senilai) seperempat dinar atau lebih. (HR. Muslim)
Hadits ini mentaqyid ayat berikut:
ä-Í‘$¡¡9$#ur èps%Í‘$¡¡9$#ur (#þqãèsÜø%$$sù $yJßgtƒÏ‰÷ƒr& Lä!#t“y_ $yJÎ/ $t7|¡x. Wx»s3tR z`ÏiB «!$# 3 ª!$#ur ͕tã ÒOŠÅ3ym ÇÌÑÈ
Artinya: Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan
keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan
dari Allah. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (QS. Al Maidah (5): 38)
- Hadits sebagai bayan ta'kid
Bayan
ta'kid disebut juga dengan bayan taqrir atau bayan itsbat. Yang di maksud bayan
ta'kid adalah menetapkan dan memperkuat apa yang diterangkan dalam Al Qur'an.[18] Bayan al-Ta’kid , yaitu penjelasan untuk memperkuat pernyataan
al-Qur’an.
Dalam hal ini, Hadits semakna dengan
apa yang disampaikan Al-Qur'an, karena masih dalam tujuan dan sasaran yang
sama. Maka dalam keadaan seperti ini, ia berkedudukan sebagai penguat dan
menegaskan apa yang telah disebutkan dalam Al-Qur'an. Sebagai contoh adalah
hadits yang diriwayatkan oleh Muslim dari ibnu umar, sebagai berikut:
إِذَا
رَأيْتُمُـوْاهُ فَصُـوْمُوْا وَإِذَا
رَأَيْتُمُوْاهُ فَأَفْطِرُوْاهُ (رواه مسلم)]
Artinya:
Apabila kalian melihat (ru'yah) bulan, maka berpuasalah, juga apabila
kalian melihat (ru'yah) bulan, maka berbukalah. (HR. Muslim).
Hadits ini menta'kid Al Qur'an surat
Al Baqoroh ayat 185:
Artinya: …… barang siapa di antara kamu hadir (di negeri tempat
tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu
….(QS. Al Baqoroh (2): 185)
Rasulullah SAW juga bersabda,
قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم
لاَتُقْبَلُ صَلاَةُ مَنْ أَحْدَثَ حَتَّى يَتَوَضَّأَ (رواه البخارى
Artinya:
Rasulullah SAW bersabda: tidak diterima
shalat seseorang yang berhadats sebelum berwudhu. (HR Buhori)
Hadits di atas menta'kid Al Qur'an surat al maidah
ayat 6 mengenai keharusan berwudhu ketika hendak mendirikan shalat. Ayat
tersebut adalah:
$pkš‰r'¯»tƒ šúïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä #sŒÎ) óOçFôJè% ’n<Î) Ío4qn=¢Á9$# (#qè=Å¡øî$$sù öNä3ydqã_ãr öNä3tƒÏ‰÷ƒr&ur ’n<Î) È,Ïù#tyJø9$# (#qßs|¡øB$#ur öNä3Å™râäãÎ öNà6n=ã_ö‘r&ur ’n<Î) Èû÷üt6÷ès3ø9$# 4
........ (المائدة/6:5)
Artinya: Hai
orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, Maka basuhlah
mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu
sampai dengan kedua mata kaki. (QS. Al Maidah (5): 6)
Abu hamadah menyebutkan bayan ta'kid atau bayan taqrir
ini dengan istilah bayan al muwaffiq lin nash al kitab. Hal ini dikarenakan
munculnya hadits itu sealur (sesuai) dengan nash Al Qur'an.[19]
- Hadits sebagai bayan tasyri'
Dasar
tasyri (syari'at Islam) tidaklah asing bagi kaum muslimin dan tidak diragukan
lagi bahwa As-Sunnah merupakan salah satu sumber hukum Islam disamping
Al-Qur'an dan dia mempunyai cabang-cabang yang sangat luas, hal ini disebabkan
karena Al-Qur'an kebanyakan hanya mencantumkan kaidah-kaidah yang bersifat umum
serta hukum-hukum yang sifatnya global yang mana penjelasannya didapatkan dalam
As-Sunnah An-Nabawiyah.
