Saturday, 23 December 2017

MANAJEMEN PEGADAIAN SYARIAH



 









Di  Ajukan  Untuk  Memenuhi  Salah Satu Tugas Pada
Mata Kuliah Manajemen Pegadaian Syariah
Prodi Perbankan Syariah



Oleh:

                                                                                                                1.          Ristia Ningsi
                                                                                                                2.          Sahreni












SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
W A T A M P O N E


 
2017


KATA PENGANTAR

https://encrypted-tbn1.gstatic.com/images?q=tbn:ANd9GcQtl08659PjYUwWbz0DrlYEW2TccnYhTElz8N2AmWyc_zgaXDb5Vg

Sebagai insan yang beriman dan berpancasila, marilah kita panjatkan puji dan syukur ke hadirat Allah SWT karena atas kuasa-Nya penulis dapat menyelesaikan Makalah yang berjudul “Manajemen Pegadaian Syariah “.
Terimakasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu menyelesaikan makalah ini, mudah-mudahan bantuan yang diberikan mendapatkan balasan yang berlipat ganda dari Allah SWT.
Selain itu, penulis juga menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini pasti masih banyak kekurangan dan kesalahan baik dalam segi isi maupun penulisannya. Untuk itu, penulis mohon kritik dan sarannya untuk perbaikan dan penulisan selanjutnya. Akhir kata semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi semuanya.



Watampone, 22 Desember 2017

    Penyusun









DAFTAR ISI

Halaman
KATA PENGANTAR .............................................................................               i
DAFTAR ISI .............................................................................................               ii
BAB I..... PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang.....................................................................               1
B.       Rumusan Masalah.................................................................               3
C.       Tujuan Penulisan...................................................................               3
BAB II... PEMBAHASAN
A.       Pengertian Pegadaian Syariah..............................................               4
B.       Sejarah Pegadaian Syariah...................................................               6
C.       Dasar Hukum Pegadaian Syariah.........................................               9
D.       Rukun dan Syarat Pegadaian Syariah..................................               12
E.        Tujuan, Manfaat dan Resiko Pegadaian...............................               16
F.        Praktek Operasional.............................................................               26
BAB III.. PENUTUP
A.       Kesimpulan...........................................................................               28
B.       Saran.....................................................................................               29
DAFTAR PUSTAKA













BAB I
PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang
Pada dasarnya manusia tidak bisa hidup tanpa bantuan orang lain, disinilah manusia sebagai makhluk social. ratusan tahun sistem ekonomi didunia didominasi oleh sitem bunga hampir setiap perjanjian menggunakan sitem bunga. Perkembangan produk-produk berbasis syariah kian marak di Indonesia, tidak terkecuali pegadaian. Perum pegadaian mengeluarkan produk berbasis syariah yang disebut dengan pegadaian syariah. Pada dasarnya, produk-produk berbasis syariah memiliki karakteristik seperti, tidak memungut bunga dalam berbagai bentuk karena riba, menetapkan uang sebagai alat tukar bukan sebagai komoditas yang diperdagangkan, dan melakukan bisnis untuk memperoleh imbalan atas jasa dan atau bagi hasil.
Sangat banyak lembaga keuangan syariah dalam mengatur keuangan masyarakat, yang salah satunya adalah Pengadaian Syariah. Yang tidak semata-mata juga turut serta dalam membantu kegitan ekonomi umat. Pegadaian syariah juga dapat membantu masalah ekonomi dinegara indonesia. dengan sistem pegadaian syariah secara cepat dan berjangka pendek. Dan pegadaian syariah juga memberikan keamanan bagi semua penabung dan pemegang deposito bahwa dananya tidak akan hilang begitu saja jika nasabah peminjam ingkar janji karena ada suatu aset atau barang yang menjadi jaminan.
Pegadaian syariah atau dikenal dengan istilah rahn, dalam pengoperasiannya menggunakan metode Fee Based Income (FBI) atau Mudharobah (bagi hasil). Karena nasabah dalam mempergunakan marhumbih (UP) mempunyai tujuan yang berbeda-beda misalnya untuk konsumsi, membayar uang sekolah atau tambahan modal kerja, penggunaan metode Mudharobah belum tepat pemakaiannya. Oleh karenanya, pegadaian menggunakan metode Fee Based Income (FBI).
Sebagai penerima gadai atau disebut Murtahim, penggadaian akan mendapatkan Surat Bukti Rahn (gadai) berikut dengan akad pinjam-meminjam yang disebut Akad Gadai Syariah dan Akad Sewa Tempat (Ijarah). Dalam akad gadai syariah disebutkan bila jangka waktu akad tidak diperpanjang maka penggadai menyetujui agunan (marhun) miliknya dijual oleh murtahin guna melunasi pinjaman. Sedangkan Akad Sewa Tempat (ijarah) merupakan kesepakatan antara penggadai dengan penerima gadai untuk menyewa tempat untuk penyimpanan dan penerima gadai akan mengenakan jasa simpan.
Pada saat ini gadai adalah hal yang lumrah dalam kehidupan sehari-hari namun pada nyatanya masih banyak orang yang belum mengetahui hukum gadai dalam islam. Tuntutan hidup yang semakin keras membuat banyak orang memilih mendapatkan uang dan barang dengan cepat meski tidak mengetahui hukum-hukumnya dalam islam. Oleh karena itu kita akan menelaah lebih lanjut mengenai hukum gadai dan pemanfaatan barang gadai.

B.       Rumusan Masalah
1.         Apa pengertian dari Pegadaian Syariah ?
2.         Bagaimana sejarah Pegadaian Syariah ?
3.         Apa dasar hukum Pegadaian Syariah ?
4.         Bagaimana rukun dan syarat Pegadaian Syariah?
5.         Apa saja tujuan, manfaat dan resiko Pegadaian Syariah?
6.         Bagaimana praktek operasional Pegadaian Syariah ?

C.      Tujuan Penulisan
1.         Mahasiswa dapat memahami Pegadaian Syariah.
2.         Mahasiswa dapat memahami sejarah Pegadaian Syariah.
3.         Mahasiswa memahami dasar hukum yang melandasi Pegadaian Syariah.
4.         Mahasiswa dapat memahami rukun dan syarat Pegadaian Syariah.
5.         Mahasiswa dapat memahami tujuan, manfaat dan Resiko Pegadaian.
6.         Mahasiswa dapat memahami bagaimana operasional praktek Pegadaian Syariah.
BAB II
PEMBAHASAN