Dengan demikian maka yang dimaksud bayan al-tasyri’ adalah mewujudkan suatu
hukum atau ajaran-ajaran yang tidak didapati dalam al-Qur’an, atau hanya terdapat pokok-pokoknya (ashl) saja[20].
Hadits Rasulullah SAW berusaha
menunjukkan suatu kepastian hukum terhadap berbagai persoalan yang muncul, yang
tidak terdapat dalam Al Qur'an. beliau menjawab pertanyaan-pertanyaan yang
diajukan oleh para sahabat atau yang tidak diketahuinya, dengan menjelaskan
duduk persoalannya.
Hadis Rasulullah SAW yang
termasuk ke dalam kelompok ini, diantaranya hadis tentang zakat fitrah penetapan haramnya mengumpulkan dua wanita
bersaudara (antara isteri dengan bibinya), hukum syuf’ah, hukum merajam pezina
wanita yang masih perawan, dan hukum tentang hak waris bagi seorang anak.[21]
Suatu contoh, hadits tentang zakat fitrah, sebagai berikut:
أَنَّ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليهوسلم فَرَضَ زَكَاةَ
الْفِطْرِ مِنْ رَمَضَانَ عَلَى النَّاسِ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ أَوْصَاعًا مِنْ
شَعِيْرٍ عَلَى كُلِّ حُرٍّ أَوْ عَبْدٍ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى مِنَ الْمُسْلِمِيْنَ
(رواه مسلم)[22]
Arinya: Bahwasannya
Rasulullah SAW mewajibkan zakat fitrah dari bulan Ramadhan atas manusia, satu
sho' berupa kurma atau satu sho' berupa gandum kepada setiap orang merdeka,
hamba baik laki-laki maupun perempuan yang Islam. (HR Muslim)
6.
Kedudukan Hadist Dan Sunnah Sebagai penjelas al-Qur’an.
Berdasarkan fungsi as-sunnah sebagai penjelas
al-Qur’an, maka as-sunnah menduduki posisi kedua sebagai sumber hukum dan dalil
hukum Islam, setelah al- Qur’an sebagai sumber dan dalil hukum Islam yang
pertama.[23]
Setelah lebih terperinci dapat disebutkan, fungsi
as-sunnah sebagai penjelas terhadap al-Qur’an terdiri atas tiga kategori
sebagai berikut.[24]
a.
Menjelaskan maksud ayat-ayat hukum al-Qur’an
1)
Merinci ketentuan-ketentuan hukum al-Qur’an yang
disebutkan secara garis besar.
2)
Menerangkan kata-kata yang maknanya belum spesifik
dalam al-Qur’an.
b.
Men-takhsish ayat-ayat al-Qur’an yang bersifat umum.
c.
Mengukuhkan dan mempertegas kembali ketentuan-ketentuan
yang terdapat dalam al-Qur’an.
d.
Menetapkan hukum baru yang menurut zahirnya tidak
terdapat dalam al-Qur’an.
D.
Kehujjahan Hadits
Sunnah atau Hadis Nabi Saw merupakan salah satu
sumber ajaran agama Islam sekaligus merupakan wahyu dari Allah seperti
Al-Qur’an, hanya saja perbedaan antara keduanya terletak pada sisi lafaz dan
makna. dimana lafaz dan makna al-Qur’an berasal dari Allah Swt semetara
Hadis maknanya dari Allah Swt dan lafaznya dari Rasulullah Saw, kedudukannya
dalam ajaran agama sebagai sumber kedua setelah Al-Qur’an, keduanya saling
melengkapi antara satu dengan yang lain, dan mentaatinya wajib bagi kaum
muslimin sebagaimana wajibnya mentaati Al-Qur’an. [25]
Adapun
dalil-dalil yang menunjukkan kehujjahan sunnah antara lain:
1.
Al-Qur’an
Banyak ayat
al-Qur’an yang menunjukkan akan kehujjahan Sunnah diantaranya adalah ayat-ayat
yang memerintahkan kepada kaum muslim untuk taat kepada Rasulullah SAW. firman
Allah SWT :
$pkš‰r'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä (#qãè‹ÏÛr& ©!$# (#qãè‹ÏÛr&ur tAqß™§9$# ’Í<'ré&ur ÍöDF{$# óOä3ZÏB (
bÎ*sù ÷Läêôãt“»uZs? ’Îû &äóÓx« çnr–Šãsù ’n<Î) «!$# ÉAqß™§9$#ur bÎ) ÷LäêYä. tbqãZÏB÷sè? «!$$Î/ ÏQöqu‹ø9$#ur ÌÅzFy$# 4
y7Ï9ºsŒ ׎öyz ß`|¡ômr&ur ¸xƒÍrù's? ÇÎÒÈ
Artinya : “Hai orang-orang
yang beriman, taatilah Allah dan taatilah
Rasul (nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan
pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan
Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari
kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”. (QS
An-Nisa : 59)
Kembali kepada Allah
maksudnya kembali kepada Al-Qur’an, dan kembali kepada Rasul maksudnya kembali
kepada Sunnah atau Hadis beliau SAW.
Perintah untuk
mengikuti segala apa yang diperintahkan oleh Rasulullah Saw dan menjauhi segala
apa yang dilaranagnnya, Allah SWT berfirman:
4 !$tBur ãNä39s?#uä ãAqß™§9$# çnrä‹ã‚sù $tBur öNä39pktX çm÷Ytã (#qßgtFR$$sù
Artinya : “Apa yang diberikan
Rasul kepadamu, Maka terimalah. dan apa yang dilarangnya bagimu, Maka
tinggalkanlah”. (QS. Al-Hasyr :7)
Allah
SWT telah memperingatkan kita untuk tidak menyelisihi segala apa yang
diperintahkan oleh Rasulullah SAW, Allah berfirman:
žšÍ‘x‹ósuŠù=sù tûïÏ%©!$# tbqàÿÏ9$sƒä† ô`tã ÿ¾ÍnÍöDr& br& öNåkz:ŠÅÁè? îpuZ÷FÏù ÷rr& öNåkz:ÅÁムë>#x‹tã íOŠÏ9r&
Artinya : “Maka hendaklah
orang-orang yang menyalahi perintah-Nya takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa
azab yang pedih”. (QS An-Nuur : 63)
Pada
Banyak ayat, Allah SWT menyandingkan kata Kitab yang berarti
al-Qur’an dengan kata Hikmah yang berarti hadis atau sunnah
diantara ayat-ayat tersebut adalah firman Allah SWT:
tAt“Rr&ur ª!$# šø‹n=tã |=»tGÅ3ø9$# spyJõ3Ïtø:$#ur šyJ©=tãur $tB öNs9 `ä3s? ãNn=÷ès? 4
šc%x.ur ã@ôÒsù «!$# y7ø‹n=tã $VJŠÏàtã ÇÊÊÌÈ
Artinya : “Dan (juga karena)
Allah Telah menurunkan Kitab dan Hikmah kepadamu (Muhammad), dan Telah
mengajarkan kepadamu apa yang belum kamu ketahui. dan adalah karunia Allah
sangat besar atasmu”. (QS. An-Nisa> : 113)\
2. Hadits Nabi
Terdapat banyak hadis-hadis
Rasulullah saw. yang menunjukkan kewajiban untuk mengikuti Sunnah
Nabawiyah dan menegaskan bahwa Sunnah itu memliki kedudukan yang sama
seperti al-Qur’an dari segi keadaannya sebagai sumber untuk menetapkan
hukum-hukum. Diantara hadis-hadis tersebut:
a. Hadis yang diriwayatkan oleh
al-Bukhari dengan sanadnya dari sahabat Abu Hurairah ra bahwa Rasulullah saw
bersabda:
كُلُّ
أُمَّتِي يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ إِلَّا مَنْ أَبَى قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ
وَمَنْ يَأْبَى قَالَ مَنْ أَطَاعَنِي دَخَلَ الْجَنَّةَ وَمَنْ عَصَانِي فَقَدْ
أَبَى
Artinya : “Setiap
umatku akan masuk surga, kecuali mereka yang enggan dan tidak mau”. Para