A.      Pengertian Pegadaian Syariah
Pegadaian Syariah menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Pasal 1150 disebutkan : “Gadai adalah suatu hak yang diperoleh seorang yang berpiutang atas suatu barang bergerak, yang diserahkan kepadanya oleh seorang berutang atau oleh seorang lain atas namanya, dan yang membiarkan kekuasaan kepada orang yang berpiutang itu untuk mengambil perlunasan dari barang tersebut serta didahulukan daripada orang yang berpiutang lainnya, dengan pengecualian biaya untuk melarang barang tersebut dan biaya yang telah dikeluarkan untuk menyelamatkannya setelah barang itu digadaikan, biaya-biaya mana harus didahulukan”.[1]
Gadai dalam perspektif islam disebut dengan istilah rahn, yaitu suatu perjanjian untuk menahan sesuatu barang sebagai jaminan atau tanggungan utang. Kata rahn secara etimologi berarti “tetap”, berlangsung”dan “menahan”. maka dari segi bahasa rahn bisa diartikan sebagai menahan sesuatu dengan tetap. Ar-Rahn adalah menahan salah satu harta milik si peminjam sebagai jaminan atas pinjaman yang diterimanya.
Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor: 02 Tahun 2008 tentang Kompilasi Hukuk Ekonomi Syariah Pasal 20 mendefinisikan rahn sebagai berikut: “Pengusaan barang milik peminjam oleh pemberi
pinjaman sebagai jaminan.”
Dalam jurnal Ahmad Supriyadi mengatakan bahwa gadai syariah adalah hubungan hukum antara satu orang atau lebih dengan seorang atau lebih dengan kata seepakat untuk mengikatkan dirinya bahwa di satu pihak (rahin) bersedia menyerahkan barang untuk ditahan oleh murtahin dan membayar biaya perawatan dan sewa tempat penyimpanan serta asuransi sedangkan murtahin sepakat untuk memberikan pinjaman uang tertentu sebesar nilai taksir.[2]
Pengertian gadai yang ada dalam syariah agak berbeda dengan pengertian gadai yang ada dalam hukum positif, sebab pengertian gadai dalam hukum positif seperti yang tercantum dalam Burgerlijk Wetbook (Kitab Undang-Undang Hukum Perdata adalah suatu hak yang diperoleh seseorang yang mempunyai piutang atas suatu barang bergerak, yang diserahkan kepadanya oleh seorang yang berhutang atau oleh seseorang lain atas dirinya, dan yang memberikan kekuasaan kepada orang yang berpiutang itu untuk mengambil pelunasan dari barang tersebut secara didahulukan dari pada orang yang berpiutang lainnya, dengan pengecualian biaya yang telah dikeluarkan untuk menyelamatannya setelah barang itu digadaikan, biaya-biaya mana harus didahulukan (Pasal 1150 KUH Perdata).[3]
Pengertian rahn yang merupakan perjanjian utang piutang antara dua atau beberapa pihak mengenai persoalan benda dan menahan sesuatu barang sebagai jaminan utang yang mempunyai nilai harta menurut pandangan syara’ sebagai jaminan atau ia bisa mengambil sebagian manfaat barang itu. Firman Allah dalam surat Al-Muddastsir ayat 34 yang berbunyi :
@ä. ¤§øÿtR $yJÎ ôMt6|¡x. îpoYÏdu ÇÌÑÈ  
Artinya : “tiap-tiap diri bertanggung jawab atas apa yang telah diperbuatnya”.

Gadai Syariah sering diidentikkan dengan Rahn yang secara bahasa diartikan al-tsubut wa al-dawam (tetap dan kekal) sebagian Ulama Luhgat memberi arti al-hab (tertahan).[4] Sedangkan definisi al-rahn menurut istilah yaitu menjadikan suatu benda yang mempunyai nilai harta dalam pandangan syar’a untuk kepercayaan suatu utang, sehingga memungkinkan mengambil seluruh atau sebagaian utang dari benda itu.[5]
Istilah rahn menurut Imam Ibnu Mandur diartikan apa-apa yang diberikan sebagai jaminan atas suatu manfaat barang yang diagunkan.[6] Dari kalangan Ulama Mazhab Maliki mendefinisikan rahn sebagai “harta yang dijadikan pemiliknya sebagai jaminan hutang yang bersifat mengikat“, ulama Mazhab Hanafi mendefinisikannya dengan “menjadikan suatu barang sebagai jaminan terhadap hak (piutang) yang mungkin dijadikan sebagai pembayar hak tersebut, baik seluruhnya maupun sebagiannya“. Ulama Syafii dan Hambali dalam mengartikan rahn dalam arti akad yakni menjadikan materi (barang) sebagai jaminan utang, yang dapat dijadikan pembayar utang apabila orang yang berhutang tidak bisa membayar hutangnya.[7]
Dalam bukunya: Pegadaian Syariah, Muhammad Sholikul Hadi (2003) mengutip pendapat Imam Abu Zakariya al-Anshari dalam kitabnya Fathul Wahhab yang mendefenisikan rahn sebagai: “menjadikan benda bersifat harta sebagai kepercayaan dari suatu utang yang dapat dibayarkan dari (harga) benda itu bilautang tidak dibayar.” Sedangkan menurut Ahmad Baraja, rahn adalah jaminan bukan produk dan semata untuk kepentingan sosial, bukan kepentingan bisnis, jual beli mitra.[8]
Adapun pengertian rahn menurut Imam Ibnu Qudhamah dalam kitab Al-Mughni adalah sesuatu benda yang dijadikan kepercayaan dari suatu hutang untuk dipenuhi dari harganya, apabila yang berhutang tidak sanggup membayarnya dari yang berpiutang. [9]
Jika memperhatikan pengertian gadai (rahn) di atas, maka tampak bahwa fungsi dari akad perjanjian antara pihak peminjam dengan pihak yang meminjam uang adalah untuk memberikan ketenangan bagi pemilik uang dan/ atau jaminan keamanan uang yang dipinjamkan. Karena itu, rahn pada prinsipnya merupakan suatu kegiatan utang piutang yang murni berfungsi sosial, sehingga dalam buku fiqh muamalah akad ini merupakan akad tabarru’ atau akad derma yang tidak mewajibkan imbalan.[10]