Sahabat kemudian bertanya (keheranan); ‘Siapakah yang tidak mau memasukinya itu
wahai Rasulullah?’ Beliau menjawab: “orang yang mentaatiku akan masuk surga dan
orang yang mendurhakaiku (melangkar ketentuanku) berarti dia enggan dan tidak
mau”.[26]
b. Hadis yang menjelaskan bahwa dengan
berpegangteguh kepada Al-Qur’an dan Sunnah, maka tidak akan tersesat untuk
selamnya sebagaimana yang diriwayatkan oleh Malik bin Anas bahwasanya
Rasulullah saw bersabda:
تَرَكْتُ فِيكُمْ
أَمْرَيْنِ لَنْ تَضِلُّوا مَا تَمَسَّكْتُمْ بِهِمَا كِتَابَ اللَّهِ وَسُنَّةَ
نَبِيِّهِ
Artinya : “Aku
telah meninggalkan kepada kalian dua perkara, kalian tidak akan sesat untuk
(selamanya) selama kalian berpegangteguh kepada keduanya yaitu Kitab Allah dan
Sunnah Nabi-Nya”
c. Hadis yang memerintahkan untuk
senantiasa ber-tamassuk (berpegang teguh) Sunnah Rasulullah saw
dan para sahabat beliau saw dan larangan melakukan kebid’ahan. Sebagaimana
sabda Rasulullah SAW:
عَلَيْكُمْ
بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّينَ الرَّاشِدِينَ تَمَسَّكُوا
بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الْأُمُورِ
فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ
Artinya : “Hendaklah
kalian (mengikuti) Sunnahku dan Sunnah para khalifah ra>syidah yang telah
mendapatkan hidayah, berpegangteguhlah kepadanya, dan gigitlah (Sunnah
tersebut) dengan gigi grahammu, dan jauhilah oleh kalian perkara-perkara yang
baru, krena segala bentuk yang bersifat baru adalah bid’ah dan semua bentuk
bid’ah adalah sesat”.
d. Hadis yang menjelaskan bahwa telah
diturunkan kepada Rasulullah saw al-Quran dan yang semidal dengannya,
sebagaimana yang diriwayatkan oleh Abu Daud dari sahabat al-Miqdam bin Ma’di
Karib ra, Rasulullah SAW bersabda:
أَلَا إِنِّي أُوتِيتُ
الْكِتَابَ وَمِثْلَهُ مَعَه
Artinya : “Sesungguhnya
telah diberikan (diturunkan) kepadaku al-Kitab (al-Qura’n) dan bersamanya
sesuatu yang semisal dengannya (al-Sunnah)”.
3.
Ijma’ (Kesepakatan)
Para Sahabat seluruhnya
telah menyepakati kewajiban mengikuti Sunnah Nabi SAW, karena sunnah tersebut
merupakan wahyu dari Allah swt dan telah memerintahkan kepada kita untuk
mengikutinya demikian pula dengan Rasul-Nya sebagiaman dalam riwayat-riwayat
yang telah disebutkan terdahulu. Fakta-fakta yang menunjukkan kesepakatan
mereka akan kehujjahan sunnah dalam agama cukup banyak dan tidak
terbilang jummlahnya dan tidak diketahui ada seorang pun diantara mereka yang
menyalahi dan menentang hal tersebut.
Kemudian
para Tabi’in menempuh jalan para Sahabat dengan mengambil dan
mengikuti apa yang terdapat (warid ) dalam Sunnaah berupa hukum,
adab, dan tidak seorang dari mereka (Taabi’in) berani memenentang Sunnah
yang shahih.
Kemudian
keum muslimin sesudah mereka hingga hari ini telah menyepakati akan kewjiban
menerima dan mengambil hukum-hukum yang di-nuqil dari Sunnah dan
barang siapa yang menentang hal tersebut dianatara mereka, makka mereka telah
menentang Al-Qur’an dan Sunnah Nabi SAW serta mengikuti jalan selain jalan
orang mu’min.
Oleh
karena itu, kaum muslimin sangat setia menuqilnya, memeliharanya, dan berpegang
teguh dengannya karena taat kepada Allah swt dan mengikuti Rasulullah SAW.
E. Hadits Sebagai Sumber dan Dalil Islam
Uraian di bawah ini merupakan paparan tentang
kedudukan Hadits sebagai argument dasar dalam hukum Islam setelah Al Qur'an
dengan melihat beberapa dalil, baik naqli maupun aqli.
1.
Dalil
Al Qur'an
Banyak ayat
Al Qur'an yang menjelaskan tentang kewajiban memepercayai dan menerima segala
yang disampaikan Rasulullah Muhammad SAW baik berupa perintah maupun larangan,
khabar nikmat surga dan tentang siksa neraka. Allah SWT berfirman dalam surat An nur ayat 54:
ö@è% (#qãè‹ÏÛr& ©!$# (#qãè‹ÏÛr&ur tAqß™§9$# (
cÎ*sù (#öq©9uqs? $yJ¯RÎ*sù Ïmø‹n=tã $tB Ÿ@ÏiHäq Nà6ø‹n=tæur $¨B óOçFù=ÏiHäq (
bÎ)ur çnqãè‹ÏÜè? (#r߉tGôgs? 4
$tBur ’n?tã ÉAqß™§9$# žwÎ) à÷»n=t7ø9$# ÚúüÎ7ßJø9$# ÇÎÍÈ
Artinya: Katakanlah:
"Taatlah kepada Allah dan taatlah kepada rasul; dan jika kamu berpaling
Maka Sesungguhnya kewajiban Rasul itu adalah apa yang dibebankan kepadanya, dan
kewajiban kamu sekalian adalah semata-mata apa yang dibebankan kepadamu. dan
jika kamu taat kepadanya, niscaya kamu mendapat petunjuk. dan tidak lain
kewajiban Rasul itu melainkan menyampaikan (amanat Allah) dengan terang".(QS. An Nur (24): 54)
Kemudian
dalam ayat lain, Allah SWT juga berfirman:
Artinya:
Apa yang diberikan Rasul
kepadamu, Maka terimalah. dan apa yang dilarangnya bagimu, Maka tinggalkanlah.
dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya. (QS. Al Hsyr (59): 7)
Artinya: Dan taatlah kamu kepada Allah dan taatlah kamu kepada Rasul-(Nya) dan
berhati-hatilah. (QS.
Al Maidah (5): 92)
Dari
tiga ayat diatas tergambar bahwa setiap ada perintah taat kepada Allah SWT
dalam Al Qur'an selalu diiringi dengan perintah taat kepada Rasul-Nya. Demikian
pula peringatan (ancaman) karena durhaka kepada Allah SWT, sering disejajarkan
dengan ancaman karena durhaka kepada Rasul SAW.