B.       Sejarah Pegadaian Syariah
Pegadaian dikenal mulai dari Eropa, yaitu negara Italia, Inggris, dan Belanda, yaitu sekitar abad 19-an, oleh sebuah bank yang bernama Van Lening. Bank tersebut memberi jasa pinjaman dana dengan syarat penyerahan barang bergerak, sehingga bank ini pada hakikatnya telah memberikan jasa pegadaian. Pada awal 20-an, pemerintah Hindia Belanda berusaha mengambil alih usaha pegadaian dan memonopolinya dengan cara mengeluarkan Staatsblad No.131 tahun 1901. Peraturan tersebut diikuti dengan pendirian rumah gadai resmi milik pemerintah dan statusnya diubah menjadi Dinas
Pegadaian sejak berlakunya Staatsblad No.226 tahun 1960.[11]
Selanjutnya, pegadaian milik pemerintah tetap diberi fasilitas monopoli atas kegiatan pegadaian di Indonesia. Dinas pegadaian mengalami beberapa kali bentuk badan hukum sehingga akhirnnya pada tahun 1990 menjadi perusahaan umum. Sewaktu pada tahun f1960 Dinas Pegadaian berubah menjadi Perusaan Negara (PN) Pegadaian, pada tahun 1969 Perusahaan Negara Pegadaian diubah menjadi Perusahaan Negara Jawatan (Perjan) Pegadaian, dan pada tahun 1990 menjadi Perusahaan Umum (Perum). Pegadaian melalui peraturan pemerintah No.10 tahun 1990 tanggal 10 April 1990. Pada waktu pegadaian masih berbentuk Perusahaan Jawatan. Misi sosial dari pegadaian merupakan satu-satunya acuan yang digunakan oleh manajemen dalam mengelola pegadaian.[12]
Pada saat ini pegadaian syariah belum terbentuk sebagai sebuah lembaga. Ide pembentukan pegadaian syariah selain karena tuntutan idealism, juga dikarenakan keberhasilan terlembaganya bank dan asuransi syariah. Setelah terbentuknya Bank, BMT, BPR, dan asuransi syariah maka pegadaian syariah mendapat perhatian oleh beberapa praktisi dan akademisi untuk dibentuk dibawah suatu lembaga sendiri. Keberadaan pegadaian syariah atau gadai syariah (rahn) lebih dikenal sebagai produk yang ditawarkan oleh bank syariah, dimana bank menawarkan kepada masyarakat bentuk penjaminan barang guna mendapatkan pembiayaan.
Namun trend  dari perkembangna rahn sebagai produk perbankan syariah belum begitu baik, hal ini disebabkan oleh keberadaan komponen-komponen pendukung produk rahn yang terbatas, seperti sumberdaya penafsir, alat untuk menafsir, dan gudang penyimpanan barang jaminan. Oleh karena itu, tidak semua bank mampu memfasilitasi keberadaan rahn ini, tetapi jika keberadaan rahn sangat dibutuhkan dalam sistem pembiayaan bank, maka bank tersebut memiliki ketentuan sendiri mengenai rahn, misalnya dalam hal barang jaminan ukurannya dibatasi karena alasan kapasitas gudang penyimpanan barang jaminan terbatas.
Terbitnya PP/10 tanggal 1 April 1990 dapat dikatakan menjadi tonggak awal kebangkitan Pegadaian, satu hal yang perlu dicermati bahwa PP10 menegaskan misi yang harus diemban oleh Pegadaian untuk mencegah praktik riba, misi ini tidak berubah hingga terbitnya PP103/2000 yang dijadikan sebagai landasan kegiatan usaha Perum Pegadaian sampai sekarang.[13] Banyak pihak berpendapat bahwa operasionalisasi Pegadaian pra Fatwa MUI tanggal 16 Desember 2003 tentang Bunga Bank, telah sesuai dengan konsep syariah meskipun harus diakui belakangan bahwa terdapat beberapa aspek yang menepis anggapan itu. Berkat Rahmat Allah SWT dan setelah melalui kajian panjang, akhirnya disusunlah suatu konsep pendirian unit Layanan Gadai Syariah sebagai langkah awal pembentukan divisi khusus yang menangani kegiatan usaha syariah.
Sejarah pegadaian syariah di Indonesia tidak dapat dicerai-pisahkan dari  kemauan  warga  masyarakat  Islam  untuk  melaksanakan  transaksi akad  gadai berdasarkan prinsip syariah dan kebijakan pemerintah dalam pengembangan praktik ekonomi dan lembaga  keuangan  yang  sesuai dengan  nilai  dan  prinsip  hukum  Islam.  Selain  itu,  semakin  populernya praktik bisnis ekonomi syariah dan mempunyai peluang yang cerah untuk dikembangkan.
Berdasarkan hal diatas, pihak pemerintah bersama DPR merumuskan  rancangan  peraturan  perundang-undangan  yang kemudian disahkan  pada  bulai  Mei  menjadi  UU  No.  10  Tahun  1998  tentang Perbankan. Undang-undang  tersebut,  memberi  peluang  untuk  diterapkan raktik   perekonomian   sesuai   syariah dibawah   perlindungan   hukum positif.
Dibawah undang-undang tersebut   maka   terwujud   Lembaga-lembaga  Keuangan  Syariah  (LKS).  Pada  awalnya,  muncul  lembaga perbankan   syariah, yaitu Bank Muamalat menjadi pionirnya, dan seterusnya   bermunculan lembaga keuangan syariah   lainnya,   seperti lembaga asuransi syariah, lembaga pegadaian syariah, dan lain-lainnya.
Pegadaian  syariah  pertama  kali  berdiri  di  Jakarta dengan nama Unit Layanan Gadai Syariah (ULGS) cabang Dewi Sartika di  bulan Januari  tahun  2003.  Menyusul  kemudian  pendirian  ULGS  diSurabaya, Makassar, Semarang, Surakarta, dan Yogyakarta di tahun yang sama  hingga  September  2003.  Masih  di  tahun  yang  sama  pula,  4  kantor cabang Pegadaian di Aceh dikonversi menjadi Pegadaian Syariah.
Pada  akhir  Februari  2009  jumlah  pembiayaan  Pegadaian Syariah mencapai  Rp  1,6  triliyun  dengan  jumlah  nasabah  600  ribu  orang  dan jumlah  kantor  cabang  berjumlah  120  buah.  Jumlah  tersebut  masih  lebih kecil  dibanding  dengan  kantor  cabang pegadaian  konvensional yang berjumlah  3.000  buah.  Pembiayaan pegadaian  syariah untuk Usaha  Kecil dan Menengah (UKM)  sebesar  Rp  8,2  milyar,  yang  berarti  lebih  besar jumlahnya  dari  target  awal,  sebesar  Rp  7,5  milyar.
Peningkatan  bisnis gadai  syariah  meningkat  hingga  158  persen  pada  akhir  tahun  2010.  Hal tersebut  meningkat  tajam  dari  tahun  sebelumnya  sebesar  90  persen. Sedangkan  peningkatan pegadaian  syariah tahun  2008  lebih  rendah dibanding  dengan  tahun  2009  dan  2010  yang  hanya  67,7  persen.  Secara umum,  perkembangan pegadaian  syariah mengalami  peningkatan  yang pesat dari tahun-ketahun.[14]