Bentuk-bentuk
ayat seperti ini menunjukkan betapa pentingnya kedudukan penetapan kewajiban
taat kepada semua yang disampaikan oleh Rasul SAW. Dari sinilah sebetulnya
dapat dinyatakan bahwa ungkapan wajib taat kepada Rasul SAW dan larangan
mendurhakainya, merupakan merupakan kesepakatan yang tidak diperselisihkan oleh
umat Islam.[27]
2. Dalil Hadits
Dalam salah
satu pesan Rasulullah SAW berkenaan dengan keharusan menjadikan Hadits sebagai
pedoman hidup, di samping Al Qur'an sebagai pedoman utamanya, beliau bersabda:
تَرَكْتُ فِيْكُمْ أَمْرَيْنِ
لَنْ تَضِلُّوْا مَا تَمَسَّكْتُمْ بِهِمَا كِتَابَ اللهِ وَسُنَّةَ نَبِيِّـهِ
(رواه مالك]
Artinya: Aku
tinggalkan dua pusaka untukmu sekalian, yang kalian tidak akan tersesat selagi
kamu berpegang teguh pada keduanya, yaitu kitab Allah SWT (Al Qur'an) dan
Sunnah Rasul-Nya (Hadits). (HR. Malik)
Hadits tersebut di atas, menunjukkan kepada kita bahwa
berpegang teguh kepada Hadits atau menjadikan Hadits sebagai pegangan dan
pedoman hidup itu adalah wajib, sebagaimana wajibnya perpegang teguh terhadap
Al Qur'an
3. Kesepakatan Ulama (Ijma')
Kesepakatan umat muslimin dalam memepercayai, menerima dan
mengamalkan segala ketentuan yang terkandung dalam Hadits ternyata sejak
Rasulullah SAW masih hidup. Sepeninggal beliau, semenjak masa Khulafaaur
Rasyidid hingga masa-masa selanjutnya, tidak ada yang mengingkarinya.banyak
diantara mereka yang tidak hanya memahami dan mengamalkan isi kandungannya,
akan tetapi bahakan mereka menghafal, memelihara dan menyebarluaskan kepada
generasi-generasi selanjutnya.
Banyak peristiwa yang menunjukkan adanya kesepakatan
menggunakan Hadits sebagai sumber hukum Islam, diantaranya adalah:
a.
Ketika Abu Bakar di bai'at menjadi khalifah, ia pernah
berkata: "saya tidak meninggalkan sedikitpun sesuatu yang
diamalkan/dilaksanakan oleh Rasulillah, sesunggunya saya takut tersesat bila
meninggalkan perintahnya".
b.
Saat Umar bin Khattab berada didepan hajar aswad ia
berkata: "saya tahu bahwa engkau adalah batu. Seandainya saya tidak
melihat Rasulullah menciummu, maka saya tidak akan menciummu".
c.
Pernah ditanya kepada Abdullah bin Umar tenteng
ketentuan shalat safar dalam Al-Qur'an. Ibnu Umar menjawab: "Allah SWT
telah mengutus Nabi Muhammad SAW kepada
kita dan kita tidak mengetahui sesuatu. Maka sesungguhnya kami berbuat
sebagaimana duduknya Rasulullah SAW, saya makan sebagaimana makannya Rasulullah
dan saya shalat sebagaimana shalatnya Rasul".
d. Diceritakan
dari sa'id bin musayyab bahwa Utsman bin Afwan berkata: "saya duduk
sebagaimana duduknya Rasulullah, saya makan sebagaimana makanya rasulullah dan
saya shalat sebagaimana shalatnya Rasulullah".[28]
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Menurut ahli hadits, pengertian hadits dan sunnah
mengandung makna yang sama yakni sama-sama semua perbuatan, ucapan dan taqrir
nabi. Akan tetapi, pada hakikatnya ada perbedaan antara hadits dan sunnah.
Hadits ialah semua peristiwa yang disandarkan kepada nabi, walaupun hanya
sekali saja terjadi disepanjang hayatnya. Sedangkan sunnah adalah Amaliyah nabi
yang mutawatir, khususnya dari segi maknanya, karena walaupun dari segi lafal
penukilannya tidak muatawatir yang menyebabkan sanad nya pun menjadi tidak
mutawatir pula namun karena pelaksanaannya mutawatir maka dia dinamakan sunnah
Ada beberapa pembagian sunnah yang sering kita
ketahui dikehidupan sehari-hari diantaranya adalah sebagai berikut: Sunnah Qauliyah, Sunnah Fi’liyah dan Sunnah Taqririyah.
Berdasarkan fungsi
as-sunnah sebagai penjelas al-Qur’an, maka as-sunnah menduduki posisi kedua
sebagai sumber hukum dan dalil hukum Islam, setelah al- Qur’an sebagai sumber
dan dalil hukum Islam yang pertama.
B. Saran
1.
Untuk lebih
cepat memahami makalah ini penulis menyarankan untuk membaca dengan teliti dan
berulang-ulang.
2.