C.      Dasar Hukum Pegadaian Syariah
1.         Al-Qur’an
Dalam al-Qur’an terdapat dalam surat al-Baqarah ayat 283:
* bÎ)ur óOçFZä. 4n?tã 9xÿy öNs9ur (#rßÉfs? $Y6Ï?%x. Ö`»yd̍sù ×p|Êqç7ø)¨B ( ÷bÎ*sù z`ÏBr& Nä3àÒ÷èt/ $VÒ÷èt/ ÏjŠxsãù=sù Ï%©!$# z`ÏJè?øt$# ¼çmtFuZ»tBr& È,­Guø9ur ©!$# ¼çm­/u 3 Ÿwur (#qßJçGõ3s? noy»yg¤±9$# 4 `tBur $ygôJçGò6tƒ ÿ¼çm¯RÎ*sù ÖNÏO#uä ¼çmç6ù=s% 3 ª!$#ur $yJÎ/ tbqè=yJ÷ès? ÒOŠÎ=tæ ÇËÑÌÈ
Artinya : “jika kamu dalam perjalanan (dan bermu'amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, Maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang[180] (oleh yang berpiutang). akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, Maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya”.[15]
2.         Al-Hadis
Hadits Rasul Saw yang diriwayatkan oleh Muslim dari Aisyah ra.
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ اشْتَرَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ يَهُودِيٍّ طَعَامًا وَرَهَنَهُ دِرْعًا مِنْ حَدِيدٍ
“Dari Aisyah berkata: Rasulullah Saw membeli makanan dari seorang Yahudi dan menggadaikannya dengan besi”.
عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّهُ مَشَى إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِخُبْزِ شَعِيرٍ وَإِهَالَةٍ سَنِخَةٍ وَلَقَدْ رَهَنَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دِرْعًا لَهُ بِالْمَدِينَةِ عِنْدَ يَهُودِيٍّ وَأَخَذَ مِنْهُ شَعِيرًا لِأَهْلِهِ
 “Dari Anas ra bahwasanya ia berjalan menuju Nabi Saw dengan roti dari gandum dan sungguh Rasulullah Saw telah menaguhkan baju besi kepada seorang Yahudi di Madinah ketika beliau mengutangkan gandum dari seorang Yahudi”. (HR.Anas r.a).
3.         Ijtihad Ulama
Perjanjian gadai yang diajarkan dalam al-Qur’an dan al-Hadis itu dalam pengembangan selanjutnya dilakukan oleh para fuqaha dengan jalan ijtihad, dengan kesepakatan para ulama bahwa gadai diperbolehkan dan para ulama tidak pernah mempertentangkan kebolehannya demikian juga dengan landasan hukumnya. Namun demikian perlu dilakukan pengkajian ulang yang lebih mendalam bagaimana seharusnya pegadaian menurut landasan hukumnya.[16]
Asy-Syafii mengatakan Allah tidak menjadikan hukum kecuali dengan barang berkriteria jelas dalam serah terima. Jika kriteria tidak berbeda (dengan aslinya), maka wajib tidak ada keputusan. Mazhab Maliki berpendapat, gadai wajib dengan akad (setelah akad) orang yang menggadaikan (rahn) dipaksakan untuk menyerahkan jaminan untuk dipegang oleh yang memegang gadaian (murtahin). Jika jaminan sudah berada ditangan pemegang gadaian (murtahin) orang yang menggadaikan (rahin) mempunyai hak memanfaatkan, berbeda dengan pendapat Imam Syafii yang mengatakan, hak memanfaatkan berlaku selama tidak merugikan/membahayakan pemegang gadaian.
4.         Fatwa Dewan Syariah Nasional
Disamping  itu,  menurut  fatwa  DSN-MUI/III/2002 No.  25 tentang Rahn harus memenuhi ketentuan umum berikut:
a.         Murtahin (penerima barang) mempunyai  hak untuk menahan marhun (barang)  sampai  semua  utang rahn (yang  menyerahkan barang) dilunasi.
b.        Marhun dan manfaatnya tetap menjadi milik rahn. Pada prinsipnya, marhun tidak  boleh  dimanfaatkan  oleh murtahin kecuali  seizin rahn,  dengan  tidak  mengurangi  nilai marhun dan  pemanfaatannya itu sekadar pengganti biaya pemeliharaan dan perawatannya.
c.         Pemeliharaan  dan  penyimpanan  marhun  pada  dasarnya menjadi kewajiban rahn,   namun   dapat   dilakukan   juga   oleh   murtahin, sedangkan  biaya  dan  pemeliharaan  penyimpanan  tetap  menjadi kewajiban rahn.\
d.        Besar  biaya  pemeliharaan  dan  penyimpanan marhun tidak  boleh ditentukan berdasarkan jumlah pinjaman.
e.         Penjualan marhun
1)   Apabila  jatuh  tempo,  murtahin  harus  memperingatkan rahnuntuk segera melunasi utangnya.
2)   Apabila rahn tetap tidak dapat melunasi utangnya, maka marhun dijual paksa/dieksekusi melalui lelang sesuai syariah.
3)   Hasil penjulan marhun digunakan untuk melunasi utang, biaya pemeliharaan dan penyimpanan yang belum dibayar serta biaya penjualan.
4)   Kelebihan hasil penjualan menjadi milik rahn dan kekurangannya menjadi kewajiban rahn.
Sedangkan  untuk  gadai  emas  syariah,  menurut  Fatwa  DSN-MUI No.26/DSN-MUI/III/2002 Rahn Emas harus memenuhi  ketentuan umum berikut:
a.         Rahn emas dibolehkan berdasarkan prinsip rahn.
b.        Ongkos dan biaya  penyimpanan  barang (marhun) ditanggung  oleh penggadai (rahn)
c.         Ongkos  penyimpanan besarnya didasarkan pada pengeluaran yang nyata-nyata diperlukan.
d.        Biaya  penyimpanan  barang  (marhun)  dilakukan  berdasarkan  akad ijarah.[17]
Dalam pengaplikasiannya, pegadaian syariah memiliki dewan pengawas khusus  yang  akan  mengawasi  operasional  pegadaian  syariah agar tidak terjadi pelanggaran-pelanggaran hukum yang bersifat syariah. Dewan  Pengawas  Syariah  (DPS)   adalah  badan  independen yang ditempatkan oleh DSN pada lembaga keuangan syariah yang terdiri dari para pakar dibidang syariah, muamalah,  dan  memiliki  pengetahuan umum  di  bidang  perekonomian  syariah.  Tugasnya  adalah  mengawasi operasional   lembaga   keuangan   syariah   yang   berhubungan   dengan penerapan  prinsip-prinsip syariat Islam  oleh  lembaga  yang  diawasi tersebut  agar  tidak  menyimpan dari  ketentuan  yang  telah  difatwakan oleh DSN-MUI.

D.      Rukun dan Syarat Pegadaian Syariah
1.         Rukun Gadai
Dalam menjalankan pegadaian syariah, pegadaian harus memenuhi rukun gadai syariah. Rukun gadai tersebut antara lain:[18]
a.         Ar-Rahin (yang menggadaikan), syaratnya yaitu: orang yang telah dewasa, berakal, bisa dipercaya, cakap bertindak hukum dan memiliki barang yang akan digadaikan.
b.        Al-Murtahin (yang menerima gadai), yaitu: orang, bank, atau lembaga yang dipercaya oleh rahin untuk mendapatkan modal dengan jaminan barang.
c.         Al-Marhun/ Rahn (barang yang digadaikan), yaitu: barang yang digunakan rahin untuk dijadikan jaminan dalam mendapatkan uang. Marhun itu harus memenuhi beberapa syarat, yaitu:
1)        Harus diperjualbelikan.
2)        Harus berupa harta yang bernilai.
3)        Marhun harus bisa dimanfaatkan secara syariah
4)        Harus diketahui keadaan fisiknya, maka piutang tidak sah untuk digadaikan harus berupa barang yang diterima secara langsung.
5)        Harus dimiliki oleh rahin setidaknya harus seizing pemiliknya.
d.        Al-Marhun bih (utang), sejumlah dana yang diberikan murtahin kepada rahin atas dasar besarnya tafsiran marhun. Al-Marhun bih itu harus memenuhi beberapa syarat, yaitu:
1)        Harus merupakan hak yang wajib diberikan/ diserahkan kepada pemiliknya.
2)        Memungkinkan pemanfaatan.
3)        Harus dikuantifikasi atau dapat dihitung jumlahnya.
e.         Sighat (Ijab dan Qabul), yaitu: kesepakatan antara rahin dan murtahin dalam melakukan transaksi gadai. Sighat tidak boleh terikat dengan syarat tertentu dan dengan waktu-waktu pada masa depan.
2.         Syarat Gadai
a.         Rahin dan murtahin
Mempunyai kecakapan dalam melakukan akad (ahliyah al-tasharruf), yaitu balig, berakal, cerdas, dan tidak terhalang melakukan akad seperti orang yang sedang dipenjara. Pendapat tersebut sepakat dikemukakan oleh mayoritas ulama kecuali Hanafiyah yang menyatakan balig tidak menjadi syarat. Oleh karena itu, anak yang sudah mumayyiz asalkan ada izin orang tuanya, sah melakukan akad.
b.        Marhun
1)        Dapat dijual apabila pada waktunya utang tidak terbayar yang nilainya seimbang dengan utang.
2)        Bernilai harta dan boleh dimanfaatkan. Oleh karena itu misalnya khamr dan bangkai tidak sah dijadikan marhun.
3)        Dapat diketahui dengan jelas pada waktu akad. oleh karena itu misalnya tidak sah menggadaikan burung yang sedang terbang
di uadara atau ikan yang ada di kolam.
4)        Dapat diserahterimakan pada waktu akad. Oleh karena itu utang yang berada dalam tanggungan tidak sah dijadikan marhun.
5)        Dapat dikuasai oleh murtahin.
6)        Milik orang yang menggadaikan atau orang yang berutang. Atau apabila milik orang lain harus ada izin darinya. Akan tetapi apabila ada kaitannya dengan hak kepengurusan (wilayah syar’iyyah), seperti orang tua yang menggadaikan harta milik anaknya atau orang yang menerima wasiat yang menggadaikan harta milik orang yang member wasiat, maka hal itu diperbolehkan tanpa harus ada izin dari keduanya (anaknya atau pemberi wasiat).
7)        Dapat dibagi atau dipisahkan. Oleh karena itu tidak sah hukumnya menggadaikan harta yang terikat dengan hak orang lain yang tidak bisa dibagi (musya), seperti menggadaikan sebagian rumah atau setengah dari perangkat kendaraan, yang kepemilikannya berserikat. Pendapat tersebut dikemukakan oleh Hanafiyah. Berbeda dengan Imam Syafi’I yang memperbolehkan hal tersebut apabila diketahui keberadaannya.
8)        Satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan. Oleh karena itu tdak sahnya hukumnya menggadaikan buah yang ada di pohon, tanpa menggadaikan pohonnya, atau tanaman tanpa tanahnya. Karena semuanya itu tidak mungkin memisahkan buah atau tanaman tanpa pohon dan tanahnya.
c.         Marhun bih
1)        Merupakan hak yang harus dikembalikan kepada rahin.
2)        Memungkinkan dapat dibayarkan dengan marhun tersebut.
3)        Harus jelas dan tertentu. Oleh karena itu apabila seseorang memberikan marhun atas salah satu dari dua utangnya, tanpa menjelaskan marhun yang diserahkan itu untuk utang yang mana, maka hukumnya tidak sah. Karena hal tersebut termasuk ke dalam hak yang samar.
4)        Masih tetap berjalan. Oleh karena itu tidak sah hukunya menyerahkan marhun, namun berutangnya di kemudian hari. Karena gadai itu merupakan kepercayaan atas hak, yang tidak bisa terdahului oleh yang lain. Pendapat ini dikemukakan Hanabilah.
d.        Shighat
1)        Diungkapkan dengan kata-kata yang menunjukkan akad gadai
yang lazim diketahui masyarakat, baik dengan ungkapan kata-kata atau petunjuk jelas. Misalnya telah dikemukakan di atas
dalam pembahasan rukun gadai.
2)        Dilakukan dalam satu majlis. Maksudnya kedua belah pihak yang melakukan akad gadai hadir dan membicarakan topik yang sama atau antara ijab dan qabul tidak terpisah oleh sesuatu yang menunjukkan berpalingnya akad menurut kebiasaan.
3)        Terdapat kesesuaian antara ijab dan qabul. Maksudnya ungkapan qabul dari murtahin sesuai atau ada kaitannya dengan yang dimaksud oleh ungkapan ijabnya rahin.
4)        Tidak dikaitkan dengan syarat tertentu atau masa yang akan datang. Karena akad gadai dalm hal ini sama dengan akad jual beli. Apabila hal tersbut dilakukan, maka syaratnya batal, sedangkan akadnya sah. Misalnya rahin mensyaratkan jika utangnya belum terbayar pada waktu yang telah ditentukan, maka dia waktunya diperpanjang lagi. Atau murtahin mensyaratkan agar barang gadaian bisa dimanfaatkan olehnya. Pendapat tersebut dikemukakan oleh Hanafiyah.[19]



E.       Tujuan, Manfaat dan Resiko Pegadaian
1.         Tujuan pegadaian
Berikut adalah beberapa tujuan dari adanya usaha pegadaian:
a.         Membantu orang- orang yang membutuhkan pinjaman dengan syarat mudah.
b.        Untuk masyarakat yang ingin mengetahui barang yang dimilikinya, pegadaian memberikan jasa taksiran untuk mengetahui nilai barang
c.         Menyediakan jasa pada masyarakat yang ingin menyimpan barangnya
d.        Memberikan kredit kepada masyarakat yang mempunyai penghasilan tetap seperti karyawan
e.         Menunjang pelaksana kebijakan dan program pemerintah dibinang
ekonomi dan pembangunan nasional pada umumnya melalui penyaluran uang pinjaman atas dasar hokum gadai
f.         Mencega praktik ijon, pegadaian gelap, riba dan pinjaman tidak wajar lainya
g.        Meningkatkan kesejahteraan masyarakat terutama golongan menengah kebawa melalui penyediaan dana atas dasar hokum gadai, dan jasa dibidang keuangan lainya berdasarkan ketentuan peraturan perundang- undangan yang berlaku
h.        Membina perekonomian rakyat kecil dengan menyalurkan kredit atas dasar hukum gadai kepada masyarakat
i.          Di samping penyaluran kredit, maupun usaha- usaha lainya  yang bermanfaat terutama bagi pemerintah dan masyarakat
j.          Membina pola pengkreditan supaya benar- benar terarah dan bermanfaat, terutama mengenai kredit yang bersifat produktif dan bila perlu memperluas daerah operasionalnya.
Tujuan utama usaha pegadaian adalah untuk mengatasi agar masyarakat yang sedang membutuhkan uang tidak jatuh ke tangan para pelepas uang atau tukang ijon atau tukang rentenir yang bunganya relatif tinggi. Perusahaan pegadaian menyediakan pinjaman uang dengan jaminan barang-barang berharga. Meminjam uang ke perum pegadaian bukan saja karena prosedurnya yang mudah dan cepat, tetapi karena biaya yang dibebankan lebih ringan jika dibandingkan dengan para pelepas uang atau tukang ijon. Hal ini dilakukan sesuai dengan salah satu tujuan dari perum pegadaian dalam pemberian pinjaman kepada masyarakat dengan moto “meyelesaikan masalah tanpa masalah”.
Jika seseorang membutuhkan dana sebenarnya dapat diajukan ke berbagai sumber dana, seperti meminjam uang ke bank atau lembaga keuangan lainnya. Akan tetapi, kendala utamanya adalah prosedurnya yang rumit dan memakan waktu yang relatif lebih lama. Kemudian disamping itu, persyaratan yang lebih sulit untuk dipenuhi seperti dokumen yang harus lengkap, membuat masyarakat mengalami kesulitan untuk memenuhinya. Begitu pula dengan jaminan yang diberikan harus barang-barang tertentu, karena tidak semua barang dapat dijadikan jaminan di bank.
Namun, di perusahaan pegadaian begitu mudah dilakukan, masyarakat cukup datang ke kantor pegadaian terdekat dengan membawa jaminan barang tertentu, maka uang pinjaman pun dalam waktu singkat dapat terpenuhi. Jaminannya pun cukup sederhana sebagai contoh adalah jaminan dengan jam tangan saja sudah cukup untuk memperoleh sejumlah uang dan hal ini hampir mustahil dapat diperoleh di lembaga keuangan lainnya.
Keuntungan lain di pegadaian adalah pihak pegadaian tidak mempermasalahkan untuk apa uang tersebut digunakan dan hal ini tentu bertolak belakang dengan pihak perbankan yang harus dibuat serinci mungkin tentang penggunaan uangnya. Begitu pula dengan sangsi yang diberikan relatif ringan, apabila tidak dapat melunasi dalam waktu tertentu. Sangsi yang paling berat adalah jaminan yang disimpan akan dilelang untuk menutupi kekurangan pinjaman yang telah diberikan.
Jadi keuntungan perusahaan pegadaian jika dibandingkan dengan lembaga keuangan bank atau lembaga keuangan lainnya adalah:
a.         Waktu yang relatif singkat untuk memperoleh uang, yaitu paada hari itu juga, hal ini disebabkan prosedurnyayang tidak berbelit-belit.
b.        Persyaratan yang sangat sederhana sehingga memudahkan konsumen untuk memenuhinya
c.         Pihak pegadaian tidak mempermasalahkan uang tersebut digunakan untuk apa, jadi sesuai dengan kehendak nasabahnya.[20]
2.         Manfaat pegadaian
a.         Bagi Nasabah
1)        Tersedianya dana dengan prosedur yang relative sederhana dan dalam waktu yang lebih cepat dibandingkan dengan pembiayaan
/ kredit perbankan.
2)        Nasabah juga mendapat manfaat penaksiran nilai barang bergerak seacara professional.
3)        Mendapatkan fasilitas penitipan barang bergerak yang aman dan dapat dipercaya.
4)        Jika  rahn  diterapkan  dalam  mekanisme pegadaian, maka akan
sangat membantu saudara kita yang kesulitan dana terutama di daerah-daerah.[21]
5)        Bank memberikan kemungkinan nasabah lalai atau bermain-main dengan fasilitas pembiayaan yang diberikan bank.
6)        Serta bank memberikan keamanan bagi semua penabung dan pemegang deposito bahwa dananya tidak akan hilang begitu saja jika nasabah peminjam ingkar janji karena ada suatu asset atau barang (marhun).[22]
b.        Bagi perusahaan pegadaian
1)        Penghasilan yang bersumber dari sewa modal yang dibayarkan oleh peminjam dana.
2)        Penghasilan yang bersumber dari ongkos yang dibayarkan oleh nasabah memperoleh jasa tertentu. Bank syariah yang mengeluarkan produk gadai syariah dapat mendapat keuntungan dari pembebanan biaya administrasi dan biaya sewa tempat penyimpanan emas.
3)        Pelaksanaan misi perum pegadaian sebagai BUMN yang bergerak di bidang pembiayaan berupa pemberian bantuan kepada masyarakat yang memerlukan dana dengan prosedur yang relative sederhana.
4)        Berdasarkan PP No.10 tahun 1990, laba yang diperoleh digunakan untuk: (1) dana pembangunan semesta (55%), (2) cadangan umum (20%), (3) cadangan tujuan (5%), (4) dana sosial (20%).[23]
3.         Risiko pegadaian dan penanganannya
Berdasarkan SK Direksi No 10950/sdm.200322/ 2004 tanggal 28 April 2004 tentang Struktur Organisasi perum pegadaian telah dibentuk unit kerja setingkat divisi, yaitu Satuan Manajemen Risiko. Perum pegadaian sebagai perusahaan yang bergerak di bidang penyaluran uang pinjaman atas dasar hukum gadai melalui divisi tersebut telah melakukan identifikasi, pengukuran, penilaian dan pengelolaan risiko sebagai berikut:
a.         Risiko Pendanaan
Dalam memberikan pinjaman kepada nasabah, perum pegadaian menghadapi risiko yang mungkin terjadi terkait dengan pendanaan tidak dapat memenuhi permintaan pasar yang tinggi sedangkan investor menarik dananya (kewajiban pembayaran jangka pendek ) terkait dengan fluktusi tingkat suku bunga dan struktur permodalan. Dengan kondisi ini, kemampuan perum pegadaian untuk kegiatan operasionalnya menjadi berkurang, sehingga akan mempengaruhi perkembangan pendapatan dan akhirnya akan menurunkan pertumbuhan tingkat keuntungan perum pegadaian. Risiko pendanaan terdiri dari :
1)   Risiko Likuiditas dan Solvabilitas
Risiko Likuiditas dan Solvabilitas yaitu risiko dimana adanya kemungkinan perum pegadaian tidak dapat memenuhi kewajiban pembayaran jangka pendek dan jangka panjang kepada para krediturnya. Risiko ini muncul apabila terjadinya :
a)    Kreditur secara bersama menarik/tidak memperpanjang pinjaman jangka pendeknya.
b)   Belum adanya kreditur pengganti.
c)    Kinerja keuangan menurut, sehingga kepercayaan investor juga menurut.
2)   Risiko Suku Bunga
Risiko yang terjadi karena fluktuasi tingkat suku bunga di pasar, akan berdampak pada kenaikan cost of fund maupun penurunan laba. Kenaikan ringkat suku bunga atas pendanaan perum pegadaian untuk meningkatkan pertumbuhan. Risiko ini muncul apabila terjadi :
a)    Terhadap hutang perum pegadaian yang menggunakan skim bunga mengabang.
b)   Kondisi makro ekonomi tidak kondusif sehingga tingkat suku bunga meningkat
c)    Inflasi yang tinggi sehingga kenaikan lending rate tidak dapat segera dilakukan dengan pertimbangan daya beli masyarakat menurun.
Mengingat perbedaan yang begitu signifikan antara gadai konvensional dengan gadai syariah adalah terletak pada penetapan sewa modal, dimana gadai konvensional menerapkan sistem bunga dan gadai syariah menerapkan syariah bukanlah risiko suku bunga akan tetapi berupa risiko ekspektasi margin.