Penulis juga
menyadari bahwa makalah ini masih terdapat banyak kekurangan. Sehingga kritik
dan saran pembaca sangat kami harapkan untuk kesempurnaan tugas selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Wahhab Khallaf, 2003. Ilmu
Ushul Fikih; Kaidah Hukum Islam, Jakarta: Pustaka Amani.
Ahmad bin Hambal, Abu Abdillah. t.t. Musnad
Ahmad bin Hambal, Beirut: Al Maktab Al Islami
Dahlan, Abd. Rahman.
2011. Ushul Fiqh. Jakarta: Amzah.
Hasbiyallah,
2013. Fiqh dan Ushul Fiqh: Metode Istinbath dan Istidlal, Bandung: PT
Remaja Rosdakarya.
Hasbi
ash Shiddieqy, Teungku Muhammad. 2013. Sejarah
dan Pengantar Ilmu Hadits. Semarang: Pustaka Rizki Putra.
Hassan,
Qodir. 2007. Ilmu Musththalah Hadits.
Bandung: CV Penerbit Diponegoro.
Khod
Abdul Majid, 2012. Ulumul Hadist. Jakarta: Amzah.
Kholis, Nur. 2008. Pengantar Studi Al Qur'an dan Hadits,
Yogyakarta: Teras
Rofiah, Khusniati, 2010. Studi Ilmu Hadith .Ponorogo:
STAIN PO Press
Saebani, Beni
Ahmad, dkk. 2008. Fiqh Ushul Fiqh.
Bandung: Cv Pustaka Setia.
Saleh, Faisal, 2008. Mutiara Ilmu Atsar. Jakarta:
Akbar Media
Sulaiman , M. Noor. 2008. Antologi Ilmu Hadits, Jakarta: Gaung
Persada Press
Suparta, Munzier. 2008. Ilmu Hadits,
Jakarta: PT Grafindo Persada
Usman,
Suparman. 2011. Hukum Islam. Jakarta:
Gaya Media Pratama.
Zuhri, Muh. 2011. Hadis Nabi; Telaah Historis &
Metodologis. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya. 2011.
[1] Hasbiyallah, Fiqh
dan Ushul Fiqh: Metode Istinbath dan Istidlal, (Bandung: PT Remaja
Rosdakarya, 2013), 20.
[3] Dr. H. Abd. Rahman Dahlan, M. A., Ushul Fiqh,
(Jakarta: Amzah, 2011), hlm. 130.
[4]
Ibid.,
hlm. 131.
[5] Saebani, Beni Ahmad. 2008. Fiqh Ushul Fiqh
. Jakarta: cv Pustaka Setia. Hal 154
[6]
Prof.
Dr. Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fikih; Kaidah Hukum Islam, (Jakarta:
Pustaka Amani, 2003), cet. 1, hlm. 39.
[7]
Prof. Dr. Muh. Zuhri, Hadis Nabi;
Telaah Historis & Metodologis, (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2011), cet. III, hlm. 83.
[8]
Ibid., hlm. 84.
[9]
A. Qodir Hassan, Ilmu Musththalah Hadits,
( Bandung: CV Penerbit Diponegoro,2007), hlm. 48.
[10]
Prof. Dr. Teungku Muhammad Hasbi ash Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, (Semarang: Pustaka Rizki Putra,
2013), cet. VIII, hlm. 154.
[11] Dr. H.
Munzier Suparta M.A., Ilmu Hadits, ( Jakarta:
Rajawali Pres, 2011), hlm. 97-105.
[12] Prof.
Dr. Muh. Zuhri, Op. Cit., hlm. 85.
[13]
Prof. Dr. Abdul Wahhab Khallaf, Op. Cit., hlm. 49.
[14]
Suparman Usman, Hukum Islam, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2011), hlm. 45-46.
[16] Prof. Dr. H. M. Noor Sulaiman,
Antologi Ilmu Hadits, (Jakarta: Gaung Persada Press, 2008) Hal. 40
[23]
Dr. H. Abd. Rahman Dahlan, Op. Cit., hlm. 141.
[24]Ibid.,
hlm. 141-142.
No comments:
Post a Comment