b.        Risiko Permodalan
Adalah risiko yang muncul terkait dengan struktur permodalan atau risiko antara jumlah utang dengan jumlah ekuitas. Munculnya risiko ini merupakan akumulasi dari risiko operasi dan risiko financial leverage. Risiko ini muncul apabila terjadi :
1)   Aktifitas operasional berfluktuasi sehingga pendapatan yang diterima berfluktuasi.
2)   Meningkatnya debt to equity ratio (DER) yaitu perbandingan antara jumlah utang dengan jumlah equitas.
c.         Risiko Pinjaman yang diberikan
Sebagai badan usaha milik negara yang diberikan tugas dan wewenang untuk menyelenggarakan kegiatan usaha menyalurkan uang pinjaman atas dasar hukum gadai, perum pegadaian menghadapi risiko kredit dalam hal terjadi salah taksir terhadap barang jaminan milik nasabah, sehingga memberikan pinjaman melebihi nilai barang jaminan atau turunnya nilai barang jaminan yang dapat menimbulkan kerugian perum pegadaian, apabila nasabah tidak dapat membayarkan atau melakukan pelunasan. Risiko ini muncul apabila terjadi :
1)   Kemampuan debitur/nasabah turun sehingga tidak dapat melunasi pinjamannya.
2)   Turunnya nilai/kualitas barang jaminan yang diagunkan, sehingga pada saat dieksekusi tidak mencukupi untuk melunasi pinjaman.
d.        Risiko Barang Jaminan
Perum pegadaian dalam menyalurkan uang pinjaman kepada masyarakat mewajibkan para nasabah untuk menyerahkan barang bergerak sebagai agunan. Terhadap barang jaminan milik nasabah tersebut perum pegadaian berkewajiban untuk menyimpan dan memelihara barang tersebut sampai dengn dilakukan pelunasan oleh nasabah. Atas penyimpanan barang jaminan tersebut, perum pegadaian menghadapi risiko barang jaminan rusak atau hilang.
e.         Risiko Persaingan
Persaingan bisnis kini semakin ketat, lembaga keuangan baik bank maupun non-bank saling berlomba-lomba mengucurkan kredit ke masyarakat dengan berbagai keunggulan dan kemudahan. Keunggulan tersebut menyangkut keunggulan dalam produk jasa keuangan, tarif, saluran distribusi maupun pelayanan. Jenis produk subsitusi yang ditawarkan pun sangat bervariasi dengan berbagai kemudahan yang diberikan kepada masyarakat dalam memperoleh kreditnya, sehingga dapat mempengaruhi pangsa pasar perum pegadaian. Selain itu, dengan diberlakukannya undang-undang republik indonesia no. 5 tahun 1999 tentang larangan praktek monopoli dan persaingan tidak sehat sejak tanggal 5 Maret 2000 akan membuka peluang dalam persaingan.
f.         Risiko Operasional
Risiko operasional merupakan risiko yang dihadapi perum pegadaian sehubungan dengan sistem operasional, prosedur dan kontrol yang tidak menunjang perkembangan kebutuhan operasional perum pegadaian sehingga dapat mengganggu kelancaran operasi dan kualitas pelayanan, termasuk yang berdampak terhadap hilangnya peluang dalam penyaluran kredit. Termasuk dalam risiko ini adalah kualitas sumber daya manusia yang dimiliki terutama para penaksir barang jaminan sebagai ujung tombak dalam operasional transaksi.
g.        Risiko Peraturan Pemerintah
Meningkatkan kegiatan operasional perum pegadaian berhubungan dengan kepentingan umum, maka biasanya pemerintah senantiasa melakukan pengawasan secara ketat melalui berbagai peraturan. Munculnya peraturan-peraturan baru yang ditetapkan pemerintah dapat menimbulkan dampak yang cukup berarti bagi perum pegadaian jika mengharuskan dilakukannya perubahan atau penyesuaian dalam kegiatan operasional.
h.        Risiko Teknologi
Merupakan risiko yang dihadapi perum pegadaian terkait dengan perkembangan teknologi yang mampu membuat barang jaminan emas palsu dan sulit dideteksi, sehingga lolos dari pengamatan penaksiran. Di sisi lain, apabila perum pegadaian ingin terus mengikuti perkembangan teknologi diperlukan biaya investasi yang sangat besar.
i.          Risiko Keamanan
Risiko keamanan merupakan risiko yang dihadapi perum pegadaian sehubungan dengan situasi kemanan yang kurang / tidak kondusif dan ditandai dengan semakin meningkatnya tindak kriminalitas dengan berbagai modus operandi, dimana perum pegadaian menjadi slah satu sasaran kejahatan/perampokan.
j.          Risiko Hukum
Risiko hukum/legal merupakan risiko yang ditimbulkan oleh ketidakpatuhan terhadap perjanjian / peraturan perundangan dan aturan yang berlaku. Pada pegadaian syariah, selain ketentuan hukum tersebut juga terdapat ketentuan hukum syariah, dimana dalam aktivitasnya pegadaian syariah akun diawasi oleh dewan pengawas syariah sehingga baik dalam peluncuran produk-produknya maupun pelaksanaan seluruh kegiatan operasionalnya akan tetap berada dalam bingkai syariah.[24]
Dalam manajemen risiko, ada beberapa hal yang dapat dilakukan dalam menangani risiko-risiko. Diantaranya:[25]
a.         Dihindari, apabila risiko tersebut masih dalam pertimbangan untuk diambil, misalnya karena tidak masuk kategori Risiko yang diinginkan Bank atau karena kemungkinan jauh lebih besar dibandingkan keuntungan yang diharapkan.
b.        Dikurangi, misalnya dengan mendiversifikasi portofolio yang ada, atau membagi (share) risiko dengan pihak lain.
c.         Dipagari (hedge), apabila risiko dapat dilindungi secara atificial, misalnya risiko dinetralisir sampai batas tertentu dengan instrumen derivatif. Menerima dan mengadopsi sepenuhnya pengertian dan paradigma risiko dan disesuaikan dengan kebutuhan lembaga. Termasuk dalam kelompok ini adalah Risiko Likuiditas, Risiko Operasional, Risiko Hukum, Risiko Reputasi, Risiko Stratejik.
d.        Menerima dan melakukan modifikasi terhadap beberapa hal prinsip yang tercantum dalam eksposure risiko sehingga dapat diterapkan secara benar dalam lembaga. Kelompok ini diwakili oleh Risiko Kredit dan Risiko Kepatuhan.
e.         Tidak mempergunakan sama sekali acuan risiko tersebut (menerima resiko tanpa modifikasi) dan selama ini di anggap paling tidak dapat diaplikasikan sesuai dengan pengertian dan definisi risiko adalah adalah Risiko Pasar.
Hasil analisis risiko menjadi masukan untuk dievaluasi lebih lanjut menjadi urutan prioritas perlakuan risiko, sekaligus menyaring risiko-risiko tertentu untuk ditindaklanjuti. Keputusan tindak lanjut tersenut adalah:
a.         Apakah suatu risiko perlu penanganan
b.        Apakah suatu tindakan penanganan perlu dilakukan
c.         Bagaiman prioritas perlakuan risiko disusun
Sifat dari keputusan yang perlu diambil dan kriteria yang akan digunakan dalam pengam,bilan keputusan telah ditetapkan pada tahap penyusunan konteks, tetapi perlu ditinjau kembali secara lebih rinci pada tahap ini. Dalam pengambilan keputusan, harus selalu memperhatikan tujuan dari perusahaan, sasaran pengelolaan risiko dan pendapat para pemangku kepentingan. Keputusan dalam mengevaluasi, biasanya didasarkan pada tingkat risiko yang telah diperoleh dari hasil analisi risiko, tetapi dapat juga didasarkan pada:
a.         Tingkat dampak yang ditentukan
b.        Kemungkinan timbulnya suatu kejadian tertentu
c.         Efek kumulatif dari beberapa kejadian
d.        Tentang ketidakpastian terhadap tingkat-tingkat risiko pada satu level kepercayaan.
Hasil dari analis risiko adalah suatu daftar yang berisi peringkat risiko yang memerlukan perlakuan lebih lanjut. Manajemen organisasi harus memerlukan kajian dan menentukan jenis serta bentuk perlakuan risiko yang diperlukan. Setiap risiko harus memerlukan bentuk perlakuan yang khas untuk setiap risiko itu sendiri.
Untuk setiap risiko yang memerlukan perlakuan risiko, perlu dilakukan pemeriksaan ulang yang cukup komprehensif terhadap informasi dan data hasil analisi risiko. Hal ini diperlukan untuk memahami sumber atau penyebab risiko, apa pemicu timbulnya risiko, bagaimana besar kemungkinan terjadinya, serta seberapa besar terjadinya.
Secara umum upaya-upaya yang telah dilakukan perum pegadaian dalam mengurangi risiko adalah:
a.         Melakukan perbaikan terhadap penerimaan kualitas barang jaminan yang diterima sebagai agunan.
b.        Mencari alternatif-alternatif pendanaan yang mempunyai cash of fund yang lebih rendah
c.         Pelatihan dan pengembangan SDM yang intensif dan berkesinambungan sehingga tercipta tenaga kerja yang lebih profesional, yang dapat menunjang operasi perum pegadaian secara optimal
d.        Memperluas jangkauan pelayanan dengan pembukaan cabang di daerah potensial
e.         Melakukan rekonstruksi cabang-cabang yang mengalami defisit
f.         Membangun corporate culture dan corporate image dengan pencanangan kerabat menggapai cita
g.        Mengasuransikan barang jaminan milik nasabah
h.        Mengasuransikan pinjaman yang disalurkan kepada nasabah untuk kredit angsuran fidusia
i.          Menempatkan aparat keamanan dicabang-cabang perum pegadaian
Risiko dalam bisnis adalah sesuatu yang tidak dapat dihindari, termasuk dalam bisnis gadai. Oleh karena itu, untuk menghindari potensi kerugian di kemudian hari yang lebih besar,risiko harus dikelola. Pegadaian syariah mengelola risiko dengan cara:
a.         Meminimalkan faktor-faktor pemicu risiko, melalui: pemenuhan kualitas dan kuantitas SDM, perbaikan sarana dan prasarana dan perbaikan sistem operasional.
b.        Membangun budaya sadar risiko, melalui sosialisasi manajemen risiko di seluruh unit kerja
c.         Mentransfer risiko, melalui pengasuransian gedung, barang jaminan yang diagunkan oleh nasabah kepada pegadaian syariah
d.        Menerima risiko, setiap tahunnya perusahaan mencadangkan penyisihan dana kerugian, hal ini merupakan sikap penerimaan perusahaan terhadap risiko yang dihadapi.

F.       Praktek Operasional Pegadaian Syariah
Implementasi operasi Pegadaian Syariah hampir bermiripan dengan Pegadaian konvensional. Seperti halnya Pegadaian konvensional, Pegadaian Syariah juga menyalurkan uang pinjaman dengan jaminan barang bergerak. Prosedur untuk memperoleh kredit gadai syariah sangat sederhana, masyarakat hanya menunjukkan bukti identitas diri dan barang bergerak sebagai jaminan, uang pinjaman dapat diperoleh dalam waktu yang tidak relatif lama (kurang lebih 15 menit saja). Begitupun untuk melunasi pinjaman, nasabah cukup dengan menyerahkan sejumlah uang dan surat bukti rahn saja dengan waktu proses yang juga singkat.
Di samping beberapa kemiripan dari beberapa segi, jika ditinjau dari aspek landasan konsep; teknik transaksi; dan pendanaan, Pegadaian Syariah memilki ciri tersendiri yang implementasinya sangat berbeda dengan Pegadaian konvensional.
Operasi pegadaian syariah menggambarkan hubungan di antara nasabah dan pegadaian. Adapun teknis pegadaian syariah adalah sebagai berikut:
1.         Nasabah menjaminkan barang kepada pegadaian syariah untuk mendapatkan pembiayaan. Kemudian pegadaian menaksir barang jaminan untuk dijadikan dasar dalam memeberikan pembiayaan.
2.         Pegadaian syariah dan nasabah menyetujui akad gadai; akad ini mengenai beberapa hal, seperti kesepakatan biaya gadaian, jatuh tempo gadai dan sebagainya.
3.         Pegadaian syariah menerima biaya gadai, seperti biaya penitipan, baiaya pemeliharaan, penjagaan, dan biaya penaksir dibayar diawal transaksi oleh nasabah.
4.         Nesabah menebus barang yang digadai setelah jatuh tempo.
Perbedaan utama antara biaya gadai dan bunga pegadaian adalah dari sifat bunga yang bisa berakumulasi dan berlipat ganda, sementara biaya gadai hanya sekali dan ditetapkan dimuka.[26]
Adapun teknis pagadaian syariah dapat diilustrasikan dalam gambar berikut:
Skema Pegadaian Syariah
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiLOuep4asEdmmwTQBiEvBumdksxXHrm7svuL4YZXpAkl8JX8yvEqFeaqTxP-trND4DIWypTI6OktHnJCGdC3WYSNh9aBlQrOAcmc2anj3fU9Wq50AAxKfDBFLVEsvL_mnUHUMIMgN-HZM/s1600/gambar.jpg


BAB III
PENUTUP

A.      Kesimpulan
Pegadaian syariah adalah pegadaian yang dalam menjalankan operasionalnya berpegang kepada prinsip syariah. Payung hukum gadai syariah dalam pemenuhan prinsip-prinsip syariah berpegang pada Fatwa DSN-MUI No. 25/DSN-MUI/III/2002 tanggal 26 Juni 2002 yang menyatakan bahwa pinjaman dengan menggadaikan barang sebagai jaminan utang dalam bentuk rahn diperbolehkan. Sedangkan dalam aspek kelembagaan tetap menginduk pada Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1990 tanggal 10 April 1990.
Tonggak awal kebangkitan Pegadaian ditandai dengan Terbitnya PP/10 tanggal 1 April 1990. Sedangkan dasar hukum dari pegadian terdapat pada Quran Surat al-Baqarah ayat 283, hadis Bukhari Muslim, hadis al-Nasai, hadis al-Bukhari, dan lain-lain serta terdapat dalam ijma’ para ulama.
Rukun gadai terdiri dari : shighat, orang yang menggadaikan (rahin), orang yang menerima gadai (murtahin), harta yang dijaminkan (marhun), hutang (marhun bih). Sedangkan syarat gadai terdiri dari : rahin dan marhun (mempunyai kecakapan), marhun (dapat dijual apabila pada waktunya utang tidak terbayar yang nilainya seimbang dengan utang), marhun bih (merupakan hak yang harus dikembalikan kepada rahin), shighat (diungkapkan dengan kata-kata).
Tujuan pegadaian adalah sebagai pencegahan ijon, pegadaian gelap, dan pinjaman tidak wajar lainnya. Manfaat dari pegadaian adalah bagi nasabah tersedianya dana dengan prosedur yang relatif sederhana dan dalam waktu yang lebih cepat dibandingkan dengan pembiayaan/kredit perbankan. Sedangkan bagi perusahaan pegadaian adalah mendapatkan penghasilan yang bersumber dari sewa yang dibayarkan oleh peminjam dana. Resikonya adalah tak terbayarkan utang nasabah dan penurunan nilai asset yang ditahan atau rusak.
Layanan jasa serta produk yang ditawarkan oleh pegadaian syariah adalah: Pemberian pinjaman atau pembiayaan atas dasar hukum gadai, Pemberian pinjaman atau pembiayaan atas dasar hukum gadai, Penitipan barang (ijarah), Gold counter.
Pegadaian syariah atau dikenal dengan istilah rahn, dalam pengoperasiannya menggunakan dua metode, yaitu ujrah atau Fee Based Income (FBI) dan Mudharabah (bagi hasil). Namun metode ujrah saat ini masih mendominasi.

B.       Saran
Demikianlah makalah yang dapat kami sajikan dan sampaikan, semoga bermanfaat bagi kita semua. Apabila ada penulisan atau kata-kata yang kurang berkenan kami mohon maaf. Kritik dan saran yang membangun senantiasa kami harapkan untuk kesempurnaan makalah kami selanjutnya. Semoga bermanfaat dan terima kasih.
















DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Supriyadi, Struktur Hukum Akad Rahn di Pegadaian Syariah Kudus, Jurnal Penelitian Islam, Vol. 5, No. 2, 2012.

Alma Buchari, 2009, Manajemen Bisnis Syariah, Bandung : Alfabeta

Fahmi, Irham. 2013. Manajemen Resiko Teori, Kasus, dan Solusi. Bandung: Alfa Beta

Imam al’ama Ibn Mandur, 1999. Lisan al-Arab, Beirut: Muassah Tarikh al-Arabi.

Kasmir, 2008. Bank dan Lembaga Keuangan Lainya, Edisi Revisi, (Jakarta: Raja Grapindo Persada.

M. Nur Rianto Al Arif, 2012. Lembaga Keuangan Syariah (Suatu Kajian Teoritis Praktis), Pustaka Setia, Bandung.

Moh. Rifai, 2002. Konsep Perbankan Syariah, Wicaksana, Semarang.

Muhammad Firdaus NH, dkk. 2005. Mengatasi Masalah dengan Pegadaian Syariah, Jakarta : RENAISAN Anggota IKAPI

Muhammad  Sholikul Hadi. 2003. Pegadaian Syariah, Jakarta : Salemba Diniyah.

Muhammad Syafi’I Antonio, 2013. Bank Syariah (Dari Teori ke Praktik), Gema Insani, Jakarta

Soemitra Andri, 2010, Bank&Lembaga Keuangan Syariah, Jakarta : Kencana

Sudarsono, Heri,2004. Bank dan Lembaga Keuangan Syariah, Yogyakarta : EKONISIA.

Van Hope, 1996. Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: Ikhtiar Baru.

Yulianti Murni, 2010. Manajemen Risiko Dan Aplikasinya Pada Pegadaian Syariah, Jakarta.

Zainuddin Ali, 2008. Hukum Gadai Syariah, Sinar Grafika, Jakarta.




\




No comments:

Post a Comment

MAKALAHKU

MAKALAH TATANIAGA HASIL PERIKANAN

Tugas Individu MAKALAH TATANIAGA HASIL PERIKANAN Oleh ASRIANI 213095 2006 SEKOLAH TINGGI ILMU P...